Madrasah Niẓāmiyyah, antara Baghdad dan Tebuireng

Sejarah Islam mencatat adanya sebuah madrasah yang didirikan di Baghdad di Abad 5 H / 11 M dengan nama Madrasah Niẓāmiyyah. Di tanah air, tepatnya di Tebuireng Jombang, Jawa Timur, ada pula madrasah yang bernama sama yang didirikan di tahun 1934 M.

Di Baghdad, Madrasah Niẓāmiyyah didirikan oleh Nizam Al Mulk, wazir (perdana menteri) Dinasti Seljuk di masa pemerintahan Sultan Alp Arslan dan Maliksyah I. Sementara itu Madrasah Niẓāmiyyah Tebuireng didirikan oleh Kiai Haji Abdul Wahid Hasyim (KH A. Wahid Hasyim), putra dari KH. Hasyim Asy’ari sang pengasuh Pesantren Tebuireng dan perintis organisasi Nahdlatul Ulama.

Tidak hanya memiliki nama sama, kedua madrasah tersebut sama-sama terbilang revolusioner di masanya. Madrasah Niẓāmiyyah Baghdad membawa pembaharuan dalam dunia Islam dengan sistem pengelolaan profesional berbasis wakaf, sedangkan Madrasah Niẓāmiyyah Tebuireng membawa pembaharuan dalam dunia pesantren dengan kurikulum yang menyertakan ilmu umum termasuk bahasa bangsa Eropa.

Rintisan yang dilakukan oleh Madrasah Niẓāmiyyah tersebut kemudian diikuti madrasah-madrasah Islam berikutnya di wilayah Timur Tengah. Sementara itu kurikulum model Madrasah Niẓāmiyyah Tebuireng pun kini menjadi hal yang lumrah di madrasah-madrasah berbasis pesantren.

Baghdad

Pada Abad 4 H / 10 M, wilayah timur Islam (masyriq) termasuk kota Baghdad mulai dikontrol oleh Dinasti Buwaihiyah. Abad berikutnya, Dinasti Seljuk bangkit dan menggantikan posisi Dinasti Buwaihiyah. Pada masa kekuasaan dua dinasti itu, keberadaan khalifah Dinasti Abbasiah di Baghdad tetap diakui statusnya, namun tidak memiliki kekuatan politik dan militer yang berarti.

Berbeda dengan Dinasti Buwaihiyah yang beraliran Syi’ah, Dinasti Seljuk adalah dinasti Sunni (Ahlus Sunnah wal Jamaah). Sultan pertama Dinasti Seljuk adalah Tughril Bek yang kemudian dilanjutkan oleh Alp Arslan yang menunjuk Nizam al Mulk (Abu Ali Al Hasan), sebagai wazir atau perdana menteri. Kedudukan Nizam al Mulk sebagai wazir ini berlanjut hingga saat Maliksyah I, putera Alp Arslan, bertahta sebagai sultan berikutnya.

Sang wazir mendapat kepercayaan mengatur urusan dalam negeri, sementara sang sultan lebih berkonsentrasi ke urusan politik dan militer. Salah satu prestasi militer Dinasti Seljuk adalah kemenangan pasukan Alp Arslan atas pasukan Bizantium dalam pertempuran Malazgirt (Manzikert) tahun 463 H / 1071 M.

Baca Juga:  Cerita Kiai Fattah dan Sosok Gus Dur Muda

Menurut Abdul Karim Hatamleh dalam makalah Juhūd Niẓām al Mulk fī Ta’sīs al Madrasah an Niẓāmiyyah Bagdād wa al Madāris an Niẓāmiyyah al Ukhrā (2003), Nizam Al Mulk adalah seorang Sunni, tepatnya berakidah Asy’ariyah dan bermazhab fikih Syafi’i. Ia punya semangat untuk menjaga kekuatan ajaran Sunni dari pengaruh Syi’ah yang mungkin muncul dari jejak Dinasti Buwaihiyah serta eksistensi Dinasti Fatimiyah di Mesir

Nizam Al Mulk kemudian mulai membangun Madrasah Niẓāmiyyah, yang namanya dinisbatkan kepadanya, di Baghdad pada tahun 457 H / 1064 M. Di tepi sungai Dijlah, madrasah ini dibangun beserta fasilitas-fasilitas publik di sekitarnya semisal pasar dan pemandian umum. Meski ibukota Dinasti Seljuk saat itu adalah Isfahan, namun Baghdad tetaplah kosmopolitan Dinasti Abbasiah. Kemudian di tahun 459 H / 1066 M, Madrasah Niẓāmiyyah mulai menjalankan kegiatan pendidikan.

Nizam Al Mulk ia adalah sosok pejabat yang luwes dan mampu berinteraksi secara baik dengan pengikut mazhab lain, bahkan pengikut aliran di luar Sunni. Ia sudah biasa bergaul secara baik dengan sultan dan kebanyakan petinggi Dinasti Seljuk yang bermazhab fikih Hanafi. Dengan demikian, keputusan Nizam Al Mulk mendirikan Madrasah Niẓāmiyyah dengan konsentrasi aqidah Asy’ariyah dan fikih mazhab Syafi’i tidaklah menimbulkan permasalahan.

Dalam buku Great Seljuk Empire (2015), Andrew. C.S. Peacock, Madrasah Niẓāmiyyah memiliki pengelolaan yang berbeda dengan madrasah-madrasah yang sudah ada sebelumnya. Madrasah ini mengambil peran baru dalam mencetak para ulama Sunni yang mengenyam pendidikan berstandar. Selain mencetak ulama, madrasah ini juga mencetak para pegawai administrasi pemerintahan yang cakap dan memiliki bekal ilmu agama yang cukup.

Jika sebelumnya madrasah lebih berupa lembaga pendidikan milik syaikh tertentu secara pribadi, maka Madrasah Niẓāmiyyah didirikan dengan dana wakaf seorang pejabat dan pengelolaannya diserahkan kepada dewan pengajar serta tata usaha yang terstruktur. Madrasah baru ini juga memberi jaminan kehidupan harian bagi guru, murid maupun pegawainya.

Baca Juga:  Agresi Militer Belanda I: Upaya Penghancuran Kaum Santri

Pengajar utama yang pertama dari madrasah ini adalah Abu Ishaq As Syairazi pengarang kitab fikih Al Muhażżab. Di antara pengajar utama yang masyhur dari madrasah ini adalah Abu Hamid Al Ghazali yang tempat lahirnya sama dengan Nizam Al Mulk yaitu kota Tus.

Tidak hanya di Baghdad, Madrasah Niẓāmiyyah kemudian juga dibangun di tempat lain semisal Isfahan, Basrah, Mosul, Nishapur, Balkh, Herat, Tabarsistan maupun Merv. Di masa berikutnya, madrasah yang dibangun dengan wakaf pejabat, menekankan pendidikan fikih mazhab dan memberi jaminan kehidupan harian kemudian berkembang pesat di seantero dunia Islam di Timur Tengah.

Tebuireng

Pada tahun 1934 M, sebuah lembaga pendidikan bernama Madrasah Niẓāmiyyah dibuka di komplek Pesantren Tebuireng, Jombang. Menurut asumsi Ahmad Zaini dalam buku Kyai Haji Abdul Wahid Hasyim: His Contribution to Muslim Educational Reform and Indonesian Nationalism during The Twentieth Century (1998), KH. A. Wahid Hasyim membuka madrasah ini dengan mencoba mengadopsi sistem Madrasah Niẓāmiyyah Baghdad. Bisa kita pahami, kalaupun yang diadopsi bukanlah model pengelolaannya secara detail, maka yang diadopsi adalah semangat pembaharuannya.

Alkisah, Wahid Hasyim punya sepupu, yaitu anak dari saudari ibunya, bernama Muhammad Ilyas. Lahir di Probolinggo pada tahun 1911, Muhammad Ilyas lebih tua tiga tahun dari Wahid Hasyim yang lahir di Jombang. Karena ayahnya adalah seorang kiai penghulu, Muhammad Ilyas berkesempatan menempuh pendidikan di Hollandsh-Inlandsche School (HIS), sekolah Belanda untuk pribumi, di kota Surabaya.

Di sisi lain, Wahid Hasyim tidak disekolahkan oleh ayahnya KH. Hasyim Asy’ari di sekolah Belanda untuk menghindari  kontroversi di kalangan kiai dan pesantren yang mengambil sikap perlawanan terhadap penjajah Belanda.

Setelah lulus dari HIS, Muhammad Ilyas melanjutkan pendidikan di Pesantren Tebuireng. Wahid Hasyim kemudian dibolehkan ayahnya untuk belajar Bahasa Belanda kepada Muhammad Ilyas. Kelak, dua orang sepupu yang berlatar belakang pendidikan dasar berbeda ini, sama-sama sempat menjabat sebagai menteri agama Republik Indonesia.

Baca Juga:  Baghdad Sebagai Pusat Peradaban Islam: Perkembangan Intelektual Peradaban

Di Tebuireng, Mumahhamd Ilyas mulai mengajar di Madrasah Salafiyyah di usianya yang ke-15. Kemudian di usianya yang ke-17 ia diangkat menjadi kepala madrasah ini dan mulai memasukkan materi pelajaran umum, meski bukan tanpa kontroversi. Dari hal ini, kita bisa tahu bahwa bibit pembaharuan madrasah di Tebuireng sebenarnya sudah dimulai di Madrasah Salafiyah, namun kemudian ditegaskan kembali melalui Madrasah Niẓāmiyyah.

Tahun 1932, Wahid Hasyim dan Muhammad Ilyas berangkat haji dan berada di tanah suci selama dua tahun. Sepulang dari tanah suci, Wahid Hasyim menyampaikan ide kepada ayahnya untuk mendirikan Madrasah Niẓāmiyyah dengan bahasa pengantar Arab, Inggris dan Belanda, meskipun awalnya ditolak.

Buku Wahid Hasyim: From Tebuireng for the Republic (2014) karya Tim Penulis Tempo menyebutkan bahwa alasan pesantren menolak bahasa dan tulisan asing (Inggris dan Belanda) adalah karena semangat perlawanan terhadap penjajah. Namun pada akhirnya KH. Hasyim Asy’ari mau menerima ide pembaharuan baik yang digulirkan Muhammad Ilyas maupun Wahid Hasyim.

Kegiatan pembelajaran Madrasah Niẓāmiyyah Tebuireng dimulai di tahun 1934, dilaksanakan di serambi masjid pesantren, dengan murid pertama sebanyak 29 orang. Salah satunya murid pertama madrasah ini adalah Abdul Karim Hasyim, adik dari Wahid Hasyim.

Sayang dua tahun kemudian, Muhammad Ilyas harus pindah ke Pekalongan karena menikah. Dua tahun berikutnya lagi, Wahid Hasyim mulai sibuk pentas nasional utamanya di perkumpulan organisasi Islam bernama MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia). Hanya berumur 4 tahun, akhirnya Madrasah Niẓāmiyyah Tebuireng tutup di tahun 1938 dan dilebur dengan Madrasah Salafiyah.

Meski hanya sebentar, Madrasah Niẓāmiyyah Tebuireng menjadi model pembaharuan pendidikan pesantren yang di kemudian hari dilakukan oleh banyak pesantren lain. Setelah Indonesia merdeka, hal-hal yang berbau penjajah tidak lagi ditolak keberadaannya di dalam pesantren. Kini hampir semua pesantren memiliki madrasah formal yang tentu saja mengajarkan materi-materi umum termasuk bahasa asing selain Bahasa Arab. [HW]

Muhyidin Basroni
Alumni Universitas Al Azhar Kairo, peminat kajian sejarah dan seni-budaya Islam, kini mengajar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini