Lathifah: Kisah Perempuan yang Tabah Menerima Takdir dalam Novel “Cincin Kalabendu”

Judul buku: Cincin Kalabendu,

Penulis: Liza Samchah,

Penerbit: Najhaty Pena,

Jumlah halaman: 270,

ISBN: 978-623-95392-3-8

Pesantren.id-Cerita ini sangat menarik dengan prinsip orang Jawa dan latar pesantren yang begitu kuat. Kisah seorang Kiai Ghani, pengasuh pondok pesantren Jatikemuning yang menginginkan keturunan. Akan tetapi selama 10 pernikahannya dengan Nyai Syarifah ia belum dikaruniai keturunan.

Hingga akhirnya, semesta memberikan petunjuk kepada Kiai Ghani untuk menikahi salah satu santrinya, abdi dhalem yang cukup dengan keluarganya selama ini agar bisa mendapatkan keturunan. Perempuan tersebut adalah Lathifah, perempuan yang memiliki kesabaran luar biasa dengan segenap pengabdiannya kepada keluarga gurunya, sehingga ia merelakan cintanya kepada Kang Zaka, seorang sopir keluarga kiai.

Menerima takdir menjadi madu

Siapa yang menerima takdir dirinya menjadi seorang madu? Pernahkah kita membayangkan untuk menikah menjadi istri kedua? Barangkali kita berpikir bahwa tidak ada satu perempuanpun yang siap untuk memiliki menjadi seorang madu, menjadi istri kedua. Apalagi menjadi istri kedua dari gurunya sendiri yang selama ini menyimak hafalannnya dan mengajarkannya ilmu.

Takdir itu diterima oleh Lathifah dengan niat mengabdi kepada gurunya. Keluarganyapun justru menjadi orang yang sangat mendukung dan mengiyakan lamaran Kiai Ghani meskipun Lathifah tidak menerima secara lisan pinangan Kiai Ghani. Dengan latar karakter Jawa yang begitu kuat, fenomena semacam itu bukanlah hal baru dalam keluarga Jawa, sehingga keputusan keluarga menerima pinanngan Kiai Ghani menjadi keramat yang harus dijalankan dan diterima oleh Lathifah sebagai seorang perempuan. Terlebih, ia tidak bisa menolak apa yang diminta oleh orang tuanya.

Bagaimanapun, menurut orang tuanya, menerima Kiai Ghani sebagai menantu adalah sebuah anugerah yang nyata. Sebab hal itu merupakan berkah yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Apalagi niat Kiai Ghani menikahi Lathifah untuk mendapatkan keturunan, semakin membuat keluarga Lathifah sangat yakin dengan keputusannya. Karena hal itu merupakan karomah besar, mendapatkan keturunan dari seorang kiai yang memiliki pengetahuan agama yang luas, berasal dari keluarga yang terhormat, serta menjadi panutan bagi banyak orang.

Baca Juga:  Nusyuz dan Legitimasi Kekerasan Terhadap Perempuan

Namun, itu semua tidak penting bagi lathifah. Ia tentu sangat menolak atas takdir tersebut. Namun, yang ia pikirkan adalah sebuah pengabdian kepada gurunya serta orang tuanya. Sehingga hari-hari kelam pasca menikah dengan Kiai Ghani dijalani dengan belajar menerima secara lapang dada.

Masalah hidup yang diperole oleh Lathifah pasca pernikahan serta tinggal di dalem pesantren sangatlah banyak. Gunjingan, bahkan dituduh pelakor hingga perlakuan tidak enak dari keluarga Kiai Ghani kerap didapatkan. Hingga suatu ketika, Nyai Syarifah hamil dan sakit keras. Seluruh keluarga menuduh bahwa keluarga Lathifahlah yang mengirimkan penyakit tersebut. Singkat cerita, akhirnya Kiai Ghani tidak bisa melanjutkan pernikahannya dengan Lathifah dan memutuskan untuk berpisah.

Matinya pesona seorang perempuan tatkala menjadi janda

Tatkala semua permasalahan sudah selesai, Kiai Ghani sudah menyerahkan Lathifah ke keluarga besarnya, kehidupan Lathifah bagaimanapun harus berlanjut. Di satu sisi, ia merasa bahagia bahwa perpisahan tersebut memberikan ruang yang begitu luas untuk dia terus belajar, bahkan dia bisa mandiri melalui penjualan wedang uwuh yang dirintisnya. Ia juga bisa melihat Nyai Syarifah pasti bahagia atas perpisahannya dengan Kiai Ghani. Sebab semenjak pernikahannya, Nyai Syarifah tampak murung dan memiliki beban yang cukup besar sehingga hal itu yang Lathifah merasa tidak enak sebagai madu dari guru yang selama ini mengajarkan banyak hal.

Kehidupan pasca perpisahannya, otomatis membuat Lathifah menyandang status janda. Sebutan yang membuat masyarakat menganggap sebelah mata, mulai dari status sosial, hingga kedudukan. Namun, beruntungnya keluarga Lathifah menjadi support system terbaik bagi kehidupannya. Ia memperoleh izin untuk melanjutkan kuliah di Yogyakarta.

Melalui kemampuan yang di dapatkan di pesantren, Lathifah memiliki kesempatan untuk menerbitkan buku terjemahan dengann Kang Zaka. Kehadiran Kang Zaka dalam kehidupannya, pasca perpisahannya dengan Kiai Ghani menjadi warna baru dalam hidupnya. Cinta Zaka tetap sama kepada Lathifah, hal itu bisa dilihat dari komunikasi yang dibangun oleh Zaka kepada Lathifah.

Baca Juga:  Perempuan Ulama di Panggung Sejarah (4)

Namun, perasaan tersebut tidak seberapa jika dibandingkan dengan pengabdian Zaka kepada kedua orang tuanya, tatkala pertemuan keluarga besar akan dilaksanakan antara keluarga Zaka dengan keluarga Lathifah, Zaka berani memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan lantaran ibunya tidak merestui hubungannya dengan Lathifah karena ia seorang janda. Apalagi ia merupakan mantan istri dari Kiai Ghani, guru yang selama ini dekat dengan Zaka (Hlm. 266-267). Akhirnya kisah mereka tidak berlanjut, menjadi janda seperti aib yang tidak bisa diterima oleh banyak kalangan, khususnya Ketika calon suami adalah seorang perjaka.

Novel “Cincin Kalabendu” sangat menarik dalam membahas poligami di pesantren, meskipun demikian ada beberapa kisah yang saya rasa belum tuntas untuk dibaca hingga selesai. Seperti halnya kelanjutannya kisah Zaka dengan Lathifah yang berujung berpisah. Selain itu, novel ini disajikan dalam satu sudut pandang, yakni melalui tokoh Lathifah, sehingga pembaca hanya melihat bagaimana perspektif Lathifah Ketika poligami tersebut berlangsung hingga menjalani kehidupan rumah tangga.

Muallifa
Mahasiswi IAIN Madura, penulis buku “ Mahasiswa Baper No! Produktif Yes!”

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Perempuan