Upaya mengimplementasikan sikap moderat dalam beragama memang menjadi hal yang ditekankan oleh Allah SWT terhadap seluruh manusia. Terlebih dalam Islam, sikap yang tidak mudah mengkafirkan, menyesatkan, dan melebeli sesuatu sebagai perbuatan yang dzolim, merupakan hal yang sebaiknya dihindari. Begitu pula banyak nash yang tidak menganjurkan perbuatan demikian (takfiri) terhadap sesama muslim atau pun non-muslim.
Larangan demikian termaktub dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 93. Begitu pula sabda Nabi Muhammad Saw, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari: “Barangsiapa yang menuduh kafir pada seorang mukmin maka itu sama dengan membunuhnya”. Bahkan dalam hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Al Bukhari dikatakan bahwa “Jika seseorang berkata pada saudaranya, ‘Hai orang kafir…’ maka kekafiran itu kembali pada salah satu dari keduanya”.
Kedua hadis di atas dinyatakan shohih dan menunjukkan bahwa begitu bahayanya seorang muslim yang dengan mudah dan cepatnya melebeli suatu perkara dengan kafir. Ada beberapa konsekuensi yang diterapkan baik dalam segi akhlak maupun hukum pada seseorang dilebeli kafir. Dalam buku karya Al-Hamid Ja’far Al-Qadri dengan judul “Bijak Menyikapi Perbedaan Pendapat”, dikatakan bahwa seseorang ketika sudah berlebel kafir maka konsekuensinya diantaranya tidak mendapat warisan, hartanya halal, rusak pernikahannya, darahnya halal, dan bahkah ketika meninggal maka tidak boleh disholati dan diperkenankan dikubur di kompleks sesama muslim.
Terkait bab takfir, terdapat perbedaan para Ulama dalam menyikapi hal tersebut. Maka dalam menyimpulkan dan memvonis siapa pun dengan kafir sangat perlu berhati-hati, hal demikian berlaku kepada mazhab atau pun kelompok manapun. Maka Ja’far al-Qadri dalam bukunya menyebutkan bahwa Imam As-Subki pernah menyatakan demikian, “Selagi seseorang masih meyakini dua syahadat bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya, maka sulit untuk dilebeli kafir”.
Ulama lain juga berpendapat seperti halnya Imam Abu Ishaq Al-Isfirayini, ia menyatakan bahwa “Aku tidak mengkafirkan orang, kecuali mereka menganggapku kafir”. Bahkan Ulama papan atas Al-Ghazali pun turut merespon hal demikian dengan tegas, “Urusan mereka berada dalam wilayah ijtihad. Semestinya kita menjauhkan diri dari pengkafiran selagi ada jalan. Sebab, menghalalkan darah dan harta orang yang melakukan sholat menghadap kiblat serta masih mengakui secara jelas akan ketauhidan Islam, merupakan hal yang salah. Salah karena membiarkan seribu orang kafir hidup itu lebih ringan daripada membunuh satu orang muslim”.
Kasus atau pun fenomena takfiri hingga dewasa ini bukanlah hal baru dalam dunia Islam. Jauh sebelum memasuki era kontemporer sebagaimana saat ini, sikap takfiri pun sudah melekat dalam diri sekte-sekte atau sempalan-sempalan Islam ekstrem yang berakar dari kelompok Khawarij. Fenomena dengan menghalalkan darahnya dan wajib dibunuh dalam konteks dunia Islam secara global diwakilkan oleh ISIS yang menjadi salah satu gerakan keagamaan ekstrem. Bahkan paham tersebut menjamah hingga kawasan Nusantara.
Objek halal darahnya untuk dibunuh tidak hanya berlaku untuk mereka yang tidak memeluk Islam, akan tetapi berlaku pula pada umat muslim yang dianggap seolah-olah melenceng dari ajaran Islam. Acap kali konteks ini ditujukan pada Islam lokal-tradisional layaknya kaum Nahdliyin yang akrab dengan ritual-ritual keagaan seperti halnya yasinan, tahlilan, tawassul, haul, manaqiban, ziarah kubur, istighasah, maulid Nabi, dan bahkan dari segi politik di Indonesia menggunakan sistem demokrasi yang dianggap pula, karena berasal dari Barat.
Tentu hal demikian tidak semena-mena langsung dilebeli kafir dalam ruh ber-Islam. Sebagaimana Islam yang begitu melarang tindakan dan ideologi takfiri, KH. Asep Saifuddin dalam bukunya yang bertajuk “Aswaja: Pedoman Untuk Pelajar, Guru dan Warga NU” hlm: 78, menukil pendapat Sayyid Ahmad Mansyur al-Haddad sebagaimana berikut:
“Telah ada kesepakatan Ulama untuk melarang memvonis kafir terhadap ahlul qiblat (muslim), kecuali akibat dari Tindakan yang mengandung unsur meniadakan eksistensi Allah, kemusyrikan yang tidak mungkin ditafsirkan lain, mengingkari kenabian, menentang prinsip ajaran agama Islam yang harus diketahui umat Islam tanpa pandang bulu (ma’lum min ad-din bi ad-dharurah), mengingkari ajaran yang dikategorikan mutawattir atau yang telah mendapat konsensus Ulama dan wajib diketahui semua umat Islam tanpa pandang bulu”.
Oleh karenanya, ujaran takfiri atau pun vonis demikian yang terlalu tergesa-gesa banyak menuai kemudharatan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Tidak hanya dalam segi pemikiran yang mengalami penyelewengan dari esensi ber-Islam sesuai dengan syaiat, namun dalam segi sosial pun kemungkinan besar akan menuai perpecahan dan memunculkan konflik baru jika digencarkan tanpa hati-hati.
Bahkan tidak diperkenankan pula tindakan demikian hanya karena dugaan dan pemahaman sendiri tanpa adanya unsur kehati-hatian, tanpa adanya informasi yang akurat-relevan, dan tanpa adanya bukti. Oleh karena itu, tidak dibenarkan sikap yang terlalu mudah mengkafirkan seseorang dalam Islam.
Justru sebaliknya, Islam sendiri dalam kontekstualisasi ajaran-ajarannya begitu erat dengan pesan-pesan perdamaian, kerukunan, persatuan, kemaslahatan, cinta kasih dan keharmonisan yang termaktub dalam al-Qur’an, Hadits dan pendapat para Ulama pendahulu, bahkan hingga era kontemporer sesuai dengan konteks zaman. []