Ulama

KH Habib Dimyathi; Sejarah Hubungan Pesantren Tremas dan NU

(Dok. Pesantren Tremas)

Al Maghfurlah KH Habib Dimyathi adalah tokoh kebangkitan kembali Pondok Tremas.  Pondok Tremas memiliki kisah perjalanan yang berliku dan berat dalam menjaga transmisi hubungan pondok dengan Jamiyyah NU.

Paska peristiwa Affair Madiun, 1949, yang menyebabkan gugurnya para syuhada, termasuk Kiai Hamid Dimyathi, pengasuh Pondok Tremas, berdampak pada vakumnya kepemimpinan pondok hingga beberapa waktu Pondok Tremas mengalami masa fatroh. Sementara hampir sebagian besar santri memilih pulang karena situasi politik yang genting hingga pesantren tinggal menyisakan sedikit santri.

Pada saat sulit tersebut, adalah Kiai Habib, adik Kiai Hamid, dengan dukungan pamannya, KH Abdurrazaq dan saudara-saudaranya, bergerak cepat merintis kembali pesantren dengan menghidupkan madrasah. Beliau kemudian menunjuk adik sepupunya, Kiai Ndari, untuk menjalankan tugas memimpin madrasah agar aktifitas belajar tetap hidup, meski dengan jumlah santri yang sangat sedikit. Sementara Kiai Habib terus melakukan lobi dan kontak dengan beberapa alumni,  almamater dan guru-guru beliau, untuk memastikan bahwa Pondok Tremas masih “hidup”. Beliau juga jemput bola, mencari santri yang mau mondok ataupun ngajar di Tremas.

Diluar situasi membangun kembali eksistensi pondok, eskalasi politik nasional juga sedang  memanas dengan  keluarnya NU dari Masyumi, dimana secara tak langsung turut memengaruhi hubungan baik NU dengan Tremas, yang memilih tetap bertahan di Masyumi dengan dalih menghindari perpecahan umat Islam yang lebih besar, “Dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih.”

Demikian hujjah yang dipegang, termasuk pesan Hadratussyeikh Hasyim Asyari, bahwa Masyumi adalah satu2nya partai tempat menyalurkan  aspirasi politik bagi umat Islam.

Hal yang tak diketahui oleh publik, khusus para kiai dan petinggi NU, bahwa sikap para pengasuh di depan santri dan masyarakat tetap mendukung Partai NU, sebagaimana yang ditunjukkan sesepuh pondok, KH Abdurrazaq, kepada masyarakat dan santri. Beliau tetap membiarkan dan menyilahkan mereka, para santri dan masyarakat tetap  memilih Partai NU pada pemilu pertama tahun 1955. Terbukti Partai NU menang di Tremas, meski hubungan NU dengan Tremas justru merenggang.

Baca Juga:  Covid-19 di Pesantren (3): Gus Lukman Menangis Menjelaskan Ekonomi Pesantren

Situasi ini menambah berat tugas Kiai Habib. Di satu sisi beliau harus menjauhkan Tremas dari dunia politik yang masih meninggalkan trauma mendalam dengan syahidnya Kiai Hamid, di sisi lain beliau harus tetap menjalin relasi dengan NU, sebagai bentuk khidmah pada guru (KH Hasyim Asy’ari) dan melanjutkan apa yang telah dirintis sang ayah (KHM Dimyathi), di mana keikutsertaan Mbah Dim, pada muktamar NU di Pekalongan, 1930,  dilihatnya sebagai isyarah, bahwa Tremas, langsung atau tidak langsung harus memiliki ketersambungan dengan jamiyyah NU.

Setelah kondisi pesantren dan roda madrasah mulai stabil di bawah pimpinan Kiai Haris sejak 1954, menggantikan sepupunya, Kiai Ndari,  juga peran bimbingan kepada masyarakat diemban Kiai Hasyim Ihsan,  Kiai Habib bisa lebih leluasa bergerak membangun jaringan keluar dan menjalin relasi dengan para kiai NU. Hal ini penting beliau lakukan mengingat stigma yang tak nyaman dan terlanjur melekat terkait rumor kedekatan Tremas dengan penguasa dan ormas lain hanya karena beberapa alumninya aktif di pemerintahan dan ormas diluar NU. Tugas beratnya mewartakan sikap Tremas yang sesungguhnya, terkait relasinya dengan  Jamiyyah NU menjadi pekerjaan yang tidak ringan, butuh ikhtiar dan perjuangan  lahir batin.

Sementara dalam perkembangannya, madrasah yang  dirintis dengan sistem pendidikan salafiyah  juga mengalami hambatan di tengah jalan. Kiai Harus yang berjuang keras membangun kembali madrasah dengan metode salafiyah, sebagaimana telah dirintis para pendahulunya, sempat mengalami turbulensi saat ada usulan dan gagasan sebagian alumni yg punya link dengan  kekuasaan hendak membangun sistem pendidikan yang lebih modern.

Kiai Haris bersikukuh menolak keras usul tersebut, sebagai bentuk komitmen beliau menjalankan amanah para muasis dan sikap konsistennya untuk tidak mau diintervensi dalam hal apapun, khususnya terkait  pengelolaan model pendidikan yang sudah menjadi identitas pesantren pada umumnya dan telah menjadi pilihan ijtihad para muasis Pondok Tremas.

Baca Juga:  Covid-19 di Pesantren (3): Gus Lukman Menangis Menjelaskan Ekonomi Pesantren

Sementara, jatuh bangun perkembangan relasi Tremas dengan NU, khususnya dekade 70an hingga 90an,  menjadi masa yang cukup berat, meski segala upaya terus dilakukan. Kedekatan kiai Habib dengan Rais Am NU waktu itu, KH Ali Maksum, tak diragukan lagi. Keduanya saling kunjung sebagai sinyal, bahwa Tremas tidak pernah berubah dalam melihat NU sebagai rumah besarnya. Bahkan untuk memastikan sikapnya, putra-putra beliau, Gus Mamuk dan Gus Fuad dipondokkan di Krapyak untuk dididik langsung sekaligus  mengabdi pada Kiai Ali.

Tidak kalah dekatnya,  hubungan beliau denganPak Ud ( KH Yusuf Hasyim, Tebuireng), putra bungsu Hadratussyeikh, yang sangat akrab. Saling kunjung dan biasa bertukar joke maupun guyonan hingga gojlokan selalu mewarnai kedua karib sejak mondok di Krapyak itu.

Dua indikator ini hanyalah sebagian kecil ikhtiar beliau, KH Habib Dimyathi, menjaga transmisi relasi Tremas dengan NU, sesuatu yang sudah saatnya dilanjutkan oleh generasi sekarang, keluarga maupun alumni, dalam bentuk khidmah yang riil kepada Jamiyyah Nahdlatul Ulama, sebagai organisasi terdepan yang memilik komitmen dan lkhtiar merawat Islam ahlussunah wal jamaah yang rahmatan lil alamin demi kehidupan yang mardhatillah di bumi pertiwi, Indonesia menuju cita-cita “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghofuur.”

Adeahmad
CEO Yayasan Islam Al Anis, Kartasura, Jateng. Alumni Pondok Tremas dan penulis buku Bunga Rampai dari Tremas.

Rekomendasi

1 Comment

  1. […] Pancasila sebagai ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan status final. Penerimaan NU atas Pancasila benar-benar dipikirkan oleh NU secara matang, mendalam dan atas dasar legitimasi […]

Tinggalkan Komentar

More in Ulama