Asy-Syafi’i adalah nama yang sudah tak asing lagi di telinga umat, terutama umat Islam, bahkan tidak sedikit dari kalangan non muslim yang mengkaji Islam, mengenal bahkan akrab dengan nama itu. Mengingat besarnya peran pendiri mazhab Syafi’i itu terhadap perkembangan intelektual Islam.
Adapun nama dan silsilah nasab beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Usman bin Syafi’ bin as-Sa’ib bin Ubaid bin Abd. Yazid bin Hasyim bin Abd. Mutthalib bin Abd. Manaf. Jadi tidak diragukan lagi kemuliaan nasab beliau sebagai ahlul bait. Melihat ketersambungan nasabnya dengan Nabi صلى الله عليه وسلم di kakek beliau yang ke tiga, yaitu Abd. Manaf.[1]
Sementara dari jalur ibu, sebagaimana yang dituturkan Imam Fakhruddin ar-Rozi bahwa ulama terbagi menjadi dua kubu. Yang pertama berpendapat bahwa asy-Syafi’i lahir dari seorang ibu bernasab mulia, keturunan baginda Nabi SAW. dari cucu beliau sayidina Husain bin Ali ra. yaitu Fatimah binti Abdullah bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dan pendapat ini adalah pendapat yang didasari kefanatikan yang tinggi terhadap Imam asy-Syafi’i, mengingat bahwa ini termasuk pendapat yang menyimpang (syadz) yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim Abu Abdillah al-Hafidz. Dan yang kedua adalah pendapat yang menegaskan bahwa Muhammad bin Idris lahir dari seorang perempuan salihah dari suku al-Azd di Yaman. Beliau adalah Fatimah binti Ubaidillah al-Azdiyah.[2] Inilah pendapat yang sahih.
Al-Imam Muhammad bin Idris yang sejak dahulu hingga saat ini namanya dikenal dunia, lahir di daerah Gaza (Ghazah) yang merupakan bagian dari Negara Palestina. Berbatasan dengan Mesir sekitar 11 km di sebelah barat daya.[3]
Walaupun tanah Gaza telah disepakati mayoritas ulama sejarawan sebagai tempat asy-Syafi’i pertama kali menghirup udara dunia, tetap saja ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa tanah kelahiran imam besar itu adalah sebuah desa bernama Asqalan atau Askalan. Satu desa di provinsi Kunduz, Afghanistan utara. Kemudian Imam Yaqut mencoba mendamaikan dua pendapat ini melalui pendekatan kartografi atau ilmu seputar perpetaan bahwa Asqalan (dulu) termasuk daerah Gaza yang berjarak 2 mil, sekitar 21 km. Sementara Gaza dan Asqalan masuk dalam negara Palestina.[4] Jadi tidak masalah kala mengatakan bahwa asy-Syafi’i lahir di Asqalan atau pun Gaza dengan skala yang lebih luas.
Di tengah perbedaan pendapat di atas, ada satu pendapat lagi yang mengatakan bahwa asy-Syafi’i lahir di Yaman yang saat ini merupakan satu-satunya negara republik di Jazirah Arab.[5] lagi-lagi pendapat ini berhasil dikompromikan oleh Imam Yaqut melalui pendekatan sosio historisnya bahwa Asqalan secara keseluruhan merupakan kabilah Yaman.[6] Jadi bebas apakah akan dinisbatkan dengan al-Yamany, al-Asqallany atau pun al-Ghazy. Seluruh uraian tiga pendapat di atas berdasar pada tiga riwayat yang berbeda-beda tentang pernyataan as-Syafi’i sendiri. Yaitu:[7]
- روي أنّه قال: ولدت بغزة سنة خمسين ومائة وحملت إلى مكة وأنا إبن سنتين
Artinya: diriwayatkan bahwa asy-Syafi’i berkata, “saya dilahirkan di Gaza pada tahun 150 H. dan saya dibawa ke makkah sementara wakti itu masih berusia dua tahun”
- روي أنّه قال: ولدت بعسقلان
Artinya: diriwayatkan bahwa asy-Syafi’i berkata “saya dilahirkan di Asqalan”
- روي أنّه قال: ولدت في اليمن فخافت أمي على الضيعة فحملتني إلى مكة
Artinya: diriwayatkan bahwa asy-Syafi’i berkata “saya dilahirkan di Yaman, lalu karena ibunda saya khawatir akan lunturnya nasab saya, lalu ia pun membawa saya ke Makkah”
Ulama memang berbeda pendapat tentang di mana Imam asy-Syafi’i lahir, namun kaitannya dengan kepan tahun lahirnya imam besar itu, para ulama sepakat bahwa beliau lahir tahun 150 H. bertepatan dengan tahun wafatnya seorang imam besar pendiri mazhab fikih senior yaitu Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zutha.[8]
Dalam satu riwayat dikatakan,[9]
قد ولد إمام وتوفي إمام
Artinya: “sungguh telah lahir seorang imam, dan (di saat yang bertepatan) seorang imam wafat”
Dalam tulisan ini, penulis hanya akan membahas dua faktor dari sekian banyak faktor kesuksesan asy-Syafi’i. Yaitu kefakiran dan kecerdasan.
Dalam kitab Mu’jam Yaqut yang dikutip oleh seorang ulama berkaliber internasional, Muhammad Abu Zahrah, disebutkan bahwa Imam asy-Syafi’i pernah berkata:[10]
عن الشافعي أنّه قال: ولدت باليمن فخافت أمي على الضيعة. وقالت ألحق بأهلك فتكون مثلهم، فإنّي أخاف أن تغلب علي نسبك فجهزتني إلى مكة فقدمتها وأنا حينئذ إبن عشر أو شبيه بذلك فسرت إلى نسيب لي وجعلت أطلب العلم.
Artinya: diriwayatkan dari asy-Syafi’i, bahwa ia pernah berkata: “saya lahir di Yaman, lalu (waktu itu) ibuku khawatir akan kehilangan (nasab mulia ini), lalu ibuku bilang, ‘temuilah keluargamu (keluarga ayahmu) agar engkau bisa sama dengan mereka, karena saya khawatir nasabmu akan tertumpuk oleh nasab yang lain’, lalu ibuku menyiapkan bekal untukku berangkat ke Makah, (singkat cerita) hingga saya sampai di sana. Dan waktu itu saya masih berumur sepuluh tahun atau keurang labih begitu, saya pun mencari famili saya (di sana) dan mulai menuntut ilmu (di sana).”
Jadi walaupun Muhammad bin Idris kecil terlahir dengan nasab mulia, kisah hidupnya tidak sama dengan anak-anak bernasab mulia lainnya. Ia hidup sebagai anak yatim yang fakir. Akan tetapi pahit getir kehidupan fakir asy-Syafi’i tidak lah sia-sia. Dalam kitab asy-Syafi’i Hayatuhu wa ‘Ashruhu Arauhu wa Fiqhuhu, Muhammad Abu Zahra menyebutkan beberapa hikmah besar dibalik kefakiran beliau. Di antaranya, Muhammad bin Idris dicetak sebagai seorang yang berperangai elok nan indah, hidupnya penuh dengan kemuliaan serta ketentraman jiwa, selain itu, kejamnya kefakiran juga mendidiknya menjadi pemuda yang tangguh dengan cita-cita tinggi dan luhur. Sejak itu, semangat dan simpati asy-Syafi’i terhadap ilmu dan ulama sangat besar, ditambah dengan kecerdasaannya yang tajam, jelas semakin membuatnya tak tertandingi di masanya.
Di antara rekaman jejak kecerdasan dan besarnya simpati Imam mazhab itu terhadap ilmu adalah ketika ia mampu menghafal al-Quran dengan sangat cepat dan itu dilakukan ketika masih di pangkuan ibunya di Gaza saat usia tujuh tahun, kemudian disusuli dengan menghafal hadis-hadis Rasulullah SAW ketika telah berhijrah ke Makah hanya dengan modal ‘mendengar’ dari guru-gurunya, para pakar hadis di Makah.
Kecerdasan beliau juga tercermin dari kemampuannya menghafalkan kitab al-Mu’atta’-nya Imam Malik dalam waktu singkat. Hanya dihafalkan selama di perjalanan dari Makkah ke Madinah. Kitab yang dibawanya pun kitab seorang sahabatnya di Makkah.
Selain itu, Imam asy-Syafi’i sangant banyak menghafal syair-syair Arab badui, terutama suku Hudzail, sampai-sampai al-Ashma’i_orang yang pernah mendapatkan manuskrip tua berisikan antologi sastra jahiliyah_berkata:[11]
صححت أشعار هُذَيل علي فتى من قريش إسمه محمّد بن إدريس
Artinya: “saya menyatakan valid syair-syair suku Hudzail yang di bawa oleh seorang pemuda Quraisy bernama Muhammad bin Idris”
Pernyataan al-Ashma’i ini jelas menunjukkan tingginya kemampuan asy-Syafi’i dalam penguasaan gramatika bahasa arab berikut sastranya.
Dari paparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa dari sekian faktor kesuksesan asy-Syafi’i, terdapat dua faktor internal yang melekat dalam diri beliau. Pertama adalah karunia kecerdasan intelektual yang mendorong ia mampu menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Dan kedua ialah faktor kefakiran yang mana beban sebagai yatim dan fakir yang dipikul Muhammad bin Idris sejak kecil, sangat membentuk karakternya menjadi seorang yang tangguh dengan simpati tinggi terhadap ilmu dan ulama. [HW]
Referensi:
[1] Muhammad Abu Zahrah, as-Syafi’i Hayatuhu wa ‘Ashruhu Arauhu wa Fiqhuhu, (Dar al-Fikr al-Arabi), hal 14.
[2] Muhammad Abu Zahrah, as-Syafi’i Hayatuhu wa ‘Ashruhu Arauhu wa Fiqhuhu, (Dar al-Fikr al-Arabi), hal 16.
[3] https://en.m.wikipedia.org/wiki/Jalur_Gaza, googling pada kamis (dini hari/00.59) tanggal 7 Mei 2020.
[4] Muhammad Abu Zahrah, as-Syafi’i Hayatuhu wa ‘Ashruhu Arauhu wa Fiqhuhu, (Dar al-Fikr al-Arabi), hal 14.
[5] Muhammad Abu Zahrah, as-Syafi’i Hayatuhu wa ‘Ashruhu Arauhu wa Fiqhuhu, (Dar al-Fikr al-Arabi), hal 14.
[6] Muhammad Abu Zahrah, as-Syafi’i Hayatuhu wa ‘Ashruhu Arauhu wa Fiqhuhu, (Dar al-Fikr al-Arabi), hal 14.
[7] Muhammad Abu Zahrah, as-Syafi’i Hayatuhu wa ‘Ashruhu Arauhu wa Fiqhuhu, (Dar al-Fikr al-Arabi), hal 14.
[8] Muhammad Abu Zahrah, as-Syafi’i Hayatuhu wa ‘Ashruhu Arauhu wa Fiqhuhu, (Dar al-Fikr al-Arabi), hal 14. Lihat juga: Muhammad Abu zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah fi as-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyah, (Dar al-Fikr al-Arabi), hal 329.
[9] Muhammad Abu zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah fi as-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikh al-Madzahib alFiqhiyah, (Dar al-Fikr al-Arabi), hal 329..
[10] Muhammad Abu Zahrah, as-Syafi’i Hayatuhu wa ‘Ashruhu Arauhu wa Fiqhuhu, (Dar al-Fikr al-Arabi), hal 17.
[11] Muhammad Abu zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah fi as-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyah, (Dar al-Fikr al-Arabi), hal 410.