Ada banyak definisi pendidikan dari para ahli. Namun, ada satu hal yang menarik dari definisi-definisi tersebut. Bila dicermati semua definisi pendidikan bermuara pada konsep pembinaan kepribadian dan keterampilan. Bicara soal kepribadian, dalam konteks pendidikan Islam tentu saja yang dijadikan sebagai barometer adalah kepribadian Nabi Muhammad saw. Hal tersebut didasarkan pada apa yang telah tercantum dalam surat al-Ahzab ayat 21, “Sungguh! Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…”. Rasulullah saw sendiri kemudian mempertegas ayat tersebut dengan berkata, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak”, (HR. Ahmad).
Dalam Islam sendiri durasi proses pendidikan (belajar) adalah sejak manusia lahir hingga wafat. Jusuf Mudzakkir dan Abdul Mujib mengungkapkan bahwa terdapat 5 hal penting dalam pendidikan Islam, yakni.
- Terjadi proses internalisasi ilmu pengetahuan dan ajaran Islam pada peserta didik.
- Materi yang disampaikan berupa ilmu pengetahuan dan nilai Islam.
- Peserta didik menempati peran sebagai subjek (mengembangkan kemampuan yang dimiliki) dan objek (sasaran dari internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai Islam).
- Mengembangkan kreativitas dan produktivitas peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, dan pengawasan.
- Bertujuan untuk mencapai keseimbangan hidup di dunia dan akhirat.
Sementara itu, 2 unsur utama yang harus ada dalam pendidikan adalah pendidik dan peserta didik. Apabila salah satu dari 2 unsur tersebut tidak ada, maka proses pendidikan tidak akan terjadi.
Secara sederhana, pendidik bisa didefinisikan sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik, baik itu dari segi afektif, kognitif, maupun psikomotorik. Seseorang dianggap sah sebagai pendidik apabila telah memenuhi 2 syarat seperti yang disebutkan oleh Syekh Ahmad al-Rifa’i, yaitu.
- ‘Alim (memiliki pengetahuan dan pemahaman yang mendalam).
- ‘Adil (tidak fasik dan tidak pernah melakukan dosa besar).
Mengingat salah satu tujuan pendidikan adalah mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan, maka bisa dinyatakan bahwa tanpa kehadiran pendidik maka manusia bisa saja menjadi makhluk yang karakternya lebih buruk daripada binatang. Uergensi peran pendidik juga disinggung oleh al-Qur’an, salah satunya terdapat dalam surat al-Taubah ayat 122 berikut.
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya jika mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya.” (QS. al-Taubah/9: 122)
Bukan hanya memaparkan urgensi pendidik, ayat di atas juga menyinggung tugas seorang pendidik yakni memberi peringatan (pelajaran) kepada orang lain. Imam al-Ghazali memberikan perincian bahwa tugas pendidik ada 4, meliputi.
- Menunjukkan kasih sayang kepada peserta didik.
- Meneladani kepribadian Rasulullah saw.
- Tidak menunda dalam memberi nasihat dan ilmu.
- Mencegah timbulnya akhlak tercela pada peserta didik.
Dalam pandangan Imam al-Ghazali, seorang pendidik itu lebih baik ketimbang orang yang berpuasa sunnah dan melaksanakan qiyam al-lail. Drs. Hasan Basri, M.Ag mengungkapkan bahwa pendidik adalah unsur manusiawi dalam pendidikan. Sebab, selain mentransfer pengetahuan, seorang pendidik juga harus memberikan keteladanan. Hal tersebut (memberi keteladanan) jelas tak bisa dilakukan oleh AI (Artificial Intelligence). Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa posisi pendidik tak akan bisa digantikan oleh robot/kecerdasan buatan.
Unsur utama lain dalam pendidikan adalah peserta didik. Definsisi dari peserta didik yakni orang yang tengah berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan, yang mana ia memerlukan bimbingan dan pengarahan untuk menuju titik optimal kemampuannya. Terdapat 5 sifat dasar peserta didik menurut Samsul Nizar, sebagai berikut.
- Bukan miniatur orang dewasa.
- Memiliki periodisasi pertumbuhan dan perkembangan.
- Makhluk Allah yang memiliki perbedaan individu.
- Memiliki unsur jasmani (fisik) dan rohani (akal, nafsu, hati nurani).
- Memiliki potensi yang dapat dikembangkan.
Peserta didik sendiri memiliki tugas utama belajar dan mempraktikkan ilmu yang telah didapatkannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik memiliki hubungan yang intens dengan pendidik, yakni hubungan orang tua-anak. Oleh sebab itulah, arah perkembangan peserta didik harus selalu diawasi oleh pendidik. Guna mengetahui apakah proses pendidikan (belajar) yang dilalui peserta didik berhasil atau tidak, ada 3 hal yang bisa dijadikan sebagai alat ukurnya, yakni.
- Sikap mencitai ilmu dan para pendidiknya.
- Konsentrasi dalam proses belajar.
- Tumbuhnya sifat kedewasaan dan kemampuan menerapkan ilmu yang dimiliki dalam kehidupan.
Hampir selaras dengan hal tersebut, aliran kognitivisme berpendapat bahwa tolok ukur dari keberhasilan proses belajar bagi peserta didik adalah terjadinya perubahan mental menjadi lebih dewasa dan peningkatan kecerdasan dalam memecahkan masalah. Sementara itu, kaitannya dengan potensi peserta didik, Quraish Shihab merincinya dengan berdasar pada al-Qur’an sebagai berikut.
- Kemampuan mengetahui sifat dan kegunaan segala macam benda (terdapat dalam surat al-Baqarah/2 ayat 31).
- Ditundukkan langit, bumi, dan segala isinya oleh Allah swt (terdapat dalam surat al-Jasiyah/45 ayat 12 dan 13).
- Dianugerahi akal pikiran dan pancaindra (terdapat dalam surat al-Mulk/67 ayat 23).
- Kemampuan untuk mengubah (mengembangkan) corak kehidupan manusia (terdapat dalam surat al-Ra’d/13 ayat 11). []
Sumber Rujukan
Basri, Hasan. 2014. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Sukring, Sukring. 2013. Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu.