Di era millenial ini, banyak sekali pergeseran dan perubahan budaya pola pikir di masyarakat. Jika membahas sebabnya, tentu tidak akan cukup hanya dengan tulisan sekilas seperti ini. Banyak sekali faktor yang melatarbelakangi, mulai dari sudut pandang sosial, budaya, ekonomi, politik dan IT. Perubahan mindset tersebut pun sudah menjalar di semua bidang, termasuk dalam dunia pendidikan.
Zaman dahulu misalnya, ketika ada orang tua yang ingin memondokkan anaknya di sebuah pesantren, hal yang menjadi alasan utama mereka adalah karena figur pengasuh pesantren tersebut, bisa karena keilmuan, kewibawaan dan kewiraian sang Kiai. Sehingga sudah sangat biasa ketika terdengar perbincangan baik di kalangan orang tua ataupun santri, misalnya tentang, kitab apa yang diajarkan di pesantren? Sanad keilmuan pengasuh menyambung ke Kiai siapa? dan seterusnya.
Namun sekarang ini, perbincangan para orang tua dan calon santri sudah mengalami perubahan. Sehingga yang mereka tanyakan berganti menjadi, bagaimana rupa bangunan pesantrennya? di kamar pesantren apa ada AC-nya? Tempat tidurnya pakai dipan kasur atau lesehan? Makanannya enak atau tidak? Bolehkah pulang seminggu sekali? Dan lain-lain.
Kiranya pergeseran pertanyaan-pertanyaan orang tua calon wali santri tersebut karena adanya pergeseran makna dan tujuan ketika mengirim anaknya ke pesantren. Kalau orang tua zaman dulu memondokkan anaknya untuk mencari ilmu sekaligus mencari berkah ilmu dan Kiainya, namun orang tua zaman sekarang hanya bertujuan mencari ilmu saja, yang lebih parah hanya mencari formalitas ijazah saja.
Orang tua zaman dulu sadar bahwa mondok harus disertai dengan tirakat, misalnya dengan berpuasa, qiyamullail dan lain-lain. Namun orang tua zaman sekarang lebih mementingkan kenyamanan dalam memondokkan anaknya dan mengesampingkan hal-hal seperi riyadloh. Selain itu, orang zaman dulu memondokkan anaknya ke pesantren dengan menyerahkan jiwa raga anaknya kepada Kiai. Mau dididik dan dibimbing seperti apa? Diserahkan sepenuhnya pada Kiai.
Fenomena-fenomena tersebut di atas bagaikan fenomena gunung es, masih banyak fenomena-fenomena lainnya yang tidak terlihat. Misalnya tentang keilmuan di era digital. Dengan adanya internet banyak orang yang sudah tidak tertarik dengan hal-hal yang bersifat proses, orang sekarang lebih suka dengan sesuatu yang cepat dan instan.
Banyak generasi milenial yang belajar agamanya melalui internet dengan mengesampingkan kepakaran ustadz atau Kiai bidang agama. Mereka secara otodidak berguru melalui Google, melalui video di Youtube dan sejenisnya. Mereka tidak lagi mementingkan belajar agama seperti santri yang secara langsung bertatap muka dengan Kiai, belajar dengan Kiai yang mempunyai sanad keilmuan tersambung sampai ke pengarang kitab dan sampai ke Rasulullah SAW.
Beruntung sekali jika saat ini masih ada para santri pondok pesantren yang sangat menghargai proses. Sadar bahwa mempelajari sebuah ilmu di pesantren itu harus melalui proses yang panjang. Bermula dari mempelajari ilmu yang paling dasar sampai ilmu cabang atau furui, dari belajar bidang yang umum kemudian pada ilmu yang lebih khusus. Semua dipelajari secara bertahap dan konsisten sehingga ilmu yang didapat juga nanti akan lebih komprehensif, lebih lengkap dan bisa dipertanggungjawabkan baik secara keilmuan maupun moralitas.
Santri juga harus memegang teguh muruah, hati-hati dalam bersikap dan menjaga kehormatan pribadi serta ilmu yang dimilikinya. Di dalam kitab Talimul Mutaalim banyak diterangkan tentang adab dan etika seorang pencari ilmu (santri), baik akhlaq kepada seorang guru, tempat belajar serta pada ilmu yang telah dipelajarinya.
Di pesantren kita juga belajar tentang tata cara tawaddhu pada seorang guru, Kiai dan keluarganya. Mengapa? Karena di pesantren selain mengenal istilah ilmu manfaat, kita juga mengenal istilah ilmu barokah. Barokah tidak akan bisa didapatkan tanpa adanya penghormatan kepada ahli ilmu. di pesantren para kiai tidak hanya mengajarkan ilmu melalui pengajaran sorogan, bandongan, dan musyawarah saja, tetapi para Kiai juga mendidik dan membimbing para santri dengan menjadi teladan akhlak.
Para Kiai juga mendoakan para santri-santrinya kelak menjadi orang yang bermanfaat dan barokah di dunia dan akhirat. Hal inilah yang sangat penting sehingga hubungan antara seorang Kiai dan santrinya tidak hanya dalam lintas dhohir saja, melainkan juga dalam persambungan secara batiniyah. Itulah sebabnya, banyak santri zaman dahulu yang ketika lulus dari pesantren, lantas bisa membuat pesantren sendiri dan bermanfaat untuk masyarakat sekitar.
Adapun sekarang ini, banyak sekali pesantren yang berintegrasi dengan lembaga pendidikan formal sebagai jawaban dan solusi atas tuntutan masyarakat. Diantara alasan para orang tua atau seorang anak mau belajar di pesantren adalah ketika sudah lulus nanti akan mendapat ijazah. Tidak salah memang, karena memang sudah zamannya. Namun hendaknya jangan dijadikan prioritas tujuan karena yang menjadi sebab utama keberhasilan seorang murid atau santri adalah faktor kemanfaatan dan kebarokahan ilmunya. [RZ]