Setiap kali membuka kitab, baik kitab Tafsir, Fiqih, Hadis, atau kitab-kitab lainnya yang berbahasa Arab, dan saya menemukan kata-kata yang muskil, karena belum tahu maknanya atau belum mengerti maksudnya. Dan kebetulan di sebelah ada Abah, pasti beliau menguraikan arti kata yang saya tanyakan, dan menjawabnya dengan spontan.
Ketika saya masih duduk di Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan masih menjadi santri kalong, ada banyak pelajaran yang menggunakan kitab kuning. Tidak ada teman berdiskusi. Tidak ada teman-teman atau ustadz sebagai tempat bertanya. Apalagi ketika malam sudah menyergap, hanya ditemani lampu temaram, bila minyak tanahnya sudah mulai habis dihisap api yang bergoyang-goyang, harus rela untuk meraba-raba mencari korek api dan minyak tanah di dapur.
Teman setia menemani kitab kuning, adalah kamus Yunus berwarna hijau, maklum kamus lainnya belum begitu akrab, hanya mendengar nama Kamus Munawwir, tapi kocek belum mampu menjangkaunya. Bila lembar demi lembar dalam kamus Yunus tak ditemukan lafal dan artinya, maka jalan terakhir adalah membangunkan tidurnya Abah. Dari balik kamar, beliau akan langsung merespon arti dari kata yang saya tidak pahami, bahkan ketika kalimat-kalimat (ibarat) dibacakan ia pun menjelaskan dengan begitu gamblang, mudah dipahami, terkadang seperti membaca hasyiah-nya (penjelas matan kitab).
Dulu, ketika saya masih duduk di bangku Ibtidaiyyah (sekelas SD, mungkin sekarang kitab yang digunakan sederajat dengan MTs)’, seperti Kitab Khulashah, Taqrib, ad-Durus Arabiyah, Aqidatul al-Awam, Jawahirul al-Maknun, ketika beliau mengajar jarang sekali membawa kitab ke dalam kelas, sepertinya sudah hapal, sesekali kalau beliau lupa ada santri yang membacakan ibarahnya, beliau yang mengartikan dan menjelaskan dengan cukup detail.
Suatu hari, saya pernah membuka beberapa kitab-kitab beliau seperti al-Iqna’ fi Hil al-Fadh Abi Syuja’, al-Luma’ fi Ushuk al-Fiqh, al-Asyba’ wa an-Nadhair fi al-Furu’, al-Muhadzzab Fi al-Fiqh Imam Syafi’i, Hasyiyah Jawahir al-Maknun li al-Fadhil Al-Syekh Makhluf al-Minyawi tidak ada coretan-coretan makna atau istilah pesantren adalah “Jenggot”, tetapi hanya catatan-catatan kecil di pinggir kitab dan beberapa kosakata serta keterangan yang sepertinya jarang beliau mendengar sebelumnya.
Ketika saya tanyakan, mengapa tidak diberi jenggot?, beliau hanya tersenyum dan menjawab bahwa semua kitab beliau jarang diberi jenggot (makna di bawahnya), kecuali beberapa kitab yang benar-benar baru, itupun tidak setiap kata. Kalau ada beberapa kata atau kalimat yang tidak dimengerti, maka beliau akan menuliskannya di atas kertas, dan kertas tersebut dapat dibawanya kemana-mana untuk dihafal dan didiskusikan bersama dengan teman-teman santri. Setiap mendapatkan kosakata baru dalam satu kitab, beliau hafalkan minimal sepuluh kali. Dan rahasia beliau dalam menghafalkan kosakata dalam beberapa kitab, tidak kemudian memberikan makna dalam setiap kata dalam kitab tersebut, tetapi dibiarkan kosong dan bersih. Jika benar-benar lupa, beliau membuka Kamus. Dari kamus inilah beliau banyak menghafal ribuan kosakata. Kata beliau, setiap membuka lembaran kamus, pada hakekatnya seperti menghafal kosakata. Semakin banyak dan semakin lama mencarinya, maka semakin melekatlah kata itu dalam pikirannya.
Beliau pernah bercerita, kamus pada masa beliau masih sangat langka, kecuali hanya beberapa masyayikh dan beberapa santri yang memilikinya. Tidak mungkin meminjam pada santri setiap saat, apalagi kamus menjadi teman setia kitab kuning. Maka, beliau membeli kamus Marbawi atau yang dikenal dengan Kamus Idris al-Marbawi, kamus yang cukup tebal, harganya juga sangat mahal (pada masa itu). Untuk mendapatkan kamus ini beliau menjual kebun (satu petak tanah) orang tua beliau. Beliau punya prinsip, kalau menjual satu petak tanah, suatu saat bisa membeli lagi satu petak bahkan lebih, tapi kalau kesempatan belajar tidak mungkin terulang kembali. Keputusan membeli kamus ini didukung oleh orang tua beliau yang sangat cinta ilmu, Kiai Lasum. Kamus ini kemudian menjadi teman setia beliau, di mana ada kitab, di situ ada kamus Marbawi.
Seringkali, kalau saya pulang kampung, beliau bertanya tentang ilmu Balaghah, dan kajian-kajian kearaban, dan terkadang arti sebuah kosakata Arab, walau saya yakin beliau sudah mengerti artinya, tetapi di sanalah sering terjadi dialog yang menarik, dan saya kemudian berpikir kwalitas lulusan Muallimin pada masa lalu, sulit tertandingi lulusan yang sederajat Aliyah masa kini, atau bahkan di atasnya. Beliau selain jarang sekali buka kamus, dan sekali membaca kitab-kitab gundul, langsung bisa menjelaskan dengan detail, serta bisa meng’ilal dan meng-I’rabnya. Idza shahhal I’rab, shaha al-makna.
Pengakuan beberapa siswa (santri) madrasah Miftahul Ulum, tempat beliau mengabdikan dirinya puluhan tahun, bahkan sampai wafatnya masih menjadi pengasuh dan kepala sekolah di Madrasah ini, setiap beliau masuk kelas, yang ditanyakan adalah “halaman berapa?”, bukan karena beliau lupa, tetapi beliau mengampu beberapa mata pelajaran yang berbeda setiap harinya, dari Tafsir, Fiqih, Tarikh, dan beberapa materi lainnya, dan semuanya menggunakan kitab berbahasa Arab. [RZ]