Isyarat Lailatul Qadar (Kajian I'jaz Adady dan Pendapat Ulama)

Abu Hurairah RA bercerita, ketika kami bersama Rasulullah SAW tiba-tiba beliau mengingatkan kami tentang Lailah Qadar, “Sudah berapa hari kita berada di Ramadan”, mereka menjawab, 23 hari Ya Rasulallah. Beliau bertanya kembali, “Berapa hari lagi kita berada di Bulan ini”, 8 hari lagi ya Rasul, jawab mereka, “Bukan, kita tinggal 7 hari lagi, bulan Ramadan 29 hari, maka carilah Lailatul Qadar pada malam-malam ini (10 terakhir Ramadan)” .

Rasulullah selalu memotivasi para sahabat dan umatnya untuk selalu meningkatkan ibadah ketika memasuki 10 terakhir Ramadan, terutama di hari-hari ganjil. Karena pada waktu itu diperkirakan Lailatul Qadar turun menjumpai hamba-hamba Allah. Apakah ada tanggal yang paling khusus? terkait dengan ini para ulama berbeda pendapat.

Apakah Malam (27), yang ditunggu itu, atau sudah lewat (21) atau masih ada waktu lainnya (23, 25, 29). Allah ‘alam. Tetapi dari berbagai isyarat ulama’ dan kajian Mu’jizat Adady fil Al Quran, bahwa malam ini (27) adalah malam yang paling ditunggu.

Dari i’jaz ‘Adady, kata “Hiyah” kata ganti yang kembali kepada Lailatul Qadar, menempati urutan ke 27 dalam kalimat di Surat al Qadr. Berikutnya kalimat “Lailatul Qadr” ada 9 huruf, dan dalam surat tersebut disebutkan 3 kali, kalau 3×9 berarti 27 kali. Apakah ini sebuah kebetulan? Apakah hanya permainan kata saja? Mari kita lihat pendapat para ulama, bahwa malam 27 Ramadan adalah turunnya lailatul Qadar, walau banyak ulama yang berbeda, tapi penulis sengaja memilih malam 27 dengan berbagai isyarat tersebut.

Dalam ringkasan makalah Syekh Khaslan, bahwa Ramadan selalu bertepatan dengan tanggal 27. Jika ada pernyataan berubah-rubah dan berganti-ganti malam, itu pendapat ulama kekinian. Sedangkan ulama salaf dan para sahabat lebih memilih yang tanggal 27, arjah menurutnya.

Baca Juga:  KH. Hasan Abdillah Ahmad: Pelopor Haul di Banyuwangi

Sedangkan menurut Syekh Khalid al Huwaisyin juga sama, yaitu pada malam 27 dengan banyak Hadis Shahih. Para sahabat dan tabi’in meyakini itu, seperti Hadis Abi bin Ka’ab riwayat Muslim (para sahabat tidak ada yang mengingkari), Jika ada perbedaan dalam hal waktu, itu sebab keindahan dan sebagai motivasi untuk selalu meningkatkan ibadah kita, kita dianjurkan untuk tidak pernah berhenti pada satu malam saja.

Bila seseorang bertahan pada tanggal 21 atau 23 atau tanggal ganjil lainnya dengan kondisi lelah, namun semakin segar ibadahnya, mungkin hal tersebut yang paling diharapkan. Semakin jauh dari kasur, semakin dekat dengan Baiturrahman. Mudah mudahan semangat tidak pernah kendor, selalu mengejar (taharraw) Lailatul Qadar dengan beri’tikaf, qiraah, qiyamul lail dan ibadah lainnya.

Kerahasiaan Lailatul Qadar menjadi motivasi khusus bagi seorang mukmin untuk mengejarnya. Seribu bulan, waktu yang cukup panjang, sedangkan hidup dan amal kita belum tentu sepada dengan seribu bulan. Mencarinya, adalah mencari keberkahan di dalamnya.

Allahu’alm Bishawab. []

Halimi Zuhdy
Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dan Pengasuh Pondok Literasi PP. Darun Nun Malang, Jawa Timur.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Pustaka