Idul Adha 1445 H tahun ini tidak jauh bertepatan dengan momen penutup siswa sekolah di tahun akademik 2023/2024, yakni kenaikan kelas dan pelepasan bagi siswa kelas akhir. Kita tentu tahu bahwa jika mencoba menelisik kembali pada hikmah idul adha, ternyata momen ini bukan sekadar pada qurban atau pengorbanan nabi Ibrahim atas nabi Ismail, tetapi juga ada teladan bagaimana nabi Ibrahim sebagai sosok ayah yang mengedepankan diskusi dan komunikasi dengan sang putra, bahkan dalam suatu hal yang jelas hukumnya wajib yakni taat pada perintah Allah.
Hal ini tentu menjadi teladan bagi kita dalam peran sebagai orang tua yang hadir dan tidak sekadar memerintah dan memberi contoh namun juga menjadi pendengar dan kawan diskusi, terutama pada hal yang menyangkut anak dan masa depannya.
Isu fatherless country menjadi topik yang cukup banyak diperbincangkan beberapa tahun terakhir. Psikolog asal Amerika Edward Elmer Smith mengatakan bahwa fatherless country berarti negara yang masyarakatnya memiliki kecenderungan tidak merasakan keberadaan dan keterlibatan figur ayah dalam kehidupan anak, baik secara fisik maupun psikologis. Meski masih terdapat perdebatan tentang validnya data bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam fatherless country, namun tentunya dapat menjadi catatan bahwa fenomena ini cukup banyak di sekitar kita.
Adapun penyebab dari fenomena ini salah satunya adalah latar belakang sosial ekonomi serta akar budaya patriarki yang masih cukup kuat. Misalnya, belum lama ini ramai diperbincangkan di media sosial X tentang cuitan seorang ayah yang merasa waktu untuk mencari nafkahnya terbuang dengan menyaksikan pentas sekolah siswa sekolah dasar, dan mestinya kegiatan seperti ini cukup dihadiri ibunya saja. Opini ini tentu mengundang respons publik, bahwa ternyata banyak studi menyatakan bahwa ketidakhadiran ayah pada momen yang cukup penting bagi anak akan berdampak hingga ia tumbuh dewasa, salah satunya yakni rendahnya self-esteem atau penghargaan pada diri sendiri.
Hal ini juga berhubungan dengan peran orang tua dalam kehidupan anak, yakni bagaimana ibu mengajarkan tentang pendewasaan emosi, empati, dan nilai-nilai kasih sayang, sedangkan ayah yang mengajarkan tentang logika, keberanian, dan kemandirian. Sisi feminim dan maskulin ini dapat membentuk anak menjadi pribadi yang aman atau secure, dan utuh.
Bukan hanya dalam peristiwa qurban saja, namun al Quran pun banyak menggambarkan teladan orang tua kepada putranya seperti do’a nabi Zakariya, kisah nabi Ya’qub sebelum mendekati ajalnya dan lain sebagainya. Teladan parenting dengan menjadikan anak sebagai aktor utama yang dihargai kehadirannya dan didengar pendapatnya ini merupakan salah satu cara Islam dalam mencapai tujuan dalam mendidik anak yakni misi penanaman ketauhidan. Dalam hal ini, orang tua dapat memanjakan anak dengan kemanjaan yang terukur.
KH Bahauddin Nursalim yang akrab dengan panggilan Gus Baha mengatakan bahwa dalam Kitab Fathul Muin dijelaskan kesunnahan memberi kelonggaran pada anak, yang dalam konteks ini mumpung tahap pertumbuhan mereka belum sampai pada kondisi mukallaf. Hal tersebut agar anak tak kecewa dengan sistem keluarganya sendiri yang dikhawatirkan akan berujung pada kekecewaan anak pada sistem Islam.
Ketika anak sudah mau beribadah seperti shalat dan membaca Al-Qur’an, maka orang tua mesti mendukung dengan cara yang arif. Harapannya, anak yang dididik menjadi anak shalih shalihah ini pula yang akan menjadi penerus dan penjaga tauhid di masa depan. [RZ]