Dalam “Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat” Hasan Hanafi menyatakan bahwa momen penting dari sejarah kemajuan peradaban Islam di masa lalu adalah penerjemahan dan anotasi terhadap karya-karya luar Islam, salah satunya Yunani.
Dalam hal terjemahan ini, yang menarik adalah hadirnya Hunain Ibn Ishaq, nama lengkapnya Abu Zaid Hunain Ibn Ishaq al Ibadi sebagai salah satu sosok penerjemah utama. Dia rupanya, meski namanya berbahasa Arab, adalah seorang non Islam (Nasrani) yang sangat dipercaya.
Namun begitu, totalitas dan kemampuannya dalam melakukan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam Islam tidak diragukan lagi. Bahkan, menurut Abed Al Jabiri dalam “Formasi Nalar Arab”, dia dipercaya oleh khalifah Al Ma’mun untuk menjadi kepala biro penerjemahan sekaligus kepala perpustakaan Baitul Hikmah yang menjadi pusat ilmu pengetahuan di Bagdad kala itu. Hunain menangani penerjemahan karya-karya pemikiran Yunani ke bahasa Arab, terutama Aristoteles.
Arti penting kehadiran Hunain saat itu didukung oleh proyek Al Ma’mun untuk membangun pengetahuan Islam dengan mempelajari pemikiran non-Islam. Langkah ini merupakan penyempurnaan terhadap upaya transliterasi yang dilakukan oleh Yuhina Al Bitriq sebelumnya. Catatan Philip K. Hitti dalama “A Short History of Arabs” bahwa proses penerjemahan besar-besaran buku-buku non bahasa Arab ke bahasa Arab sangat gencar di rezim dinasti Abbsiyah. Era transliterasi ini berlangsung kurang lebih seratus tahun dimulai sejak 750 M.
Orang-orang yang memiliki kemampuan bahasa asing dan dapat menerjemahkannnya mendapat kredit nilai yang terhormat dan hidup sejahtera. Alam pemikiran Yunani memang salah satu yang diincar. Sebelum kehadiran Hunain, para penerjemah lebih banyak berbahasa Aramaik (Syria) sehingga menerjemah karya Yunani ke bahasa Armaik baru kemudian ke bahasa Arab. Model terjemahan segitiga. Tetapi setelah Hunain hadir penerjemahan dilakukan secara langsung dari bahasa Yunani ke Arab.
Diceritakan oleh David W. Tschanz dalam “Hunayn bin Ishaq: The Great Translator” bahwa awalnya dia adalah mahasiswa kedokteran di bawah asuhan Yuhanna bin Masawayh. Dia tertarik dengan karya-karya kedokteran klasik sehingga dia mempelajari teks-teks Yunani.
Menurut versi K. Hitti, Hunain sempat menjadi pembantu seorang dokter. Kemudian diejek oleh majikannya itu, bahwa dia tidak akan mampu memahami ilmu pengobatan. Hunain lalu tersinggung dan bertekat mempelajari bahasa Yunani demi belajar ilmu kedokteran.
Dia kemudian melakukan penerjemahan terhadap teks-teks kedokteran dari Yunani berkat bahasa yang dikuasainya. Karya-karya kedokteran populer Hippokrates, Aristoteles, Galen, Discorides, dan beberapa komentatornya Oribasius dan Paul dari Aeginata berhasil diterjemahkan.
Hunain juga, dalam penelitian Greg de Young berjudul “Ishaq ibn Hunayn, Hunayn ibn Ishaq, and The Third Arabic Translation of Euclid’s Elements” berkolaborasi dengan anaknya Ishaq Ibn Hunain dalam membuat terjemahan versi ketiga dari karya penting Euklides “Elements” dalam bahasa Arab. Disebut versi ketiga karena versi kedua diterjemahkan oleh Al Hajjaj, sementara terjemahan versi pertama sudah tidak ditemukan lagi naskahnya.
Setelah banyak menerjemahkan teks-teks kedokteran, Hunain merambah buku-buku filsafat Yunani. Dia menghidangkan buku-buku filsafat Plato dan Aristoteles dalam bahasa Arab. Memang upaya ini sebagaimana semangat Al Ma’mun untuk mengenalkan pemikiran rasionalisme Yunani kepada Islam, maka karya Aristoteles secara lengkap diterjemahkan Hunain ke bahasa Arab. Mulai dari “Organon”, “Retorika”, “Puitika”, “Metafisika”, tentang biologi dan astronomi dst. Ada sekitar 100 karya yang dinisbahkan ke Aristoteles, semuanya berhasil diterjemahkan oleh Hunain yang disupport oleh Ibn Muqaffa, Ibn ‘Adi dan Ibn Zir’ah.
Dengan demikian, menjelang berakhirnya periode penerjemahan, semua karya Aristoteles sudah dapat dinikmati oleh orang-orang Islam kala itu dalam bahasa Arab. Buku-buku itu dapat dibaca sambil ongkang-ongkang kaki tentu saja dengan segelas kopi. Hal ini, menurut K. Hitti, suatu kemajuan yang luar biasa dalam peradaban Islam, bahkan di saat orang-orang Eropa tidak mengenal pemikiran dan ilmu Yunani sama sekali. Saat Harun Al Rasyid dan Al Ma’mun tenggelam mempelajari filsafat Yunani dan Persia, Eropa baru saja belajar menuliskan nama-nama mereka.
Kendati begitu, Tschanz mencatat juga, bahwa sebetulnya Hunain tidak hanya melakukan penerjemahan, tetapi juga mengorbitkan orisinalitas pemikirannya sendiri. Salah satu karya pentingnya yang dianggap orisinal “Introduction to Healing Arts”. Selain itu dia juga diketahui menulis tentang psikologi, anatomi dan pengobatan mata yang penting bagi dunia optik. Karya-karya itu berpegaruh tidak hanya di dunia Islam tetapi juga hingga ke Eropa.
Cerita kecil lainnya, adalah konon Hunain sempat dihukum karena menolak permintaan khalifah Mutawakkil untuk membuat racun demi membunuh musuhnya. Dia menolak dan menyatakan bahwa ilmu yang dipelajarinya bukan untuk membunuh ataupun mencelakakan orang, dan ini adalah sumpah bagi seorang dokter dan ahli fisika yang tidak boleh dilanggar. Tapi akhirnya dia dibebaskan.
Pertanyaan kecilnya: mengapa penerjemahan terjadi begitu masif kala itu dan terasa asyik? Selain memang ada kepentingan yang cenderung politik rezim Al Ma’mun dengan rasionalisme untuk mengatasi Batiniah dan Hermetisme, juga penghargaan yang sangat tinggi kepada para penerjemah. Setiap karya terjemahan yang selesai akan dibayar dengan emas seberat buku terjemahan itu. Hunain Ibn Ishaq sendiri digaji sebesar 500 dinar perbulan oleh pemerintah.
Kendali penerjemahan dikontrol langsung oleh negara, bukan oleh penerbit-penerbit curang dan zalim. Penerbit yang hanya mengambil untung sebesar-besarnya tetapi tidak mempedulikan kesejahteraan penerjemah. Maka, kehadiran negara untuk mengawal proses penerjemahan ini menjadi sangat penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Namun sayangnya, di negara kita kesadaran menyejahterakan penerjemah sama sekali tidak jelas.
Demikian, peran Hunain Ibn Ishaq, sosok Nasrani yang memperjuangkan kemajuan ilmu pengetahu Islam. Ilmu ternyata dapat menembus sekat-sekat agama, ilmu bersifat universal.