Cak Bram setelah sowan Mbah Yai Dimyathi Kaliwungu kemarin, dikisahkan sebuah momen saat Mbah Yai Mahrus Aly menghadiri undangan Presiden Soekarno ke Jakarta. Begitu Presiden Soekarno mengetahui kedatangan mobil yang membawa Mbah Mahrus Aly tiba, sang Presiden bergegas berlari untuk membukakan pintu mobil sang kiai.
Hal ini dikarenakan sang Presiden mengetahui betul jasa Mbah Mahrus dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan terutama di Perang 10 November di Surabaya. Di mana Mbah Mahrus memimpin Batalyon Gelatik yang menjadi embrio dari Kodam Brawijaya.
Jadi, NKRI ini adalah ijtihad dan jihad para kiai pendahulu kita, pantaskah bagi kita para santri yang berharap luberan berkah mereka untuk merubah NKRI? Tentu tidak.
Kiai Dimyati berkata sebagaimana dikatakan Mbah Mahrus Aly, “Andaikan setelah Bung Karno ada Presiden dari NU sekalipun, tidak akan melebihi hormatnya Bung Karno pada saya.”
Tidak sekali saja Kiai Mahrus datang ke Jakarta, disambut Bung Karno. Dan tidak cuma di Istana Negara, bahkan tiap kali Bung Karno mengetahui Mbah Kiai Mahrus Aly ada di Jakarta, Bung Karno lah yang menyambut dan membukakan pintunya.
Kemudian Abah Kiai Dimyati cerita panjang lebar tentang para sesepuh NU, para kiai yang seangkatan dengan Mbah Sholeh Darat, tentang para kiai nyentrik seperti Gus Miek, Kiai Hambali Lasem, Kiai Cholil Bisri saat di Lirboyo, tentang beliau sendiri, Bapak Jokowi, sampai berjam-jam tak terasa. Dan beliau adalah salah satu saksi sejarah yang masih hidup.