Idola masa muda saya ada 2: Pak Habibie dan Gus Dur. Itulah kenapa saya masuk ITS dan aktif di NU, sebelum tahu kalo senior² mahasiswa ITS lebih tegas dari Lasykar FPI, sebelum tahu kalo Banser suka menjaga gereja, membubarkan pengajian dan menjaga dangdutan.
Saya tidak menyangka seorang insinyur bisa seromantis Pak Habibie. Kisah cintanya lebih abadi dibanding perusahaan pesawat buatannya. Tentu, ini beban berat bagi saya. Khawatir kalo Ning Mas Ucik Fatimatuzzahra menuntut saya seperti itu: bisa romantis dan bisa bikin kapal. Ampunnnnn. Lha wong doa tahlil aja kadang ingat kadang lupa.
Saya juga tidak menyangka kalau Gus Dur juga pernah menulis surat cinta demi merebut hati Bu Shinta. Tokoh yang lucunya setiap saat ini bisa serius juga dalam melakoni drama cintanya. Untungnya beliau tidak memainkan drama Korea, Haram.
Pak Habibie merasakan betul pahit getirnya pengembangan teknologi mulai dari ilmu hingga industrinya. Gus Dur termasuk pengkritik kebijakan beliau yang paling tajam di masanya. Tapi Allah Maha Adil, Gus Dur juga merasakan kepahitan dan kegetiran yang sama saat memimpin Indonesia sesuai konstitusi. Ya, memimpin Indonesia sesuai konstitusi, bukan ayat suci. Karena ngurus Indonesia tidak sama seperti jadi panitia MTQ. Semua warga negara harus merasa diayomi tanpa terkecuali. Sampai saat ini masih ada yg percaya kalo Gus Dur orang sekuler dan liberal. Mungkin gara-gara keteguhan beliau membela konstitusi. Sekali lagi, mungkin.
Kini, keduanya telah berpulang ke Rahmatullah. Jasadnya sudah tiada namun jasanya sudah nyata bagi bangsa, negara dan agama. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka berdua. Saya membayangkan keduanya sedang bercengkrama di bawah ampunan-Nya sambil menikmati lucunya rakyat Indonesia yang ngomel-ngomel setelah Esemka dilaunching. Lahumul Fatihah….