Ulama

Habib Umar yang Saya Ketahui

(Habib Umar bin Hafidz)

Tentunya banyak sekali pengalaman-pengalaman indah selama 6 tahun lebih berguru kepada beliau di Tarim. Kiranya tak akan cukup dimuat dalam sebuah buku, apalagi dalam sebuah catatan. Dengan niat menteladani akhlak dan tindak-lampah beliau, saya akan mencoba menuangkan sifat-sifat beliau yang saya ketahui dalam beberapa tulisan, akan saya “cicil” secara acak dan mungkin akan menjadi beberapa episode.. Bismillah.

Pertama, Waro’.

Beliau adalah sosok yang wira’i. Sangat menjaga diri dari perkara haram, apalagi dalam urusan makanan. Contoh, terkait masalah daging ayam impor yang berasal dari Brazil, Prancis dll. Beliau cenderung mengharamkan, karena masih belum jelas bagaimana ayam itu disembelih. Beliau juga sangat menghindari makanan yang bisa berbahaya untuk kesehatan. Saya masih ingat, ketika itu beliau memberi arahan kepada kami setelah Riyadhoh (olahraga) pagi. Kala itu beliau berpesan :

“di sini seharusnya tidak ada lagi makanan dan minuman yang berbahaya untuk kalian.. Seperti minuman kaleng dan mie Instan “. Tak lama setelah itu Mie Instan nggak pernah dijual lagi di Darul Musthofa.

Kedua, Mengutamakan persatuan ummat.

Beliau juga merupakan sosok yang sangat menjujung tinggi persatuan dan kedamaian. Setiap minggunya, dari kamis sore sampai jum’at siang sebagian dari kami dikirim untuk berdakwah ke desa-desa di Hadhramaut. Tentunya banyak dari mereka tidak se-manhaj dan sealiran dengan kita, banyak dari mereka adalah penganut Wahhabi.

Habib Umar berpesan kepada kami agar menjauhi pembahasan sensitif yang bisa menimbulkan perpecahan seperti masalah maulid, tawassul, dll. Kami dituntut untuk menyampaikan hal2 yang disepakati bersama seperti masalah akhlak, Iman, dll. Ketika terjun ke desa-desa kami juga sering mendengar komentar-komentar negatif tentang Habib Umar terutama dari masyarakat yang terpengaruh faham wahhabi. Tapi beliau selalu menekankan bahwa orang-orang seperti mereka justru lebih membutuhkan doa dan kasih sayang kita daripada yang lain. Beliau bahkan pernah berpesan :

Baca Juga:  Gus Fahmi dan Cita-Cita Menelusuri Jejak Kakek Buyutnya

“Kita sama sekali tidak memperbolehkan diri kita untuk meremehkan seorang muslim, (siapapun dia). kita juga tak kan pernah memperbolehkan diri kita untuk merendahkan seorang muslim atau melecehkan harga dirinya. Karena bisa jadi orang yang kau remehkan dan rendahkan itu justru akan menjadi orang yang mensyafaatimu dan menyelamatkanmu kelak di hari kiamat.. ”

Ketiga, Lembut dan penyayang.

Sifat ini tampak sangat jelas bagi setiap orang yang pernah duduk bersama beliau. Setiap orang yang mengajak beliau berbicara, beliau akan mendengarkannya dengan sangat antusias, lantas menjawabnya dengan suara yang -saking lembutnya- bisa dikatakan sangat lirih. Beliau jarang sekali marah atau meninggikan suara – kecuali ketika berceramah -. Selama 6 tahun di Tarim bersama beliau, saya masih ingat hanya 2 kali beliau terlihat marah kepada sebagian santrinya.

Pertama ketika waktu itu Qosidah2 setelah tarawih dibacakan tapi masih banyak pelajar yang ngobrol sendiri di belakang Musholla. kedua ketika pembacaan doa hatam Alquran, tapi ada sebagian pelajar yang duduk menjauh di shof belakang. Kala itu beliau menegur mereka dengan nada yang tinggi dan agak ditekan. Selebihnya beliau sama sekali tak pernah marah, apalagi hanya karena urusan duniawi, hampir bisa dikatakan mustahil.

Tentang sifat penyayang beliau ada sebuah kisah menarik dari salah satu sabahat saya. Waktu itu ia mendapat kesempatan duduk berdua bersama Habib di Maktab beliau. Lazimnya santri dihadapan gurunya, ia curhat dan menyampaikan keluh kesahnya. ia menceritakan tentang dirinya yang tak kunjung menjadi orang baik, merasa tak pantas menjadi murid beliau karena masih sering melanggar dan berbuat dosa.

Mendengar curhatannya, Habib menjelaskan bahwa rasa malu dan bersalah itu merupakan sebuah tanda kebaikan, jauh lebih baik dari mereka yang tak pernah mengakui dan menyadari kesalahannya. Mungkin karena tak bisa menahan perasaannya, sahabat saya yang asli Banjar ini menangis tersedu-sedu dihadapan Habib. dan ini yang menakjubkan dari beliau, melihat santrinya menangis beliau tidak menasehati atau menyuruhnya berhenti, beliau justru memeluk sahabat saya itu, mendekapnya layaknya seorang ayah yang mengayomi dan menenangkan anaknya.. Dan pada hari itu, sahabat saya itu sukses membuat baper dan iri seisi Darul Musthofa.

Baca Juga:  KH. Yahya Cholil Staquf: NU Sebagai Wadah Para Ulama yang Berhak Dianut

Keempat, Tawadhu dan rendah hati.

Ismail Amin Kholil
Alumnus PP Al Anwar Sarang, Alumnus Darul Mustofa Tarim Yaman dan PP Syaikhona Kholil Bangkalan

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Ulama