Gus Ulil dan Penafsiran Metaforis

Ulama Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan itu qadim sebagaimana Dzat-Nya Tuhan juga qadim. Dalam hal ini, qadim adalah tidak mempunyai permulaan dalam waktu. Karena itu, jika ada sesuatu yang memiliki permulaan walaupun satu triliun tahun yang lalu, maka ia tidak qadim, melainkan hadits.

Begitulah kata ulama-ulama Asy’ariyah. Kita tahu, Asy’ariyah adalah sebuah aliran dan aqidah yang diikuti oleh kalangan nahdliyin dan umat Islam umumnya di Asia Tenggara. Kenapa Asy’ariyah berpendapat seperti ini? Karena ada kelompok lain yang pendapatnya tidak demikian. Sebut saja misalnya Muktazilah.

Muktaziah mengatakan bahwa ada sifat-sifat Tuhan yang tidak qadim, melainkan hadits. Salah satunya adalah sifat kalam Tuhan. Bahwa, kata Muktazilah, kalam-Nya Tuhan tidak mungkin qadim. Karena kalam mengandaikan mukhatab (orang yang diajak ngomong).

Tentu saja, dalam benak Muktazilah, jika Anda ngomong maka berarti membutuhkan orang yang diajak ngomong (lawannya). Nah, jika Tuhan ngomong dari dulu, sementara yang diajak ngomong baru belakangan, misalnya Tuhan berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِکُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183).

Jika Tuhan berfirman seperti ini tetapi tidak makhluk, lalu bagaimana Tuhan bisa mengatakan seperti ini? Sebab ngomong mengandaikan ada yang diajak ngomong, dan yang diajak ngomong adalah makhluk (dan makhluk hadits). Maka dengan sendirinya kalam Tuhan hadits, tidak mungkin qadim. Demikian kata Muktazilah.

Lalu bagaimana cara Asy’ariyah memahami sifat kalam Tuhan?

Bagaimana Tuhan berfirman dari dulu (qadim) sementara yang diajak ngomong baru belakangan? Misalnya ketika Tuhan berfirman dalam al-Qur’an Surat Taha ayat 12:

Baca Juga:  Gus Ulil dan Penafsiran Metaforis

اِنِّيْۤ اَنَاۡ رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَـعْلَيْكَ ۚ اِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى

Artinya: “Sungguh, Aku adalah Tuhanmu, maka lepaskan kedua terompahmu. Karena sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, Tuwa.” (QS. Taha [20]: 12).

“Wahai Musa lepaslah sandalmu,” bukankah Nabi Musa baru muncul belakangan? Artinya, sebelum Nabi Musa ada kalau Tuhan berfirman sejak qadim, maka berarti sudah dari dulu Tuhan mengatakan “Lepaslah sandalmu”. Lalu yang disuruh melepas siapa? Bukankah Nabi Musa datang belakangan (karena waktu itu Nabi Musa tidak ada)?

Dalam al-Qur’an Surat Al-Ikhlas ayat 1 Allah Swt. berfirman:

قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa.” (QS. Al-Ikhlas [112]: 1). Jika Tuhan mengatakan seperti ini dari dulu, sementara Nabi Muhammad belum ada, lalu yang disuruh berkata itu siapa?

Gus Ulil mengatakan bahwa cara memahami sifat kalam Tuhan menurut ulama Asy’ariyah adalah dengan menggunakan teori kalam nasfi (kalam yang ada pada diri kita yang tidak diomongkan).

Misalnya, saat suasana panas kehausan Anda duduk sendirian, pasti kadang Anda ngomong sendiri dalam diri, “Ya Allah enak banget misal ada es degan sambil duduk dibawah kursi yang ber AC nonton Netflix.” “Aku nanti kalau punya anak akan saya perintahkan kuliah di UI, setelah itu kuliah ke Amerika, setelahnya saya suruh kerja.” Ngomong sendiri tapi tidak diomongkan.

Jadi, menurut ulama Asy’ariyah, ketika Tuhan berkata: “Wahai Musa lepaslah sandalmu,” pada diri Tuhan ada semacam khabar (berita) berupa kalam nafsi. “Nanti kalau ada makhluk namanya Musa sudah lahir ke dunia maka Aku akan mengatakan kepada Musa lepaslah dua sandalmu.” Kalam nafsi ini ada sejak dulu (qadim).

Kata Gus Ulil, kalam yang seperti ini tidak harus mengandaikan orang yang diajak ngomong itu ada. Tidak. Yang penting, dia sudah diketahui oleh Tuhan akan ada dalam waktu tertentu. Jadi tidak harus maujud. Beginilah cara ulama Asy’ariyah dalam memahami sifat kalam Tuhan.

Baca Juga:  Puisi Paskah Ulil Abshar Abdalla Ra Lilur hingga Syair al-Maarri yang Dinilai Ateis

Hanya saja, ketika orang yang perintahkan itu lahir, maka kalimat yang mengungkapkan kalam nafsi berbeda dengan kalimat untuk mengungkapkan kalam nafsi sebelum yang diperintah ada. Misalnya Tuhan berkata: “Aku mengutus Nuh,” jika Nabi Nuh nya belum ada bagaimana? Jika belum ada Tuhan akan berkata: “Aku akan mengutus Nuh.” Dan makna “mengutus” sudah ada dari dulu (qadim), dan tidak berubah sama sekali. Wallahu a’lam bisshawab.

Salman Akif Faylasuf
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Kitab