Khutbah Iduladha: Sederet Sejarah Penyembelihan

السلام عليكم ورحمة  الله وبركاته

الله أكبر x9

كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا. لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ. لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الْحَمْدُ.

الْحَمْدُ لِلّٰهِ الْحَلِيْمِ السَّتَّارِ الْمُتَفَضِّلِ بِالْعَطَاءِ الْمِدْرَارِ النَّافِذِ قَضَاؤُهُ بِمَا تَجْرِيْ فِيْهِ الْأَقْدَارُ يُدْنِيْ وَيُبْعِدُ وَيُشْقِيْ وَيُسْعِدُ وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ مُكَوِّرُ اللَّيْلِ عَلَى النَّهَارِ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُصْطَفَى الْمُخْتَارُ الشَّفِيْعُ فِيْمَنْ يُصَلِّي عَلَيْهِ مِنَ النَّارِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ مَا طَلَعَ فَجْرٌ وَاسْتَنَارَ. أَمَّا بَعْدُ:

فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ. فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قَالَ اللهُ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

الله أكبر x3

Jama’ah iduladha yang dirahmati Allah

Saat ini kita berada di hari raya yang mulia, hari raya idul adha, kita juga sekarang berada di bulan yang mulia, bulan zulhijjah salah satu dari bulan yang dihormati atau al-asyhurul hurum, dan kita juga sedang duduk simpuh di tempat yang mulia yaitu tempat yang paling Allah sukai, tak lain adalah masjid sebagai rumah Allah, Baitullah. Semoga dengan segala nikmat yang Allah berikan ini, dapat menambah rasa syukur kita dari waktu ke waktu, yang ujung dari segala rasa syukur itu adalah peningkatan takwa kita terhadap Allah Jalla Jalaluh wa Ta’ala fi ‘Ulah. Aamin ya rabbal alamin.

Hadirin yang berbahagia

Di momen hari raya idul adha ini, banyak sekali pelajaran dan hikmah yang Allah ingin sampaikan kepada umat manusia, terkait cara hidup dan berkehidupan demi meraih rida dan ampunan-Nya. Bukan hanya sekadar menyembelih hewan kurban lalu menyedekahkannya. Bukan cuma itu. Ada pesan-pesan yang jauh lebih penting yang tersimpan di balik sejarah hari raya iduladha ini.

Berbicara soal idul adha yang di dalamnya terdapat perintah kurban, berbicara pula tentang tokoh penting di balik itu. Siapa gerangan? Ya, beliau seorang Kholilullah Nabiyullah Ibrahim a.s. Jauh sebelum perintah kurban itu turun, ada satu doa Nabi Ibrahim yang selalu beliau langitkan di setiap munajatnya. Doa ini terekam dalam Al-Qur’an surat As-Saffat:

وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَىٰ رَبِّي سَيَهْدِينِ (99) رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (100) فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ  (101)

Apa doa beliau? رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ. “Duhai Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang termasuk dari bagian orang-orang saleh.”

Sekian lama menanti, akhirnya Nabi Ibrahim dan istrinya Siti Hajar dikaruniai Allah seorang anak yang diberi nama Ismail di usia yang tidak lagi muda. Anak ini yang kelak akan membantu Nabi Ibrahim untuk berdakwah dan berbuat taat kepada Allah. Anak ini pula yang akhirnya menjadi objek perintah untuk disembelih dari mimpi berturut-turut Nabiyullah Ibrahim a.s.

Sampai titik ini, ada satu hal yang bisa kita petik yaitu senantiasa meminta dan berdoa kepada Allah atas keinginan dan cita-cita kita. Seorang kekasih Allah saja, Nabi Ibrahim tak bosan-bosan meminta kepada Allah dalam hal ini agar diberikan keturunan saleh, apalagi kita dan siapa kita? melainkan hamba yang penuh dengan dosa dan khilaf. Tidak ada alasan untuk tidak berdoa kepada Allah. Nabi Ibrahim dengan giatnya melangitkan doa untuk dikaruniai seorang anak saleh, pada akhirnya Allah kabulkan dengan cara yang terbaik. Pun demikian dengan kita, semua hajat dan harapan kita, di mata Allah tak ada yang mustahil jika kita senantiasa meminta dan berdoa kepada Allah setelah pastinya memenuhi prinsip-prinsip berdoa yang di antaranya adalah usaha atau ikhtiar.

Jama’ah yang budiman

Dalam kitab Durrotun Nasihin, terangkum kisah menarik tentang  sebab penyembelihan yang dilakukan oleh Nabiyullah Ibrahim terhadap anaknya, Nabiyullah Ismail. Alkisah Nabi Ibrahim suatu saat berkurban dengan seribu ekor kambing, tiga ratus ekor sapi, dan seratus ekor unta di jalan Allah. Lantas manusia dan malaikat dibuat kagum dengan hal tersebut. Maklum, Nabi Ibrahim dikenal sebagai orang terkaya pada saat itu. Beliau memiliki 12.000 anjing penjaga untuk melindungi ternaknya. Setiap satu ekor anjing dikalungkan kalung emas untuk memberi pelajaran bahwa dunia itu semu dan tidak layak diperjuangkan mati-matian. Bayangkan, berapa banyak ternak yang beliau miliki jika penjaganya saja 12.000 anjing. Sampai akhirnya Nabi Ibrahim dengan lantang berkata; “Semua yang aku kurbankan tak berarti apa-apa di sisiku. Bahkan andai aku memiliki anak sekalipun, aku akan sembelih demi mendekat kepada Allah”.

Baca Juga:  Melihat Jejak Awal Kemunculan Radikalisme

Bertahun-tahun lamanya ketika ucapan itu terlontar dan Nabi Ibrahim lupa akan hal tersebut, Allah memberikan jawaban atas penantian panjang Nabi Ibrahim akan putera yang didamba-dambakan itu.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ

Tatkala sang putera berusia tujuh tahun, dalam satu riwayat tiga belas tahun. Nabi Ibrahim bermimpi;  أَوْفِ بِنَذْرِكَ. “Tunaikanlah nazarmu”. Pada malam itu, tepat hari kedelapan bulan Dzulhhijjah. Keesokan harinya Nabi Ibrahim merenung apakah mimpi itu datang dari Allah atau dari setan yang dalam bahasa Arab adalah يَتَرَوَّى satu akar dengan kata tarwiyah, dan karena itu disebut hari tarwiyah. رَوَّى – يُرَوِّيْ – تَرْوِيًّا – تَرْوِيَةً.

Malam berikutnya tanggal sembilan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim diimpikan hal serupa dengan malam sebelumnya.   أَوْفِ بِنَذْرِكَ. “Tunaikanlah nazarmu”. Ketika masuk waktu pagi, Nabi Ibrahim عَرَفَ /tahu bahwa mimpi itu datangnya dari Allah. Sebab itu, dinamai hari Arofah di samping memang ada sebuah bukit yang disebut Arofah karena tempat pertemuan Nabi Adam dan Ibunda Hawwa yang masing-masing dari keduanya تَعَارَفَا mengetahui keberadaan pasangannya dan akhirnya saling bertemu.

Dan malam yang ketiga, tanggal sepuluh Dzulhijjah, Nabi Ibrahim kembali bermimpi dengan mimpi yang sama. أَوْفِ بِنَذْرِكَ. “Tunaikanlah nazarmu”. Maka di hari itu Nabi Ibrahim antusias menyambut perintah Allah untuk menyembelih sang anak. فَهَمَّ بِنَحْرِهِ. Lantas beliau bertekad untuk menyembelihnya. Dan sebab itu dinamai hari nahr atau hari penyembelihan, hari yang sekarang kita sedang berada di dalamnya untuk memperingati perayaan idul adha.

Pasca kejadian mimpi itu, Nabi Ibrahim meminta istrinya Siti Hajar yang tak bukan adalah ibu dari sang anak, Ismail a.s agar memakaikannya pakaian yang paling bagus dengan alasan untuk diajak bertamu. Lantas sang ibu memakaikannya pakaian terbaik, memberikannya minyak rambut lalu menyisirkannya dengan rapih. Bergegaslah Nabi Ibrahim bersama Ismail kecil ke sebuah tempat di samping Mina dengan seutas tali dan sebilah pisau yang beliau bawa.

Di sini lah iblis datang menggoda. Yang pertama kali digoda adalah Nabi Ibrahim sendiri. “Hai, tidakkah kau lihat seorang anak yang penuh dengan keindahan. Perawakannya tegak, tampan rupawan, dan lembut perangainya.” Nabi Ibrahim tegas menjawab; “Iya, benar, Tetapi perintah ini datang dari Allah”. Putus asa lah Iblis dan mencoba jalan lain dengan menghadap kepada sang ibu, Siti Hajar. “Bagaimana engkau bisa duduk manis di sini. Ibrahim membawa anakmu untuk menyembelihnya.” Siti Hajar menjawab; “Bagaimana mungkin ada seorang ayah yang menyembelih anaknya.” Iblis pun kembali merayu; “Karena alasan itu, ia membawa seutas tali dan sebilah pisau.” “Untuk apa ia menyembelihnya”, ujar siti Hajar. Iblis yang terkecoh menjawab; “Dia mengira bahwa Tuhannya memerintahkan itu.” Dengan kecerdasannya, Siti Hajar menyangkal; “Seorang Nabi tidak mungkin diperintah dusta. Akan ku jadikan tebusan diriku demi perintah-Nya. Apalagi dengan anakku?!”.

Iblis yang gagal menggoda pun kembali putus asa. Tak menyerah, jalan terakhir ia tempuh untuk melancarkan serangan dengan membisikkan sang anak, Ismail a.s. “Engkau riang gembira lari ke sana ke sini untuk bermain. Tapi apakah kau tahu bahwa ayahmu membawa tali dan pisau untuk menyembelihmu?”. “Jangan berbohong! Alasan apa ayah menyembelihku?”. “Dia mengaku mendapat perintah dari Tuhannya.” Nabi Ismail pun dengan kesalehannya menjawab; “Sami’na wa ato’na. Kalau perintah itu datang dari Tuhan, maka tidak ada jalan untuk aku menolaknya”. Ketika Iblis ingin merayu kembali, maka Nabi Ismail meraih sebuah kerikil dan melemparkannya ke arah Iblis mengenai mata kirinya. Dari situ lah asal-usul syariat melempar jumroh, untuk menolak ajakan syaithon dan mengikuti tindak tanduk Nabi Ismail ibni Kholilirrohman.

Baca Juga:  Ketika Halal-Haram Bercampur

Sampai lah pada ayat

قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ

Duhai anakku. Sungguh aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu”. Sungguh pelajaran akhlak yang amat mahal dari seorang ayah kepada anaknya. Sudah jelas bahwa itu perintah Allah, tetapi Nabi Ibrahim tetap memanusiakan anaknya dengan meminta konfirmasi; “bagaimana pendapatmu?”.

Nabi Ismail dengan tenang menanggapi;

قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

Wahai ayah, lakukanlah. Insyaallah engkau menemuiku di barisan orang-orang yang sabar.” Dari jawaban itu, Nabi Ibrahim paham bahwa Allah telah mengabulkan doa yang dulu ia panjatkan bertahun-tahun agar dikaruniai seorang anak yang saleh. رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ.

Sebelum Nabi Ismail disembelih, lagi-lagi ada pelajaran berharga yang bisa kita petik. Nabi Ismail memberikan beberapa syarat yang mana syarat ini menjadi anjuran untuk prosesi penyembelihan hewan kurban. Yaitu agar tangannya diikat supaya tidak berontak dan berpotensi dapat menyakiti sang ayah. Beliau juga meminta agar wajahnya di hadapkan ke tanah agar sang ayah tak melihatnya kemudian mengurungkan niat sebab itu. Di samping itu, beliau meminta agar ayahnya melipat pakaian yang dikenakan supaya tidak ada cipratan darah yang dapat membuat ibunya menangis sedih setelah beliau kembali pulang. Dan terakhir, beliau meminta ayahnya untuk mengasah pisau dengan sungguh-sungguh dan mengayunkannya dengan cepat di leher agar proses penyembelihan terasa cepat sebab perihnya kematian begitu dahsyat.

Tatkala Nabi Ibrahim meletakkan pisau di leher anaknya, Nabi Ibrahim mulai mengayunkan pisau dengan kuat. Tapi kehendak Allah berkata lain, Nabi Ibrahim tidak mampu sedikit pun memutuskan leher sang anak. Bahkan para Malaikat yang turut menyaksikan kejadian itu tunduk sujud kepada Allah. Allah ingin memperlihatkan kepada para Malaikat bahwa anggapan buruk mereka tentang manusia di muka bumi itu keliru ketika Allah mengangkat manusia sebagai khalifah di muka bumi. Allah tunjukkan bagaimana anak cucu Adam yang bernama Ibrahim a.s rela mengayunkan pisau ke leher anaknya demi meraih rida-Nya.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Nabi Ismail yang tidak percaya bahwa pisau tersebut tidak dapat melukainya pun berkomentar; “Duhai ayah, mungkin karena kedahsyatan cintamu terhadapku membuat kekuatanmu menjadi lemah”. Nabi Ibrahim yang menjadi ragu akan tajamnya pisau asahan itu pun mencoba membenturkannya ke sebuah batu dan seketika batu itu terbelah menjadi dua tanda akan begitu tajamnya pisau tersebut. “Engkau dapat membelah kerasnya batu, tapi tidak dapat menembus empuknya daging”. Itu lah yang dikatakan Nabi Ibrahim terhadap pisau tersebut. Lantas pisau itu menjawab dengan izin Allah; “Engkau katakan potong, sementara Tuhan semesta Alam mengatakan tidak. Bagaimana mungkin aku menaati perintahmu sedangkan aku mengkhianati perintah Tuhan.” Ini lah yang disebut dengan hukum kebiasaan. Biasanya memang pisau yang tajam dapat mengiris daging yang tebal sekalipun. Tapi sejatinya bukan pisau yang membuat daging itu teriris tapi kehendak Allah lah yang dapat mengiris itu lewat hukum kebiasaan sebuah pisau yang tajam.

Baca Juga:  Pesantren dan Santri: Sebuah Tinjauan Sejarah

Pada akhirnya Nabi Ismail diganti dengan seekor kambing kibasy yang Allah datangkan dari Surga lewat Malaikat Jibril. Kambing tersebut ternyata adalah kambing yang menjadi sembelihan Habil bin Adam ketika berkurban dan diterima kurbannya oleh Allah. Kambing itu hidup di surga sampai pada akhirnya dijadikan tebusan untuk Nabi Ismail a.s. Berdecak kagum Malaikat Jibril dibuatnya. Dengan penuh rasa ta’dzim, Malaikat Jibril berkata; الله أكبر الله أكبر. Seakan tak mau kalah, Nabi Ibrahim membalas; لا إله إلا الله والله أكبر. Nabi Ismail yang turut menyaksikan pun langsung merespon dengan ucapan; الله أكبر ولله الحمد.

Pada akhirnya, itu lah sejarah shigot takbit atau bentuk lafadz takbir yang dianjurkan untuk menggemakannya di setiap hari raya.

الله أكبر x3

Ini lah sederet kisah yang harus kita pahami akan sejarah kejadian penyembelihan yang selama ini kita saksikan setiap kali idul adha bertandang. Sebab keteguhan seorang  ayah yang rela menyembelih anaknya itu, Allah mengirimkan salam untuk Nabi Ibrahim yang terekam dalam surat as-Shaffat;

سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ. كَذلِكَ نَجْزِيْ الْمُحْسِنِيْنَ. إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِيْنَ

Ma’asyirol hadirin hafidzokumulloh

Maka, melalui mimbar ini, al-faqir mengajak jama’ah sekalian untuk merenungi dan merenangi pesan dan hikmah di balik hari raya idul adha ini, di samping agar kita tahu sejarah disyariatkannya penyembelihan kurban, kita juga tahu akan ketaatan para Nabi Allah, yang semua hal itu nantinya akan bermuara pada peningkatan takwa kita terhadap Allah SWT. dzat yang mensutradarai semua cerita indah nan penuh hikmah ini.

 

أعوذ بالله من الشيطان الرجيم

بسم الله الرحمن الرحيم

إِنَّآ أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِي هذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

______________________________________________

الله أكبر x7

الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ اتَّصَفَ بِالْكَمَالَاتِ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍن الَّذِيْ أُيِّدَ بِالْمُعْجِزَاتِ. وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ فَعَلُوْا الْحَسَنَاتِ وَاجْتَنَبُوْا الْمُنْكَرَاتِ. أَمَّا بَعْدُ

فَيَآ اَيُّهَا النَّاسُ، اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ. وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.

وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ عَلَى نَبِيِّكُمْ قَدِيْمًا. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ:

أَعُوْذُ باللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.

إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ. يَآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.

اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَدٍّ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ. وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَدٍّ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ. فِي الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ، أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ، وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِيْ التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

اللّهُمَّ  اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ. إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ وَيَا قَاضِيَ الْحَاجَاتِ. اللّهُمَّ انْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنَ وَأَعْلِ كَلِمَتَكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.

اللّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ مِنْ بَلَدِنَا هذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

عِبَادَ اللهِ !! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِيْ الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوْا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلَى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَاسْئَلُوْهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ. وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ.  وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.

والسلام عليكم ورحمة  الله وبركاته

Link download teks: Khutbah Iduladha (Sederet Sejarah Penyembelihan)

Imamuddin Muchtar
Mahasiswa PBA Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim, PP Al Awwabin Depok.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Khotbah