Gus Ulil dan Penafsiran Metaforis

Kita tahu Muktazilah adalah golongan yang ingin menerapkan konsep tauhidnya dengan semurni-murninya. Mereka menolak interpretasi yang cenderung kepada tashbih dan tajsim. Menurutnya, Tuhan berbeda dengan manusia. Jadi, kita tidak bisa menganalogikan­Nya dengan manusia atau makhluk-Nya.

Karena itu, segala bentuk penakwilan yang bisa menyamakan-Nya dengan manusia mereka tolak, sebab hal tersebut akan mencemari makna tauhid itu sendiri. Namun, dalam implementasinya tidak semuanya konsekuen dan komitmen dengan teori ini sebagaimana yang terjadi dalam masalah sifat-sifat Allah, melihat Allah, dan al-Qur’an makhluq.

Kata Gus Ulil, memang dari satu segi, rasionalisme yang dikembangkan oleh Muktazilah dalam bidang akidah untuk berdakwah dalam mengislamkan golongan non-Muslim, dan membentengi akidah Islam dari serangan penganut agama lain adalah cukup berjaya, dan ini perlu diapresiasi. Akan tetapi, bila dikembalikan ke dalam nas-nas agama, banyak juga pendapat mereka yang bertentangan.

Oleh sebab itu, ada ulama yang ingin berusaha mengemukakan pendapatnya, secara rasional, tetapi tetap berpegang kepada nas agama; atau di dalam menjelaskan dan menguraikan pendapatnya memakai metode Muktazilah yakni memakai logika, tetapi pendapatnya tetap berlandaskan kepada nas-nas al-Qur’an dan hadits, atau memadukan antara aql dan naql. Mereka itu adalah: Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, Al-Juwai ni. Al-Ghazali dan Al-Maturidi.

Lalu bagaimana Muktazilah dalam merumuskan tauhid?

Syahdan. Muktazilah dalam merumuskan konsep tauhidnya dengan cara menjelaskan hubungan antara sifat dan dzat ilahiyah. Dalam hal ini, Al-Shahrastani menerangkan pendapat Muktazilah bahwa Allah Swt. adalah qadim, dan sifat qadim merupakan sifat paling khusus bagi Dzat-Nya.

Rupanya, mereka secara prinsip menafikan sifat-sifat qadimah (azaliyah, sudah ada sejak semula). Mereka berkata: “Dia (Allah) alim dengan Dzat-Nya, qadim (Kuasa) dengan Dzat-Nya, hayy (Hidup) dengan Dzat-Nya, bukan dengan sifat ilm, qudrah dan hayah.”

Semua itu adalah sifat-sifat qadimah, dan makna-makna yang tidak terpisah dari dzat. Sebab, apabila Allah itu bersifat qadim dan sifat-sifat itu juga sama-sama bersifat qadim yang merupakan sifat kekhususannya, maka tidak dapat dihindari adanya persamaan dalam hal ketuhanan.

Baca Juga:  Gus Ulil: Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad (Sebuah Jalan Tengah dalam Beraqidah)

Tak hanya itu, mereka sepakat bahwa kalam Allah (al-Qur’an) adalah baru dan makhluq pada tempatnya, dia adalah huruf, dan suara, hikayat-hikayat tentang. Dia ditulis beserta contoh-contohnya di dalam mushaf-mushaf.

Bahkan, mereka juga sepakat bahwa sifat­sifat iradah, sama’ dan basar bukan makna-makna yang terlepas dari Dzat-Nya, tetapi mereka berselisih pendapat tentang aspek wujud-Nya, dan makna-makna yang terkandung di dalamnya.

Lebih dari itu, mereka sepakat dalam hal menolak kekhususan manusia melihat Allah dengan mata kepala di akhirat, menolak tashbih Allah dari segala makhluk dari segala segi: arah, tempat, surah (bentuk), badan, kewujudan, intiqal (perpindahan), al-ghalat (kekeliruan), al-taghayyur (perubahan) dan al-ta’athur (keterpengaruhan). Mereka mewajibkan takwil al-ayat al-mutashabihat, dan inilah sesungguh­nya pola pemikiran Muktazilah dalam merumuskan konsep tauhid mereka.

Kemudian Dia (Allah) adalah paling awal, terdahulu, dan mendahului muhdathat (hal-hal yang baru), Ada sebelum adanya semua makhluk. Dia Maha Mengetahui, Kuasa, dan Hidup, walaupun Dia Maha Mengetahui, Kuasa, dan Hidup, tetapi tidak sebagaimana manusia yang berkuasa dan hidup, Dia adalah sesuatu yang tidak seperti segala sesuatu.

Dia adalah qadim sendiri, tiada sesuatu yang qadim selain diri-Nya dan tidak ada Tuhan selain diri­Nya, sifat-sifat tersebut merupakan Dzat-Nya, tiada sekutu dalam kerajaan-Nya, tiada menteri dalam kekuasaan-Nya, tidak dibenarkan bagi-Nya mengambil manfaat dan terjerumus ke dalam bahaya, sesungguhnya Dia adalah Maha Pencipta segala sesuatu, sesungguh­nya Dia adalah Maha Qadim dan selain-Nya adalah baru.

Syahdan. Bagi  Muktazilah, Allah Swt. adalah Esa, tidak disekutukan oleh yang lain-Nya dalam hal keharusannya memiliki sifat-sifat, baik secara pengingkaran (nafy) atau penetapan (ithbat) dengan parameter yang dimiliki-Nya dan pengakuan bagi-Nya.

Maka, hal itu harus ditegakkan adanya kedua syarat, yaitu sifat pengetahuan dan pengakuan secara keseluruhan. Sebab, apabila Dia bersifat mengetahui (alim) tetapi belum mengakui (mu’tarif), atau mengakui tetapi belum mengetahui berarti Dia belum menjadi muwahid.

Kemudian, semua golongan Muktazilah sepakat bahwa sifat iradah, sama’, dan basar bukan merupakan makna yang tidak terpisah dari Dzat-Nya. Karena, apabila hal itu dipahami sebagai makna yang terpisah dari dzat, maka Allah akan mempunyai sifat-sifat manusia dari satu segi, dan mengharuskan Allah mempunyai alat dari segi yang lain.

Baca Juga:  Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Enam Metode Al-Ghazali Dalam Merumuskan Pengetahuan

Seperti seseorang yang berkeinginan pasti memerlukan gerakan, dan gerakan adalah sifat manusia, adanya sifat sama’ dan basar mengharuskan Allah mempunyai alat untuk melihat dan mendengar.

Dalam hal ini, berarti Muktazilah secara tidak langsung telah memahami Allah dengan pemahaman yang sesuai dengan persepsi-persepsi manusia (al-i’tibarat al-insaniyah), sedangkan teks al-Qur’an secara pasti telah menetapkan bahwa Allah berkeinginan, melihat dan mendengar, walaupun cara-caranya berbeda dengan cara yang dilakukan oleh manusia.

Jadi, kalau Muktazilah menafikan sifat-sifat ilahiyah tersebut berarti mereka menentang dan mengingkari sifat-sifat ilahiyah yang ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an dan Hadith. Dalam hal ini, sebenarnya Muktazilah secara prinsip tidak mengingkari adanya sifat-sifat ilahiyah tersebut, karena konsep tauhid Muktazilah dimulai dengan menyebutkan: “Sesungguhnya Allah adalah Esa, tiada sesuatu yang menyerupai-Nya, dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.”

Hanya mereka menakwilkan sifat sama’ dan basar, dan penolakan mereka bukan kepada sifat iradah, sama’ dan basar, tetapi terhadap posisi sifat-sifat tersebut yang terpisah dari Dzat-Nya, sedangkan mereka beranggapan bahwa sifat-sifat tersebut sebagai makna yang melekat (tidak terpisah) dari Dzat-Nya.

Namun, dalam menafsirkan ayat laysa kamithlih syai’, Muktazilah tetap menegaskan sifat sama’, basar, dan kalam. Sebab, kalau Allah berbicara terbayang dalam pemikiran mereka bahwa berapa besarnya mulut dan lidah-Nya; kalau mendengar akan terbayang seberapa besar telinga-Nya, dan seterusnya. Padahal, Allah dengan ayat tadi sudah menegaskan bahwa Allah sangat berbeda dengan segala sesuatu baik dzat maupun sifat-Nya.

Untuk lebih menegaskan konsep tauhidnya yang terumuskan dalam istilah al-sifah ayn al-dzat, Muktazilah juga menjelaskan bahwa Allah alim bi al-ilm, (Allah Maha Mengetahui dengan ilmu-Nya, sifat ilmu adalah dzat-Nya), Huwa qadir bi al-qudrah hiya huwa (Dia Maha Kuasa dengan kekuasaan, sifat kuasa adalah Dzat-Nya), Huwa hayy bi hayah, hiya huwa (Dia Hidup dengan kehidupan, sifat al-hayah adalah Dzat-Nya). Demikianlah hal itu berlaku pada sifat-sifat: mendengar, melihat, qadim, izzah, azamah, dan jalalah, dan seluruh sifat-sifat-Nya yang tidak terpisah dari Dzat-Nya.

Baca Juga:  Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Ulama Asy’ariyah Dalam Memahami Sifat Kalam Tuhan

Tuhan adalah ada (mawjud), karena sesuatu yang tidak ada mustahil dapat melakukan sesuatu, seperti halnya kekuasaan (kemampuan) di mana mustahil dimiliki oleh sesuatu yang tidak ada. Tuhan ada dan akan seterusnya ada, karena kalau ia tidak ada (ma‘dum) pada suatu waktu, maka ia memerlukan orang lain untuk mengadakan-Nya, sehingga hal itu akan seperti itu berkelanjutan tanpa batas. Hal itu adalah mustahil terjadi pada diri-Nya, oleh sebab itu Tuhan wajib ada (wajib al-wujud).

Dari masalah nafy al-sifah (pengingkaran sifat) ini, timbul masalah lainnya yaitu mushkilat al-sifah (masalah kalam Allah). Di mana, mereka berpendapat bahwa, kalam Allah adalah baru dan tercipta, di tempat, dan ia adalah huruf dan suara.

Dari situ timbul masalah khalq al-Qur’an (penciptaan al-Qur’an) dan masalah nafy ru’yat Allah (pengingkaran terhadap melihat Allah dengan mata kepala di dunia dan di akhirat), tetapi sebenarnya mereka sepakat tentang Allah bisa dilihat di akhirat nanti, tetapi dengan mata hati. Wallahu a’lam bisshawaab.

Salman Akif Faylasuf
Santri/Mahasiswa Fakultas Hukum Islam, Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Kitab