Siapapun kita, setua apapun umur kita, setinggi apapun karier kita, dalam pandangan ibu, kita tetaplah anak kecil. Menangis mewek tanpa gengsi, merajuk manja, memamerkan capaian kita sebagaimana sewaktu bocah membanggakan hasil tulisan dan gambar acak adut, nyanyi dengan suara cempreng, ngaji dengan terbata-bata. Seburuk apapun hasilnya, ibu tetap mengapresiasi.
Dalam memilih keputusan penting, saya hampir tidak pernah shalat istikharah. Hanya satu yang saya lakukan: minta pertimbangan ibu. Jika oke, lanjut. Jika stop, berhenti. Andai butuh diskusi matang, kami bermusyawarah. Hasilnya tetap saya serahkan ibu. Itu saja. Dan, selama ini efektif. Dalam soal jodoh, pilihan sekolah/pondok, beli rumah dan tanah, izin A-B-C, hingga pemilihan hewan qurban, saya nderek pilihannya. Hasilnya selalu berkah, kata orang Islam. Membawa hoki, kata orang Tionghoa. Selalu ada Luck Factor, kata orang Barat. Ini menyangkut insting dan keridloannya.
Apakah saya meremehkan shalat istikharah? Tidak, tentu saja. Dalam hal ini, saya lebih manut dan percaya pilihan ibu. Soal doa, saya juga percaya kalimat yang dilangitkan ibu akan dikabulkan Allah. Hanya, terkadang Allah yang mengatur waktu mustajabnya doa ibu. Disesuaikan kondisi hamba-Nya. Sebab, doa bukan lampu Aladin. Ada proses manusia yang berpadu dengan kehendak-Nya. Klik.
Ibu, kata Habib Salim Asy-Syathiri, doanya lebih ampuh dan maqbul daripada doa seorang wali besar sekalipun. Karena itu, jika ada santri yang sowan dan meminta doa beliau di Tarim, Hadramaut, biasanya ditanya, apakah ibumu masih ada? Jika masih, mula-mula diminta agar meminta doa kepada ibunya terlebih dulu.
Demikian tinggi posisi ibunda di mata Allah, sehingga Uwais al-Qarni diangkat derajatnya oleh Allah lantaran baktinya kepada ibundanya yang sudah sepuh dan lumpuh. Imam Haiwah bin Syarih, cendekiawan terkemuka di era Tabiut Tabi’in, ketika sedang mengajar para santrinya, tiba-tiba ibundanya memanggilnya. Beliau menghentikan majelisnya, lantas menuruti perintah ibunya. Apa itu? Memberi makan ayam. Beliau melaksanakannya tanpa harus gengsi. Justru para santrinya semakin hormat kepada gurunya karena keteladanan ini. Para ulama lain mengenangnya sebagai orang alim, zahid, perawi hadits jempolan yang maqbul doanya, antara lain, lantaran baktinya kepada ibundanya.
Maka alangkah anehnya, manakala seseorang sering sowan minta doa kepada seorang ulama, namun lalai memohon doa restu ibunya. Lebih aneh lagi manakala ada penghobi ziarah makam Auliya yang seringkali lalai menziarahi pusara ibundanya, wasilah kehadiran dirinya di dunia.
Soal ridlo seorang ibu dan ketaatan ulama kepadanya, KH. A. Musthofa Bisri (Gus Mus/Mbah Mus), memberi contoh. Dalam tayangan Kick Andy, 7 Oktober 2011, Andy F. Noya bertanya kepada Mbah Mus.
“Gus, Anda beberapa kali diminta untuk menduduki posisi tertentu. Anda pernah diminta untuk menjadi Ketua PBNU, juga pernah diminta untuk memimpin partai. Mengapa itu semua Anda tolak?” tanya Andi F. Noya pada Mbah Mus.
“Karena ibu saya tidak menyetujui,” jawaban yang singkat, santai tapi tegas.
“Mengapa dengan ibu Anda? Apa istimewanya beliau?” kejar Andi.
Mbah Mus diam sejenak. Lalu melanjutkan.
“Dalam Islam itu ada ajaran Shalat Istikharah untuk meminta kepada Allah agar dipilihkan yang terbaik. Nah, selama ibu saya masih hidup saya tidak perlu melakukan shalat istikharah, cukup bertanya pada ibu saya saja. Maka ketika saya diminta untuk menduduki jabatan-jabatan itu, saya bertanya pada beliau dan beliau menjawab “tidak.”
“Apa alasannya?” Andi terus mengejar.
“Jangan tanya alasannya. Karena bila ibu saya sudah mengatakan “tidak” saya tidak pernah menanyakan alasannya!”
Wallahu A’lam Bishshawab. [FJY]
*Keterangan Gambar: Kenangan Umroh bersama almarhumah ibu, 3 Februari 2020