Dari mana asal-usul nama “Mathali’ul Falah”?

Di desa Kajen, Pati, terdapat sebuah madrasah yang amat masyhur yang dulu pernah diasuh oleh dua ulama legendaris: Kiai Abdullah Salam dan Kiai Sahal Mahfudz. Ayah saya dan hampir sebagian besar dari keluarga saya dan saya sendiri merupakan lulusan dari madrasah ini. Bagi keluarga santri di kawasan Pantura Jawa, madrasah ini merupakan lembaga pendidikan unggulan dan sekaligus “kiblat” pendidikan.

Madrasah ini didirikan oleh Kiai Abdussalam (ayahanda dari Kiai Abdullah) pada 1912 di desa Kajen. Ia bisa dianggap sebagai institusi pendidikan agama terbaik di tingkat dasar dan menengah di kawasan Pati dan sekitarnya. Kemasyhurannya telah menarik ribuan murid untuk menempuh pendidikan Islam di sana. Salah satu ciri khas yang melekat pada madrasah ini adalah kemandiriannya dalam banyak hal, terutama kurikulum. Hingga sekarang, madrasah ini bertahan untuk tidak menginduk kepada Kementerian Agama — suatu langkah yang tidak ringan. Karena sikapnya yang “keukeuh” dalam otonominya inilah, madrasah Mathali’ul Falah meraih respek dan penghormatan yang tinggi dari umat Islam di kawasan Pantura Jawa.

Tetapi, dari mana asal-usul nama Mathali’ul Falah? Selama ini saya belum pernah mendengar keterangan mengenai asal-usul nama ini. Atau, boleh jadi saya lupa. Yang jelas, istilah “al-Falah” bukan hal yang asing sebagai nama bagi sejumlah lembaga pendidikan Islam atau masjid di kawasan Jawa khususnya, dan Melayu pada umumnya. Pesantren Ploso, Kediri, misalnya, dinamai “Pesantren Al-Falah”.

Dalam catatan pendek ini, saya ingin mengajukan semacam dugaan tentang asal-usul nama madrasah ini. Boleh jadi dugaan saya keliru, tetapi dugaan ini saya kemukakan dengan sejumlah argumen kesejarahan yang tentu saja bisa diperdebatkan.

Baca Juga:  Pesantren Nurudl Dlolam Bangil, “Mercusuar NU”

Saya menduga bahwa sangat mungkin nama ini diilhami oleh sebuah madrasah terkenal di Saudi Arabia yang berdiri pada 1905. Nama madrasah itu ialah al-Falah. Ini adalah madrasah kedua yang tertua di kawasan Hejaz pada zaman itu, setelah madrasah al-Shaulatiyyah yang didirikan oleh seorang ulama asal India, Syaikh Rakhmatullah al-Kairanawi, pada 1868. Syaikh al-Kairanawi dikenal melalui kitabnya yang masyhur berjudul “Idzhar al-Haqq,” sebuah karya apologetika modern pertama yang ditulis sebagai polemik melawan misionaris Kristen India asal Jerman, Karl Gottlieb Pfander (w. 1865).

Madrasah al-Falah didirikan oleh seorang pedagang mutiara kaya dan politisi berpengaruh di kawasan Hejaz pada paruh pertama abad ke-20. Ia bernama Muhammad Ali Rida Zainal. Mula-mula, ia mendirikan madrasah ini di Jeddah. Setelah sukses, berdirilah cabang madrasah ini di Mekah. Di Madrasah al-Falah cabang Mekah inilah lahir dan mengajar sejumlah ulama besar seperti Syaikh Alawi al-Maliki, ayahanda dari Syaikh Muhammad ibn Alawi al-Maliki. Ulama lain yang ikut mengajar di sini adalah Syaikh Umar Hamdan yang amat populer di Indonesia. Syaikh Hamdan adalah ulama asal Tunisia, murid dari Syaikh Muhammad al-Thahir ibn Asyur (ia dikenal sebagai salah satu ulama modern pencetus gagasan tentang “fiqih maqashidi“). Bersama Hasratus Syaikh Hasyim asy’ari, Syaikh Umar Hamdan adalah salah satu murid dari Syaikh Mahfudz Termas (w. 1920).

Madrasah al-Falah dikenal sebagai “madrasah nidzami”, yaitu lembaga pendidikan yang mengikuti sistem klasikal, dengan sistem penjenjangan yang relatif sistematis, dan kurikulum yang distandardisasikan. Sistem “nidzami” ini berbeda dengan sistem tradisional yang tidak mengenal sistem penjenjangan yang sistematis. Madrasah-madrasah modern yang berkembang di seluruh kawasan Asia Tenggara sejak awal abad ke-20 mengikuti sistem nidzami semacam ini. Kuat dugaan saya bahwa madrasah-madrasah ini diilhami oleh madrasah al-Falah yang berdiri di Hejaz pada awal abad ke-20 itu.

Baca Juga:  Gus Sholah; Sang Insinyur yang Kembali ke Pesantren

Muhammad Ali Rida Zainal, pendiri madrasah al-Falah itu, dikenal dalam sejarah Arab modern sebagai salah satu “tokoh kebangkitan” di kawasan Hejaz (a’lam al-nahdah fi al-Hijaz). Madrasah yang ia dirikan mengilhami berdirinya madrasah serupa di seluruh kawasan Arab hingga Asia Tenggara. Ia merupakan anggota dari sebuah partai bernama al-Hizb al-Hijazi al-Wathani yang berdiri pada era Turki Usmani. Setelah kekuasaan keluarga Asyraf yang berkuasa di Hejaz selama berabad-abad jatuh pada 1926, partai inilah yang menggantikan dan memegang kekuasaan politik di Mekkah dan Madinah (Hejaz). Muhammad Ali Rida adalah anggota dan salah satu elit dalam partai ini. Ia meninggal pada 1969 di Bombay, India, negeri di mana ia memulai aktivitas perdagangan mutiara sejak usia muda.

Dengan latar belakang semacam ini, patut diduga bahwa nama madrasah Mathali’ul Falah diilhami oleh madrasah al-Falah di Hejaz itu. Tentu saja dugaan ini bisa saja salah. Tetapi melihat besarnya pengaruh madrasah al-Falah melalui para lulusannya yang tersebar di seluruh kawasan dunia Islam, dugaan tersebut patut dipertimbangkan.

Dari mana pengaruh dan ilham ini berasal? Apakah Kiai Abdussalam, pendiri madrasah Mathali’ul Falah itu, pernah melakukan perjalanan haji ke Mekah? Saya tidak ingat persis. Tetapi berdasarkan kisah yang pernah saya dengar dari sejumlah kiai di Kajen (mungkin saya keliru; mohon dikoreksi!), Mbah Salam (begitu panggilan populer Kiai Abdussalam di daerah Kajen) pernah haji. Kapan, tidak terlalu jelas. Tetapi patut diduga bahwa jika perjalanan haji itu pernah terjadi, maka ia boleh jadi berlangsung pada awal abad ke-20, pada saat nama madrasah al-Falah di Mekah dan Jeddah itu sedang “viral”.

Wallahu a’lam. []

Baca Juga:  Nilai Kaderasi di Pesantren Maslakul Huda

——-

Catatan: Ada kekeliruan dalam versi pertama catatan ini. Semula saya menyebut Syaikh Umar Hamdan sebagai guru dari Syekh Mahfudz Termas. Yang benar, Syaikh Hamdan adalah murid dari Syaikh Turmusi. Terima kasih kepada sebagian teman yang mengingatkan kesalahan ini.

Ulil Abshar Abdalla
Inisiator Ngaji Online kitab Ihya Ulumuddin. Alumnus PP Mathali'ul Falah Kajen, Pati. Bisa dihubungi via Twitter @ulil

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Pesantren