Tahun ini saya kembali ditugaskan untuk menemani sekolah di kelas satu Aliyah di Madrasah Diniyah Futuhiyah Kwagean. Setelah dua kali menemani hingga kelulusan, hampir pasti disemua kelas yang pernah saya temani ada teman kelas yang tidak melanjutkan belajar pada saat ada ditingkatan awal aliyah ini. Entah karena memang fase awal aliyah adalah awal kedewasaan, dan merasa perlu mencari tantangan baru. Atau memang mereka atau walinya merasa bahwa hatam kitab Alfiyah adalah titik cukup mempelajari kitab kuning di madrasah.
Entahlah.
Karena memang banyak alasan dibalik keboyongan mereka, mulai dari keluarga yang mendesak, ekonomi yang terbatas, hingga menyerah pada pertarungan nafsu pribadi. Saya tidak pernah menghakimi alasan mana yang paling besar atau berat, tapi saya selalu sampaikan salah satu fakta kepada mereka, bahwa pertarungan disetiap ujung akhir babak memang hampir selalu lebih berat. Kalau memang masih ada semangat dan sedikit kesempatan, maka saya selalu mendorong mereka, dan tak lupa menawarkan bantuan, untuk tetap bertahan dan menyelesaikan proses hingga akhir putaran.
Semua ini saya lakukan, murni karena ingin mereka dididik sebagaimana saya dididik dahulu. Bapak saya selalu menekankan kepada kami untuk menyelesaikan setiap proses apapun yang telah dimulai. Pesan Bapak yang sering diulang kepada kami:”Dimarekne ndisek ngajine, ben ra gelo sesok e(selesaikan dulu proses ngajinya. Biar nanti tidak ada penyesalan)”.
Namun, meskipun toh pada akhirnya tetap saja ada yang tidak mampu saya tahan untuk menyelesaikan, saya tetap pesankan kepada mereka untuk berusaha sekuat mungkin untuk menyelesaikan proses baru yang akan mereka pilih. Dimanapun tempatnya dan kapanpun waktunya, setiap proses haruslah diselesaikan. Demi kebaikan.
Meskipun mungkin tetap ada yang menyangkal bahwa semua pilihan menyelesaikan ataupun tidak menyelesaikan bukan penentu kesuksesan, namun tetap saja kepingan yang tidak tersempurnakan akan menjadi bagian yang menghancurkan, bila tidak dijadikan pelajaran.
Tidak hanya demi mencegah penyesalan, namun menyelesaikan proses ngaji adalah juga langkah baik yang dipesankan oleh Imam Ghozali dalam kitab Ihya’nya. Sebagaimana keterangan yang dijelaskan Bapak beberapa minggu yang lalu:”Cukupno disek awakmu dewe, nembe ngeramut liane. Niki, kadang durong cukup belajare, wes dijalok ngerumat masyarakat. Ojo kesusu, tutokno ndisek ngajimu(cukupkan dulu dirimu sendiri, baru merawat orang lain. Ini banyak terjadi, kadang dia belum cukup belajarnya, namun sudah diminta merawat masyarakat. Jangan terburu-buru, selesaikan dulu ngajimu)”.
Tidak hanya kecukupan dalam hal ngaji, namun bapak juga mengingatkan tentang perlunya memperhatikan prioritas dalam hal kecukupan. Jangan berkedok perjuangan, namun lupa kewajiban personal. “Sakdurunge bagusi wong liyo, bagusono ndisek awakmu dewe. Nduwe bojo yo ramuten disek bojomu. Kadang ngaji neng masyarakat kang gak enek apa-apa ne, terus keluargane gak diramut. Engko bojone ngamuk-ngamuk, dijawab awakmu kok ra mendukung berjuang. Niki salah. Sakdurunge berjuang, yo cukupono ndisek kebutuhan e omah(sebelum memperbaiki orang lain, perbaiki dulu dirimu sendiri. Seperti halnya ketika punya pasangan, ya harus dicukupi dulu kebutuhannya. Kadang ngaji dimasyarakat yang tidak ada imbalannya apapun, terus keluarganya gak dirawat. Saat istrinya ngamuk, malah disalahkan dan dituduh tidak mendukung perjuangan. Ini hal yang salah. Sebelum berjuang, ya keluarganya harus dicukuoi dulu)”.
Kecukupan ilmu, belajar, dan kebutuhan kesejahteraan memang berbeda ukuran satu dan lainnya. Namun ukurannya mudah menurut bapak saya. Dawuh beliau:”ukurane cukup ki, lek sekolah yo tamat. Lek ngaji kitab po quran yo hatam(ukuran mudah dianggap cukup satu proses ini, kalau sekolah ya tamat. Kalau ngaji kitab atau Al Quran ya hatam)”. Pun dengan kecukupan keluarga, asalkan kebutuhan dasar sudah terjamin, tak perlu yang terbaik atau termahal, maka menurut saya pribadi sudah dianggap cukup.
Kecukupan sederhana yang bapak gambarkan ini menurut saya adalah ukuran mudah yang bisa digunakan oleh semua orang. Karena kalau kecukupan diri harus diukur dengan nilai atau kemampuan, maka akan semakin banyak yang merasa belum cukup, dan akhirnya menunda untuk segera terjun ke masyarakat. Meskipun belum alim, kalau sudah tamat, itu menurut banyak guru saya tetap mengandung banyak barokah. Adapun kealiman bisa didapat seiring proses belajar selanjutnya.
Semoga kita bisa bersabar meniti segala rangkaian proses perjuangan, dan melaju disetiap lini waktu yang telah diatur oleh Tuhan. Kita hanya perlu berusaha menyelesaikan satu persatu, jangan terburu-buru.
#salamKWAGEAN