Setiap mahasiswa dalam menyelesaikan tugas akhir seperti Skripsi, tentu memiliki tantangan atau perjuangan masing-masing. Hingga hal itu secara otomatis menjadi pengalaman, kenangan, bahkan menjadi pelajaran hidup untuk melangkah ke depan. Perjuangan dan pengalaman yang berbeda dari setiap orang, kiranya bisa menjadi manfaat atau sumur ilmu bagi orang-orang yang belum atau tidak mengalaminya.
Pengalaman diri, yang diceritakan lewat tulisan pun bukan hanya sebatas catatan omong kosong, melainkan sang penulis memiliki harapan bahwa apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi pembacanya. Dalam tulisan ini saya ingin bercerita dengan sederhana tentang pengalaman penyelesaian tugas Akhir skripsi beberapa bulan lalu, sekaligus awal pertemuan saya dengan beliau Umi Ishmah pengasuh Pondok Pesantren Tahfidh Yanbu’ul Qur’an Putri Kudus.
Pada bulan Agustus 2018, saya memulai melakukan tahapan-tahapan penelitian, yakni mencari objek penelitian. Niat awal objek penelitian yang saya tuju adalah SMP Yanbu’ul Qur’an Boarding School di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Saya bulatkan niat, kemudian hari berikutnya saya mengajak salah satu teman saya untuk menemani survei lokasi penelitian di Pati. Saat sampai di lokasi, saya bertemu dengan salah satu ustaz, beliau bernama Ustadz Ali. Kemudian saya izin kepada beliau untuk bercerita perihal tujuan saya berkunjung, yakni ingin mengajukan permohonan untuk bisa penelitian di situ.
Namun sayang, Allah berkehendak lain, melalui Ustaz Ali, saya diberitahukan bahwa untuk sementara waktu sekolah tersebut belum bisa dijadikan sebagai objek penelitian. Sebab sekolah tersebut baru berdiri kurang lebih dua tahun. Mendengar penjelasan Ustaz Ali tersebut, saya sempat timbul rasa kecewa. Namun kasih sayang Allah begitu nyata, setelah beberapa menit saya terdiam dan bingung, Ustaz Ali memberikan saran untuk melakukan penelitian ke Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an Pusat, yang ada di Kudus.
Meskipun begitu, kebingungan pun masih melanda pikiran saya. Perasaan dilematis secara mendadak menghampiri, antara melanjutkan saran dari Ustaz Ali atau pulang ke Semarang dengan tangan kosong. Namun dengan tekad, hati ini menunjukkan untuk mencoba dahulu saran dari Ustaz Ali tersebut. Pada pukul 16.00 Wib, saya meyakinkan diri, bahwa saya harus berani mencobanya, perihal boleh atau tidak untuk penelitian di sana itu hal lain, yang penting saya berusaha maksimal. Kemudian kami melanjutkan perjalanan, dari Pati menuju Pondok Pesantren Yanbu’ul Qu’ran di Kudus. Sekitar habis Magrib kami sampai di lokasi Pondok Yanbu’ul Qur’an Pusat. Keinginan saya untuk sowan ke Abuya Ulin Nuha dan Umi Ishmah, selaku pengasuh Pondok Pesantren Yanbu’ul Quran Pusat ditunda. Sebab waktu itu, Abuya dan Umi sedang mengaji. Kemudian kami bertemu dengan Mbak Niswah sebagai lurah Pondok Yanbu’ kala itu. Seperti biasa, saya ceritakan tujuannya datang ke Pondok Yanbu’. Kemudian Mbak Niswah menanggapi dan berkata kepada saya, bahwa sepengetahuannya belum pernah ada yang penelitian di Pondok Yanbu’ Pusat. Meski begitu, Mbak Niswah mengupayakan sowan untuk bertanya kepada Umi Ishmah. Setelah beberapa jam menunggu, Mbak Niswah datang dengan kabar baik, yakni saya diperbolehkan melakukan penelitian di Pondok Pesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus. Ucap syukur kepada Allah tak henti-hentinya saya panjatkan, karena kebahagiaan tersebut. Kemudian saya kembali ke Semarang, sesampainya di Semarang saya sempatkan berbagi kebahagiaan ini kepada ibu di rumah, sekaligus meminta doa restu kepada orangtua supaya dimudahkan dalam penelitian dan pengerjaan skripsi.
Pada bulan Oktober, saya berangkat dari Semarang ke Kudus lagi, untuk menuntaskan penelitian skripsi. Keinginan untuk sowan kepada beliau Abuya Ulin Nuha dan Umi Ishmah, kedua kalinya harus ditunda, sebab beliau sedang menunaikan ibadah haji. Saya putuskan untuk kembali ke Semarang.
Awal Pertemuan dengan Umi Ishmah
Kemudian pada bulan Desember 2018, untuk ketiga kalinya saya sowan ke Pondok Yanbu’. Untuk sowan yang ketiga ini berbeda dengan yang pertama dan kedua, di mana saat saya ke Pondok Yanbu’ selalu ditemani teman saya. Namun untuk sowan yang ketiga ini, saya seorang diri. Sembari menunggu Umi Ishmah, saya yang saat itu berada di ruang tamu Pondok Yanbu’ul Qur’an Kudus, saya sedikit merasa gugup sekaligus menyiapkan rangkaian kata demi kata untuk sowan kepada Umi Ishmah. Beberapa jam kemudian, Umi Ishmah menemui saya, rasa gugup saya semakin meningkat, pandangan teduh beliau membuat diri saya mendadak gemetar. Meski begitu saya berusaha mengeluarkan kata demi kata yang telah saya siapkan. Setelah itu Umi Ishmah, menyampaikan:
“Sampun sampean sakniki istirahat mawon riyin. Wawancara kalih kulo akhiran mawon kata beliau. Sampean nek bade tilem saged teng kamar tamu nopo teng kamare mba,”. (Sudah. Sekarang kamu istirahat dulu saja. Wawancara denganku bisa terakhiran.Kalau kamu mau tidur, bisa di kamar tamu, apa di kamarnya mbak-mbak santri)
Tidak lama kemudian saya ditemui oleh salah satu pengurus Pondok, Mbak Ifadatur Rohmah. Selama penelitian beliau yang membantu segala hal, segala keperluan saya. Dalam masa penelitian, saya tinggal bersama santri-santri Yanbu’, sekaligus mengikuti kegiatan para santri. Saya tak pernah membayangkan sebelumnya, bahwa saya bisa merasakan nyantri di Pondok Tahfidh Yanbu’ul Qur’an Kudus.
Sekitar satu minggu, saya melakukan aktivitas kegiatan bersama santri, saya menemukan kebahagiaan, kedamaian bisa berkumpul dengan para Ahlul Qur’an Fa InsyaAllah. Bisa mengenal Mbak Ma’rufatul Lailiyyah, Syifa Luthfiya, Rifda Ulya Salsabila, Dewi Nur Fitriyani, dan santri lainnya.
Selain merasakan nikmat yang begitu besar bisa mengenal Mbak-mbak santri, kiranya Allah terus memberi nikmat, yang awal mula saya tidak membayangkan. Nikmat tersebut adalah saat saya diajak oleh Umi (04/12/2018), untuk pergi dengan menaiki mobil bersama beliau. Di dalam mobil hanya ada Umi, Saya, dan Kang Santri yang diutus menjadi sopir. Saya diam dan ikut saja bersama Umi, meskipun tidak tahu akan diajak kemana oleh Umi.
Saya naik mobil, dan duduk bersebelahan dengan Umi. Namun saat itu saya cukup malu, hingga saya berjarak dengan duduknya Umi. Mengetahui saya tersipu malu, bingung dan duduk yang berjarak, dengan kerendahan hatinya, Umi meminta saya untuk duduknya mendekat dengan beliau.
“Lenggahe rodok rene mbak,” (Duduknya agak ke sini mbak)
Seketika, saya semakin merasa tersipu malu, dan saya geser pelan-pelan badan saya mendekati tempat duduknya Umi. Singkat cerita, ternyata saya diajak Umi untuk berziarah di makam salah satu pendiri Tariqat.
Setelah itu saya dipersilahkan untuk mengikuti kegiatan rutin Jam’iyyah Tariqat tersebut di daerah Kudus. Sedangkan Umi, waktu itu mengisi mauizah hasanah dengan menggunakan kajian kitab kuning. Dalam batin saya, bergetar kagum, alangkah sempurna ilmu beliau. Al Qur’an menjadi cerminan akhlaknya, sedang kitab kuning menjadi cerminan ibadahnya. Setelah selesai acara tersebut, kami kembali ke pondok. Dan saya kembali beraktivitas seperti santri biasanya.
Pada hari berikutnya (05/12/2018), kedua kali saya diajak Umi pergi bersamanya. Berbeda dengan yang pertama, untuk yang ke dua kali ini saya satu mobil dengan Umi dan beberapa saudara Umi, salah satunya beliau Ustazah Mannunal Aghna.
Sesampainya di tempat tujuan, ternyata Umi melangsungkan sima’an Al Qur’an bersama ibu-ibu Jam’iyyah Qur’an. Dalam kegiatan tersebut, saya banyak bertemu dengan ibu nyai, dan para alumni Pondok Pesantren Yanbu’ Kudus yang sudah menjadi Ibu Nyai. Saya sangat bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah tersebut, yang mana saya bisa bertemu dan bisa dekat dengan para bidadari Al Qur’an.
Pada hari selanjutnya (06/12/2018), ini kali ke tiga saya diajak Umi kembali. Saya diajak ke Pondok Pesantren Asnawiyyah Kudus. Di sana Umi mengisi pengajian dalam rangka kegiatan rutin Jam’iyyah ibu-ibu nyai se-Jawa Tengah.
Beberapa kali saya ikut kegiatan bersama Umi, saya mendapat banyak pelajaran, pengalaman dan hikmah, meskipun dalam pertemuan singkat tersebut. Penelitian saya telah usai, dan selanjutnya saya izin pamit untuk pulang kembali ke Semarang, untuk melanjutkan pengerjaan skripsi.
Sebelum saya pulang, Umi memberi beberapa nasihat yang akan saya ingat, pegang, dan laksanakan dalam menjalani kehidupan ini. Beberapa nasihat tersebut diantaranya :
- “Wong ngapalke Al-Qur’an kudu gelem tirakat. Sak pelit-pelite tirakat yo kirim fatihah sabeb dino kanggo anake, supoyo gampang olehe ngapalke”
(Orang yang menghafal Al Qur’an harus mau susah payah untuk tirakat. Sedikitnya tirakat yaitu mengirim fatikhah setiap hari untuk anak yang sedang menghafal Al Quran. Ini berlaku untuk orangtua yang anaknya sedang berproses menghafal Al Quran)
- “Nek seng lagi ngapalke Al-Qur’an opo maneh wong wedok, mesti ono libur utowo udzur syar’i. Kanggo njagani supoyo orak lali karo apalane, mergo tingkat dhobitane wong kui bedo-bedo. Nek kurang dhobit, wenang ngeres Al-Quran walaupun keadaan lagi udzur. Diniati njogo apalan lan diniati dzikir. Tapi yo nek keadaan lagi udzur, olehe nderes ojo banter-banter. Cukup umik-umik seng krungu kupinge dewe”
(Orang yang sedang menghafal Al Qur’an, apalagi perempuan pasti mengalami waktu uzur. Dan terkadang setiap orang mempunyai daya pikir hafalan yang berbeda-beda. Bagi orang yang kurang kuat hafalannya harus berusaha lebih keras dalam menjaga hafalan tersebut. Untuk menjaga hafalan Al Qur’annya meskipun uzur, dibolehkan membaca atau mentadarus Al-Qur’an agar hafalannya tidak hilang. Namun ketika sedang haid saat membaca Al Qur’an diniatkan untuk zikir dan menjaga hafalannya supaya tidak hilang)
- “Tak wanti-wanti kabeh santriku, ojo nganti Al-Qur’an dadi barang dodolan. Dawuhe gusti Allah, “Janganlah kamu menukarkan ayat-ayatku dengan harga rendah dan hanya kepadaku lah kamu harus bertaqwa” (Q.S Al-Baqarah: 41)”
(Saya berpesan kepada seluruh santriku, jangan sampai Al-Qur’an dijadikan barang jualan. Hal itu merujuk pada firman Allah, dalam Surat Al-Baqarah ayat 41, yang artinya “Janganlah kamu menukarkan ayat-ayatku dengan harga rendah dan hanya kepadaku lah kamu harus bertaqwa” Q.S Al-Baqarah: 41)
Kemudian beliau menjelaskan maksud dari kalimat dilarang menjual ayat Al Qur’an, dengan menggunakan contoh, tidak boleh menjual ayat Al Qur’an dengan sistem perlombaan, dengan pemberian beasiswa kuliah gratis dengan label hafal Al Qur’an.
Dari beberapa pesan atau nasihat dari Umi yang saya rangkum dari pertemuan dengan beliau, kiranya pembaca juga bisa turut mengamalkannya.
Sebelum saya menutup tulisan sederhana ini, saya ingin memberi kesaksian bahwa Umi adalah orang baik. Perangai beliau sejernih air, walau hanya sekejap saya mengenal beliau. Rindu ini akan terus menggebu, ingin bertemu kembali dengan Umi. Namun biarlah kalam-kalam Allah yang menjadi perantara untuk menyampaikan rindu saya ini kepada Umi.
Saya yakin, Umi adalah hamba pilihan Allah. Melalui perjuangan beliau, kini ribuan manusia telah turut menjaga kalam-Nya. Dalam hati kecil saya ini, saya meyakini bahwa Allah akan menjadikan Umi bidadari di alam sana. Melalui perjuanganmu Umi, saya belajar bahwa Al Qur’an bukan sekadar bacaan, melainkan lebih dari itu yakni Al Qur’an sebagai sebuah pedoman.
Lahumul Fatihah, untuk beliau Umi Ishmah. [HW]