Nyai Nur Ishmah

Nyai Nur Ishmah Ulinnuha, salah seorang perempuan ulama kebanggaan Indonesia itu telah berpulang. Kabar duka kepergiannya menyebar di berbagai pesan WA semalam. Betapa banyak umat yang merasa kehilangan sosok perempuan dengan pribadinya yang keibuan.

Nyai Nur Ishmah adalah salah seorang putri dari ulama KH. Abdullah Salam Kajen Pati. Lahir di desa tersebut, kemudian dipinang oleh KH. Ulinnuha, putra dari salah seorang ulama Al-Quran Indonesia,  KH. Arwani Amin Kudus, yang juga merupakan guru qira’at KH. Abdullah Salam. Pesantren Tahfidz Yanbu’ul Quran yang didirikan oleh KH. Arwani pun diteruskan dan dikembangkan oleh KH. Ulinnuha beserta Nyai Nur Ishmah.

Kami, para santrinya, memanggil Nyai Nur Ishmah dengan panggilan Umi. Umi, ialah guru kami, orang tua kami, yang tiap hari mengajari kami alifbata. Konsistensinya dalam mencetak generasi ahli Qur’an telah terbukti, dengan tersebarnya ribuan santri tahfidz di seluruh pelosok negeri. Lebih jauh dari itu, bagi kami, beliau tak hanya sekedar guru ngaji, namun guru spiritualitas yang tak pernah habis dikupas. Kepribadiannya yang lemah lembut, tegas dalam mendidik, perhatian dengan seluruh santri tanpa terkecuali, itulah yang mengenang dan membekas di hati kami.

Suatu masa, ketika saya hendak berpamitan boyong dari pesantren, Bapakku matur:

Maturnuwun sanget sampun kerso ndidik anak kaulo“.

Jawabnya singkat:

Ndidik nopo, lha wong namung nyemak. Nyemak niku kan nggih mendel mawon, muride nggih mpun saged ngaos piyambak.”

Kepribadian yang rendah hati itu tak meniadakan sekat antara dirinya dengan santrinya. Ketika mondok dulu, para senior seringkali bilang: Umi itu ma’rifat, beliau bisa tau mana yang rajin dan mana yang pemalas, beliau tau mana yang suka nderes dan mana yang suka ngerumpi. Mondok di sini, luar dalamnya kita itu sudah diketahui Umi.

Baca Juga:  Ketika Mereka Mempertanyakan Akhlak Penghafal Al-Qur’an

Dulu, saya termasuk orang yang takut dengan Umi. Ya, karena merasa belum menjadi manusia yang baik. Tiap kali sowan dan ada kesempatan bertemu dengan beliau, serasa Umi bisa melihat dengan jelas kepribadian dan perilaku saya luar dalam.

Namun ternyata, dekat dengan Umi justru lebih membuat tenang dan bahagia.  Suaranya yang lembut, pancaran matanya yang teduh, telinganya yang senantiasa terbuka lebar, bahunya yang nyaman dijadikan sandaran, pasti akan selalu dirindukan oleh ribuan santrinya.

Bunga Qur’an itu kini telah pergi meninggalkan kita semua. Kita butuh perempuan-perempuan ulama ahli Qur’an yang muncul setelahnya. Demi mengenang jasanya dalam mendidik Al-Qur’an, izinkan saya menyebutnya Zahratul Qur’an (Bunga Al-Qur’an), yang semerbak wanginya tak pernah hilang meski ditelan bumi. [HW]

Muhim Nailul Ulya
Pelajar S3 Institut Ilmu Al-Qur'an Jakarta, dosen STAI Khozinatul Ulum Blora

    Rekomendasi

    menjadi dirimu sendiri
    Opini

    Memaafkan Diri

    Sekitar tahun 2006, tahun ajaran madrasah berjalan setengah. Instruksi untuk memulai mengerjakan tugas ...

    1 Comment

    1. […] Kudus, saya sedikit merasa gugup sekaligus menyiapkan rangkaian kata demi kata untuk sowan kepada Umi Ishmah. Beberapa jam kemudian, Umi Ishmah menemui saya, rasa gugup saya semakin meningkat, pandangan teduh […]

    Tinggalkan Komentar

    More in Perempuan