Opini

Carbon Trading dan Sakralitas Manusia

Carbon Trading dan Sakralitas Manusia

Perdagangan karbon di Indonesia merupakan proyek perdagangan dengan negara lain, khususnya negara industri. Perdagangan karbon adalah perdagangan yang dilakukan oleh negara Pihak yang bersedia untuk menjalin hubungan yang baik dengan negara penghasil emisi karbon. Pada praktiknya, negara Indonesia menjadi negara yang memiliki andil besar dalam kerjasama ini, yaitu dengan lahan tropis yang sangat luas. Negara industri begitu yakin, emisi karbon dari pabrik (industri) miliknya di udara akan terkendali berkat ulur tangan Indonesia ini.

Apa yang melatarbelakangi adanya perdagangan karbon?. Langkah ini ditempuh berdasarkan fenomena yang terjadi saat ini, yaitu perubahan iklim akibat pemanasan global. Pemanasan global ini merupakan hasil dari emisi karbon yang meningkat di udara karena aktivitas negara industri.

Menjawab persoalan di atas, Indonesia menjadi salah satu negara Pihak yang berperan dalam fenomena perubahan iklim ini. Indonesia memiliki hutan yang begitu luas. Aset hutan tropis negara Indonesia inilah yang dapat mendukung pengendalian emisi karbon dunia. Sebuah data menunjukkan satu unit karbon sama dengan 1 ton karbon dioksida. Oleh karena itu, hutan di Indonesia ini dapat menyerap karbon dengan angka fantastis.

Perdagangan karbon memiliki sistem kerja, yaitu perusahaan yang menghasilkan karbon dapat memperoleh (kartu) kredit karbon dari negara yang memiliki proyek hijau jika dalam prosesnya, negara industri dapat menurunkan emisi karbon di udara. Juga sebaliknya, saat perusahaan industri menyalurkan karbon melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh negara hijau, maka mereka (negara industri) membayar denda kepada negara penyedia kredit karbon. Hal demikian, sering disebut sebagai bentuk upaya “Menebus Dosa”, yaitu oleh negara industri kepada negara pihak penyedia (hutan tropis).

Lantas, manakah sebuah permasalahan dari langkah yang ‘visioner’ tersebut?

Baca Juga:  Belajar Menjadi Manusia Seutuhnya dari Saadi Shirazi

Membahas perdagangan karbon di Indonesia tidak akan terlepas dari salah satu lembaga atau perusahaan, yaitu PT. RMU (Rimba Makmur Utama). PT. RMU bergerak sebagai pengelola hutan di Indonesia. Perusahaan ini yang menghubungkan dengan pabrik yang berada di luar negeri. Jika tingkat emisi karbon di udara terkendali atau tidak meningkat, maka PT. RMU akan memberi kartu kredit kepada negara industri sebagai bentuk apresiasi atau jaminan. Namun, jika emisi karbon meningkat, maka negara industri akan membayar denda kepada negara Indonesia. Perlu diketahui, sebelum resmi terkait carbon trading  ini, Indonesia sudah memulai hubungan bilateral sejak tahun 2013. Luar biasa bukan?

Suatu ketika ada pernyataan, “Bahwa perdagangan karbon yang dalam Asosiasi Katingan Mentaya Project perlu dikaji ulang dan diperhatikan dengan baik dalam setiap pengambilan keputusan.” Kemudian disusul ungkapan lain, bahwa “Tidak ada yang bisa menjamin keadaan atau kesuburan hutan di Indonesia, atau negara penyedia lahan karbon lainnya di tahun yang akan datang.” Seseorang menimpali lagi, “Indonesia sudah kompleks dengan masalah di dalamnya, ada yang menyuburkan hutan demi penyerapan emisi karbon namun disatu sisi membakar hutan untuk kelanggengan sawit?” Perdebatan masih berlanjut, “Negara Industri adalah negara yang sudah memulai kerusakan sejak awal dengan penciptaannya menguasai perindustrian, mengapa saat berdampak harus mengandalkan negara lain, negara berkembang pula?”

Sebelum terjawab pertanyaan di atas. Saya teringat dengan salah satu pembahasan mata kuliah Epistemologi Islam. Topik dalam kelas saat itu adalah, “Mengembalikan Sakralitas Manusia.” Kurang lebih, kesimpulan yang saya dapat adalah “Bahwa dunia semakin menampakkan kerusakannya. Kerusakan yang tampak adalah dampak dari modernitas. Modernitas yang hadir di tengah pesatnya teknologi tidak lain bersumber dari pelaku, manusia itu sendiri.” (Ternyata, lebih tepatnya adalah modernisme, bukan modernitas).

Baca Juga:  Setetes Rahmat Rasulullah saw untuk Umat Manusia

Modernitas mengubah sebuah cara pandang manusia pada alam. Awalnya ‘terpesona’, berubah menjadi ‘rasa ingin tahu’ dan berubah menjadi ‘sok tahu’. Oleh karena itu, banyak hal yang bersumber dari alam (berjalan denga sendirinya) namun lama-lama membawa kepentingan pribadi atau kelompok.

Pembahasan ini akan dibarengi dengan istilah desakralisasi manusia. Desakralisasi manusia memiliki makna tidak sakral atau penurunan kesakralan pada diri manusia. Hal ini bisa jadi karena arogansi keilmuan dalam diri. Wujudanya apa?. Perkembangan teknologi yang terlihat kasat mata ini, memaksa diri untuk mencari ilmu, lantas membuktikannya. Setelah manusia merasakan untung-nafsu menguasai ilmu, selanjutnya membabi buta.

Ungkapan di atas, mungkin saja seperti klise. Atau, sekadar teori. Coba ambil satu frasa; desakralisasi manusia yang memiliki tesis, yaitu sakralitas manusia. Frasa sakralitas manusia ini yang perlu dipertanyakan sebelum kepada solusi aplikatif di dalam realitas. Bagaimana sakralitas pada diri pelaku struktural perdagangan karbon?

Sakralitas manusia adalah ruh. Ruh yang menjadikan kehidupan ini bergerak dengan kemurnian atau intuisi. Seperti ungkapan  Seyyed H. Nasr (seorang spiritualis asal Iran), mengungkapkan tentang cosmology. Cosmology, membahas hubungan manusia, alam dan Tuhan. Ketiga term tersebut tidak akan terpisahkan, saling berkaitan dengan hubungan yang harmonis.

Saat berpikir rasional dan utuh tersebut, manusia akan berjalan dengan koridornya. Manusia tidak sedang amnesis, yaitu lupa bahwa dirinya sebagai manusia. Apa yang dimaksud dengan manusia? Manusia adalah ‘Abd dan juga khalifah fi al-Ardh. Manusia bukan pelaku kerusakan tapi pelaku kebaikan, bukan penguasa tapi hamba dengan penyerahan total pada Khaliq.

Bagaimana spiritual pada pelaku Katingan Mentaya Project atau negara-negara industri? Teknologi yang berkembang pesat adalah modernitas, yaitu sebuah produk. Berbeda hal dengan modernism, yaitu suatu pemahaman terhadap dunia ini. Kembali kepada ungkapan Nasr, bahwa lakon (manusia) yang ada dalam pesatnya teknologi tersebut yang menjadi soal.

Baca Juga:  Mengenal Sang Maha Pemberi Rezeki

Apabila pelaku negara industri tersadarkan dengan sakralitas dalam diri saat menjalankan setiap teknologi yang dihasilkannya, tentu tidak ada dominasi dari golongan atau negara tersebut. Begitupun Indonesia sebagai pihak yang menjalankan upaya pelestarian lingkungan lewat perdagangan karbon. Negara Pihak (Indonesia) seharusnya berpikir jauh ke depan. Bagaimana nasib masyarakat, kelestarian hutan yang memiliki geraknya sendiri? Mereka semua tentu tidak akan gegabah mengambil keputusan demi kemakmuran sesaat dan kelompok tertentu saja.

Sakralitas manusia tidak hanya berlaku dalam kasus perdagangan karbon saja. Bisa jadi segala bentuk turunan dari perubahan iklim yang terjadi, bersumber dari diri setiap manusia sebagai pelaku di dalam kehidupan. [HW]

Atssania Zahroh
Alumni Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal 1.0.

    Rekomendasi

    Hikmah

    Al Quran Turun Berangsur-angsur

    وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا “Dan Al Quran itu ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini