Biografi Syekh Junaid Al-Baghdadi

Perkembangan zaman atau arus globalisasi kian melesat, membuat kehidupan masyarakat islam di Indonesia mengalami perubahan. Baik dalam perilaku maupu sikap, hal tersebut merupakan suatu hambatan atau tantangan bagi agama Islam guna menjawab serta menunjukkan kepada kebenaran untuk memperkuat sifat spiritual kita dalam kehidupan. Salah satu hal atau upaya dalam menjawab permasalahan tersebut adalah dengan menggunakan ilmu tasawuf. Karena tasawuf sebagai salah satu inti ajaran Islam berupaya untuk membersihkan diri, berjuang untuk melawan hawa nafsu serta mencari jalan untuk mencapai ma’rifat menuju keabadian dan untuk mendekatkan diri kepada Allah.[1] Dalam arti lain tasawuf juga dapat dikatakan sebagai sebuah kegiatan atau aktivitas beribadah yang berhubungan langsung dengan Allah SWT yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Istilah tasawuf muncul pada awal abad Ketiga Hijriah, saat itu para sufi menggunakan tasawuf untuk merubah moral tercela menjadi moral yang terpuji. Perkembangan tasawuf tidak terlepas dari peran para sufi. Sufi inilah yang mengembangkan ilmu tasawuf berdasarkan pemikiran dan gagasan mereka. Ada yang beraliran tasawuf alkhlaki, tasawuf falsafi dan tasawuf irfani. Pada tulisan kali ini penulis tidak untuk menjelaskan tasawuf secara menyeluruh, akan tetapi penulis akan mengangkat salah satu tokoh sufi yang terkenal dengan gagasannya terkait penyucian jiwa untuk mendekatkan diri kepada Allah yaitu Junaid al-Baghdadi, ia merupakan seorang sufi yang terkenal pada masanya dan berpengaruh bagi sufi-sufi setelahnya. Konsep tasawuf beliau lebih menekankan kepada ketauhidan dan bagaimana cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Serta pemikiran tasawuf beliau yang tidak ekstrem, sehingga ajarannya mudah dipahami dan diterima oleh umat muslim. Hal-hal tersebut yang membuat penulis mengangkat Junaid al-Baghdadi dalam penulisan kali ini.

Biografi Syekh Junaid al-Baghdadi

Syekh Junaid al-Baghdadi memiliki nama lengkap yaitu Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz al-Qawariri al-Sujaj al-Nahawandi. Beliau lahir di Kota Baghdad, untuk tahun kelahirannya belum diketahui secara pasti hingga saat ini[2]. Namun, menurut Abdel Kader Syekh Junaid lahir sekitar 210 H, hal ini berdasarkan dengan menghitung masa muda ketika belajar hadis dan fiqih. Dimana pada saat itu diperkirakan Syekh Junaid berumur 20 tahun sedangkan masa pendidikannya hanya menghabiskan 3 sampai 5 tahun[3]. Syekh Junaid juga wafat atau dimakamkan di kota kelahirannya yaitu Baghdad, pada hari Jum’at sore tahun 298 H.

Gelar al-Nahawandi ia dapatkan dari keturunan nenek moyangnya yang tinggal di kota Nihawand. Kota dimana penuh kesuburan pada waktu itu, karena banyak memiliki lahan pertanian. Syekh Junaid berasal dari keluarga yang berlatar belakang pedagang, hal ini selaras dengan gelar yang dimiliki anggota keluarganya. Seperti, ayah Junaid di panggil dengan al-Qawariri yaitu pedagang barang pecah belah (kaca), kemudian pamannya Sari al-Saqati yaitu sebagai penjual rempah-rempah, serta Junaid sendiri dengan gelar al-Khazzaz yaitu penjual sutra[4].

Pendidikan awal Syekh Junaid diajar oleh paman dari ibunya, yaitu Abu al-Hasan Sari al-Mughallis al-Saqati. Ketika bersama beliau Syekh Junaid belajar ilmu agama. Beliau adalah salah seorang sufi yang terkenal di Kota Baghdad. Serta beliau juga dikenal jarang keluar rumah, selain untuk sholat berjamaah dan shalat jum’at. Beliau menggunakan metode pada umumnya ketika mengajari Syekh Junaid yaitu dengan diskusi atau tanya jawab. Setelah itu ketika pada usia ke 20 Syekh Junaid belajar hadis dan fiqih kepada Abu Tsawr. Dari beliau Syekh Junaid menjadi seorang fakih yang cerdas serta membuat gurunya kagum atas kecerdasan dan analisa ketika mengulas berbagai masalah. Bagi Junaid, pengetahuan dan kemampuan dalam menguasai ilmu fiqih merupakan pondasi yang harus dimiliki untuk mendalami dan menguasai ilmu tasawuf.

Baca Juga:  Manaqib menurut Syaikh Abdul Qadir Al-jailani

Setelah belajar ilmu fiqih, Syekh Junaid kembali mempelajari dan menekuni ilmu tasawuf. Sebelumnya belajar tasawuf kepada pamannya, kini beliau belajar kepada Abu Ja’far Muhammad ibn Ali al-Qassab. Metode yang digunakan hampir sama dengan ajaran pamannya dalam menyampaikan ilmu yaitu lebih kedalam tanya jawab atau hanya dilakukan pada suatu ruangan atau kelas. Ditengah belajar dari Abu Ja’far Syekh Junaidi juga belajar ilmu tasawuf pada Abu abd Allah al-Harist ibn Asad al-Muhasibi, seorang keturunan arab yang lahir di kota Basrah. Seorang guru tersebut dikenal dengan sebutan al-Muhasibi, pada beliau Syekh Junaid mengalami suatu metode belajar yang berbeda dari guru-guru tasawuf sebelumnya. Syekh Junaidi diajarkan untuk meninggalkan rumahnya untuk menyaksikan apa yang terjadi di lingkungan sekitar, hal tersebut membuat ia mengalami pengalaman baru setelah sebelumnya yang hanya belajar di dalam rumahnya atau kelas. Selain itu, dari al-Muhasibi jika disimpulkan ia mendapat ilmu tentang cara hidup yang tidak menjahui keduniawian tetapi tidak juga hidup dalam kemewahan[5].

Pemikiran Tasawuf Syekh Junaid al-Baghdadi

Syekh Junaid terkenal sebagai sufi yang keras menjaga tasawuf agar tidak menyimpang dari ajaran syariat. Hal tersebut berdasarkan riwayat yang telah mengatakan bahwa suatu ketika Junaid pernah berkata “Semua jalan tertutup(terlarang) bagi manusia, kecuali bagi mereka yang menelusuri jejak rasul mengikuti sunnahnya, dan setia pada jalannya. Hanya bagi Rasullulah saja terbuka semua jalan kebaikan. Ingatlah bahwa madzab kita terikat pada dasar-dasar dalam al-Quran dan sunnah nabi”. Untuk itu tasawuf Junaid al-Baghdadi dikenal dengan pemikiran beraliran salaf, karena ia tidak bersikap radikal dalam menghadapi persoalan. Ia lebih berkonsentrasi ajaran tasawufnya yang bersandarkan kepada al-Quran, hadist dan sunnah nabi.

Selain hal tersebut, Syekh Junaid al-Baghdadi juga terdapat beberapa pemikiran lainnya mengenai ilmu tasawuf, diantaranya adalah tiga pokok tasawuf sebagai berikut : Pertama Mitsaq (Perjanjian Agung) inti daripada pemikiran ini bahwasannya manusia kembali pada kondisi primordial sebelum ia diciptakan, berarti dia terpisah dari wujud jasmaniahnya, wujud kemanusiaan normalnya belum ada, dan karena itu dia berwujud dalam Tuhan dan sepenuhnya terserap di dalam-Nya. Dimana sebelum manusia diciptakan itu adalah masa kesucian sempurna dalam kehidupan. Hal ini Syekh Junaid memperkuat pemikirannya dengan tafsiran dan hadist qudsi. Adapun ayat Al-Qur’an yang ia tafsirkan yakni pada surat Al-A’raf  : 172.

Dalam arti lain ketika Allah menciptakan manusia, Allah telah meliputi manusia dan menjadikannya benar-benar menyatu dengan diri-Nya. bahkan di dunia ini, jika Tuhan memilih manusia dan manusia tersebut hidup dalam pilihan-Nya, Allah akan melenyapkan individualitas mereka dan memberikan kesadaran tentang keesaan-Nya. Seluruh keadaan inilah yang dimaksud oleh Syekh Junaid sebagai “tasawuf”. Tasawuf menurut Imam Junaid ialah Allah mematikanmu dari dirimu sendiri, dan menghidupkanmu di dalam-Nya.

Baca Juga:  Biografi Tokoh Nuruddin Ar-Raniry

Kedua yaitu Fana (Peleburan) Secara etimologi al-fana merupakan masdar dari kata faniya-yafna-fana’, yang memiliki arti rusak, binasa musnah, dan lenyap. Beranjak dari arti etimologi tersebut ada yang berpendapat bahwa fana secara terminologi berarti lenyapnya sifat-sifat tercela (Al-Jurjani 1988:169). Menurut Junaid al-Baghdadi fana dengan mitsaq ada kesamaan diantara keduannya, yaitu sama-sama berfokus pada tauhid. Mitsaq menjelaskan kembali kondisi primordial hamba, sedangkan Fana menjelaskan metode, pelatihan, dan langkah-langkah menuju kondisi primordial hamba tersebut. Dalam hal ini Junaid al-Baghdadi membagi fana kedalam tiga tingkatan. Tingkat pertama yaitu fana yang berhubungan tentang sifat dan kualitas diri yang ingin dicapai manusia. Tingkat kedua yaitu berisi bahwa manusia harus mampu menjauhkan diri dari kenikmatan dunia. Sehingga tidak ada lagi perantara yang mampu menghalangi manusia ketika berkomunikasi dengan-Nya. Tingkat ketiga, menunjukkan manusia akan mengalami kehilangan kesadaran karena sudah mencapai tingkatan tauhid. Inilah kondisi ketika seorang manusia benar-benar diliputi dan ditenggelamkan oleh Allah.

Ketiga Tauhid (Penyatuan) Syekh Junaid al-Baghdadi menyatakan bahwa tauhid ialah memisahkan zat yang qadim dari yang hadis (baharu). Arti tauhid baginya adalah mengesakan Allah dengan sesempurna-sempurnanya keesaan. Dalam hal ini juga ia membagi tauhid kedalam tiga tingkatan. Tauhid tingkat pertama yaitu Tauhid orang-orang awam, pemahaman tauhid seperti ini merupakan pondasi bagi umat umat islam atas kepercayaannya kepada Allah SWT. Tingkat kedua yaitu Tauhid orang-orang yang menguasai agama, dalam hal ini kebaikan yang diperbuat masih muncul dari ketakutan kepada tuhan dan hasrat mereka sendiri. Untuk itu Junaid al-Baghdadi melanjutkan kedalam tingkat ketiga. Tauhid tingkat ma’rifat, dalam hal ini menurut Junaid al-Baghdadi masih memunculkan sisi individualitas manusia. Pemahaman tauhid semacam ini bukan merupakan tauhid sejati, karena manusia manusia masih mengakui adanya hal-hal yang lain selain allah, yaitu diri mereka sendiri. Oleh karena itu ia mengungkapkan tauhid tingkat ma’rifat yang kedua. Dimana orang-orang dalam tingkatan tersebut berada dalam kehendak Allah. Sehingga mereka tidak lagi memiliki keinginan yang bersifat individual.

Ulasan Karya-Karya Syekh Junaid al-Baghdadi

Sebagai seorang tokoh sufi yang terkenal, Syekh Junaid tidak tidak pernah menulis sebuah kitab yang khusus untuk membahas di bidang tasawuf. Akan tetapi beliau menulis tentang pengalaman spiritual dan pemikiran tasawufnya berupa risalah yang kemudian dibagikan kepada sahabat-sahabat dan murid-muridnya. Seperti, risalah Imam Junaid kepada sahabatnya Yahya bin Mu’adz Ar-Razi (Imam Abu Al-Qasim Al-Junaid 1988:2), risalah Imam Junaid kepada Umar bin Usman Al-Makki (Imam Abu Al-Qasim Al-Junaid 1988:7), dan risalah Imam Junaid kepada Abi Ya’qub Yusuf bin Husein Ar-Razi (Imam Abu Al-Qasim Al-Junaid 1988:25).

Baca Juga:  Biografi Syekh Nuruddin Ar-Raniri

Diantara berbagai karya Junaid terdapat beberapa karya yang kini sudah tidak dapat kita jumpai, diantaranya adalah Amtsal al-Quran Ibnu an-Nadim, Tashhih al-Iradah, Kitab al-Munajat, Muntakhab al-Asrar fi Shifat ash-Shiddiqin wa al-Abrar, Hikayat, Al-Mufarriqat al-Ma‟tsurat an al-Junaid wa asy-Syibli wa Abi Yazid al-Bisthami[6]. Kitab-kitab tersebut kini tidak dapat dijumpai lagi pada saat ini, kecuali kitab Dawa Al-Tafit yang kini tersimpan di Selly Oak Library, Birmingham, Inggris, pada bagian Mingana Arabic (Islamic) dan kitab Rasa’il. Selain dengan tiga kitab tersebut yang tersimpan, terdapat juga karya yang dapat dibaca yaitu 30 kitab. Beberapa diantaranya telah disebutkan pada awal pembahasan mengenai risalah-risalah yang ia sampaikan kepada sahabat-sahabat dan murid-muridnya. Diantara 30 kitab tersebut yang paling masyhur adalah Rasail al-Junaid nomor 1374.

Pengaruh Syekh Junaid Terhadap Para Sufi

Tidak salah bahwa Syekh Junaid menjadi pengaruh yang sangat besar di dunia tasawuf. Hal itu dapat dibuktikan, diketahui dari 12 aliran tasawuf yang disajikan al-Hujwiri dalam Kasyf al-Mahjub, bahwa 1 dari 10 pemikiran tasawuf Junaid menjadi aliran yang diterima (maqbul)[7]. Dalam hal ini aliran tersebut dinamakan dengan Junayydiyah. Aliran ini sangat berbeda dari Tayfuriyyah, yaitu aliran tasawuf yang disandarkan kepada Abu Yazid al-Bustami, yang bertasawuf dicirikan dengankemabukan spiritual (al-Sukr)[8]. Serta jika dibandingkan dengan aliran-aliran tasawuf lainnya, aliran Junayydiyah ini yang lebih termasyhur. Perlu diketahui, menariknya dalam dunia tasawuf tidak pernah mengenal istilah Junayydiyah sebagai aliran. Akan tetapi selalu masuk kedalam daftar isnad tarekat yang berkembang kemudian.

Untuk itu membuat nama Syekh Junaid semakin tersohor dimana-mana, membuat Syekh Junaid dijadikan sebagai sumber ilmu tasawuf oleh sufi-sufi besar sesudahnya. Seperti Abu Nashr As-Sarraj Ath-Thusi banyak menuliskan pemikiran Imam Junaid dalam kitabnya Al-Luma’(Abu Nashr as-Saraj ath-Thusi 2002), Imam Al-Hujwiri dalam kitabya Kasyful Mahjub (Al-Hujwiri 2015), Imam Al-Qusyairi dalam Risalah Qusyairiyah (Al-Qusyairi 2013), kitab-kitab tersebut sudah di terjemahkan dan tersebar di Indonesia. []

Daftar Pustaka

Abdel-Kader, A. H. (2018). Imam Al-Junaid Al-Baghdadi: Pemimpin Kaum Sufi.

Al-Hujwiri, (1993). Kasyful Mahjub, Risalah Persia tertua tentang tasawuf, cet. 2, Bandung : Mizan.

Anwar, H., & Abdullah. (1995). Sufi al-Junayd. Fikahati Aneska.

Ashani, S., Harahap, M. R. P. A., & Maulani, M. (2021). Trilogi Pemikiran Tasawuf Imam Junaid Al-Baghdadi (Mitsaq, Fana, dan Tauhid). Syifa al-Qulub, 5(2), 97-113.

Azra, A. (2008). Ensiklopedi tasawuf. Bandung: Angkasa.

Muhsin, M. (2017). Syekh Junaid al-Baghdadi (Biografi & Perjalanan Sufisme). DKI Jakarta.

Yulanda, A., & Putra, A. (2021). Tasawuf Junaid Al-Baghdadi dan implikasinya di Era Kontemporer. Manthiq, 5(2).

 

[1] Ahmad Ahmad, Epistemologi Ilmu-ilmu Tasawuf, Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, 2016, h. 60

[2] Hamdani Anwar, Sufi al-Junayd (Jakata: Fikahati Aneska, 1995),  h. 15.

[3] Ibid

[4] Ibid,. 17

[5] Ibid,. h. 51-52.

[6] Ali Hassan Abdel-Kader, Imam Al-Junaid Al-Baghdadi,(2018),h. 148.

[7] al-Hujwīrī, Kasyful Mahjub,. H. 126.

[8] Azyumardi Azra (ed.), Ensiklopedi Tasawuf, 2:

Dzul Fahmi Abdillah
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Malang

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Ulama