Saat melihat jagat dunia maya, beberapa teman saya banyak yang membincang film Joker. Film yang mengisahkan bagaimana sosok Joker awal terbentuk. Sosok yang nantinya jadi musuh bebuyutan Batman.

Karena penasaran, tiket bioskop akhirnya terbeli. Dengan teman saya, kami sepakat menontonnya. Awalnya tidak ada ekspektasi apa-apa dari kami berdua soal film itu.

Jujur, saya biasa abai dengan peringatan soal rating film. Tapi untuk film Joker tahun ini, saya tidak memberi rekomendasi untuk ditonton mereka yang mempunyai masalah psikologis atau punya pengalaman traumatis. Silahkan disangka berlebihan. Tapi saya mengutip kalimat khas dari grup-grup Whatsapp, “hanya sekedar mengingatkan”.

Setelah menonton film ini, ada dua kata yang bisa mewakili sekian menit film itu diputar: depresif dan menyakitkan. Dari sorot mata dan tawa Joaquin Phoenix, pemeran Joker, kita bisa tertusuk dan terganggu. Namun, apa benar sebegitu depresif dan menyakitkan?

Di menit-menit awal film, hidup Arthur Fleck (Joker) sudah dipenuhi tragedi. Saat itu, kota Gotham sedang krisis. Perbedaan status sosial begitu kentara. Jurang antara si kaya dan kaum papa makin lebar. Dan Fleck berada dalam lingkaran kaum papa yang tidak berdaya.

Dia hidup dengan ibunya dalam sebuah apartemen. Sehari-hari ia bekerja sebagai badut di pinggir jalan. Suatu ketika, ia dikerjai segerombolan anak muda hingga otak ia mengalami cedera serius.

Dan tak hanya itu. Fleck juga tak mendapat perlakuan bagus dari sesama rekan kerja. Ia dipandang sebagai orang yang aneh. Hampir tiap hari ia dirundung rekan-rekan kerjanya.

Singkat kata, hidupnya dilumuri kekecewaan dan pengkhianatan. Nalurinya sebagai manusia, dirusak habis-habisan. Begitu parahnya hingga ia sendiri tak tahu apakah dirinya hidup atau tidak di dunia ini.

Saat suatu hari muncul kejadian pahit dengan sangat telak, Fleck tak mampu lagi menghadapinya. Ia memilih perubahan total. Ia menjadi sosok yang sepenuhnya keji: seperti iblis. Begitulah Fleck yang nanti menjadi sosok Joker. Sosok yang jadi pasangan benci-tapi-rindu-nya Batman di jagat DC.

Selain itu, ada kutipan yang beberapa kali saya lihat dalam film itu. Kutipan itu ada dalam jurnal pribadi Fleck. “Aku harap kematianku lebih masuk akal dari hidupku”. Begitu Fleck menulisnya.

Kutipan itu seakan menegaskan betapa hidup Fleck adalah akumulasi dari segala tragedi. Segala tragedi yang ia anggap komedi. Komedi yang ia tertawakan setiap hari. Baginya, kehidupan sudah tak ada nilainya lagi. Seakan ia ingin menunjukkan pada kita soal titik tertinggi kemarahan, kedengkian yang berlarut, dan dendam yang tak kunjung padam.

Meski demikian, Fleck mencoba mencari pelampiasan dalam mengatasi keadaannya. Ia menulis jurnal. Lebih tepatnya jurnal pribadi. Ia catat apa saja yang ia rasa, atau yang ia ingin sampaikan.

Metode diatas bisa dipakai oleh siapa pun. Apalagi bagi mereka yang susah berkomunikasi lewat lisan. Metode ini bisa dipakai untuk berkomunikasi saja, atau untuk menceritakan sesuatu. Curhat, begitu umumnya disebut. Hal demikian agar orang yang mengalami gangguan psikis atau memiliki trauma di masa lalu bisa menceritakan apa yang mereka rasa.

Akhir kata, film ini tetaplah kurang cocok bagi Anda yang punya masalah psikologis atau punya pengalaman traumatis. Cipratan darah, musik pengiring yang bikin ngeri bulu kuduk, serta tone film yang gelap. Memang film ini indah, tapi mengerikan.

Hanif Nanda Zakaria
Penulis Buku "Bang Ojol Menulis" Alumnus Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Berita