Belajar dari Dialog Al-Būtī dan Arkoun

Dalam salah satu seminar di Perancis, Al-Būtī pernah berdialog dengan Arkoun. Narasumber dalam forum ilmiah tersebut adalah Arkoun, dua profesor Sourbone dan seorang profesor dari Harvard. Forum ini dihadiri oleh para pakar dari berbagai belahan dunia. Termasuk juga turut hadir adalah Habīb Alī Al-Jufri.

Arkoun berbicara tentang problematis sakralitas al-Quran. Menurutnya, sebagai umat Islam, kita harus bersikap kritis karena Tuhan telah anugerahkan potensi akal yang luar biasa. Oleh karena itu, umat Islam harus berpikir rasional dan kritis.

Arkoun mengajak umat Islam untuk tidak mengkultuskan al-Quran. Karena setiap teks terbuka untuk dikritisi, termasuk al-Quran. Seluruh umat muslim berhak untuk “menggugat” kitab sucinya, al-Quran.

Mendengar paparan Arkoun, dua profesor Sourbone tampak terlihat kagum dengan pemikiran Arkoun. Hal ini mengingat bahwa tidak banyak sarjana muslim yang memiliki pemikiran terbuka dan kritis yang serupa dengan Arkoun.

Sementara itu, beberapa tokoh muslim yang hadir tampak gusar, tanda ketidaksetujuan mereka dengan pandangan Arkoun. Tapi, Al-Būtī tetap tampak tenang. Al-Būtī tetap mencermati ulasan Arkoun dengan seksama.

Setelah forum dialog dibuka. Al-Būtī pun meminta berbicara. Beliau memulai dengan menyapa Arkoun dengan sapaan yang hangat. Al-Būtī mengangap Arkoun adalah sahabat lamanya. Perlu diketahui bahwa Arkoun pernah mengaku kalah debat dengan Al-Būtī dan mengakui kesalahan atas pemikiran-pemikirannya pada forum muktamar di Aljazair tahun 90-an.

“Saya hanya punya satu masalah logika, bukan masalah syar’iyyah. Anda bilang, Anda seorang muslim. Konsekuensi logis dari pengakuan Anda sebagai seorang muslim adalah menyakini bahwa al-Quran adalah firman Allah, Zat pencipta alam semesta. Sekaligus menyakini kebenaran mutlak al-Quran itu sendiri. Bukan begitu?” tanya Al-Būtī.

“Tentu saja, saya Muslim”, jawab Arkoun.

Baca Juga:  Belajar Sopan Santun pada Nabi Khidir (Analisis Penggunaan Kata Iradah dalam Surah al-Kahfi)

“Jika Anda berbicara sebagai representasi muslim, maka Anda tidak berhak untuk mengkritik al-Quran. Kecuali, Anda mengaku sudah keluar dari Islam, maka saat itu Anda berhak mengkritik al-Quran. Dan pada saat yang sama, saya siap berdebat dengan Anda. Jika tidak, bagaimana mungkin Anda seorang muslim mengajak umat muslim lainnya “menggugat” kitab suci yang Anda imani dan yakini kebenarannya. Itu dua hal yang kontradiktif secara logika dan akal.”

Mendengar protes Al-Būtī, Arkoun terlihat kaget. Arkoun tidak menduga kritik Al-Būtī kepada dirinya. Al-Būtī pun melanjutkan pernyataannya.

“Mungkin Anda salah ucap. Karena Anda menggunakan dua bahasa sekaligus (Arab dan Perancis) secara bergantian dalam paparan Anda. Mungkin yang Anda maksud adalah mengkritik tafsir al-Quran. Bukan begitu?”.

“Ya…ya.. benar. Itu yang saya maksud,” timpal Arkoun dengan nada membela diri.

“Jika itu yang Anda maksud, maka itu hak Anda untuk mengkritik tafsir al-Quran, lā isykāla fīh.” pungkas al-Būtī.

Para profesor yang sebelumnya bangga dan kagum dengan pemikiran kritis Arkoun yang berani menggugat al-Quran menjadi tertunduk lesu. Mungkin di dalam benaknya berkata: “Kalau hanya mengkritik tafsir al-Quran ya sudah biasa. Para mufassir muslim sudah melakukannya dari generasi ke generasi.”

Ala kulli hal, minimal ada tiga hal, belajar dari dialog dua tokoh ini. Pertama, jika kita tidak setuju dengan pandangan orang lain, kita boleh menyanggahnya, tetapi harus tetap bersikap respect satu sama lain. Kedua, dalam berdebat harus tahu mahāl al-nizā (pokok persoalan yang diperdebatkan) biar tidak gagal paham. Ketiga, budaya intelektual kritisisme adalah bagian khazanah Islam yang harus dilestarikan agar terjadi dialektika “tukar-menukar” pemikiran.

Sejatinya, dalam khazanah Islam penuh dengan dinamika dialektika itu. Misal, lahirnya karya-karya besar seperti Tahāfut al-Falāsifah dan Tahāfut al-Tahāfut adalah bukti perdebatan ilmiah para sarjana muslim antara al-Ghāzalī dan Ibn Rusyd.

Baca Juga:  How to Learn Kutubut Turats in The Shortes Time, Possible?

Jadi, al-Quran adalah kitab suci yang sakral dan final. Mengkritik al-Quran adalah tabu. Tapi, mengkritik tafsir al-Quran bisa menjadi pemicu. Ya, pemicu lahirnya karya-karya baru yang dapat memperkaya khazanah penafsiran al-Quran. Wallahu a’lam.

Mohon pembaca berkenan untuk mengirimkan doa untuk kedua tokoh ini. Al-Fatihah, Amin. [HW]

Moh Mufid
Redaktur Maqasid Centre, Penulis Buku dan Dosen Maqasid Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Santri Alumni PP Mambaul Ulum Dagan Lamongan, PP Tambakberas Jombang, dan PP Salafiyah Safi'iyyah Asembagus Situbondo, Alumni Fakultas Syariah Wal Qanun Al-Ahgaff University Hadhramaut Yaman, Alumni Magister Filsafat Hukum Islam IAIN Antasari Banjarmasin dan Doctoral UIN Alauddin Makassar.

    Rekomendasi

    2 Comments

    1. […] Syeikh al-Buthi mengajarkan munajat kepada Allah dengan penuh penghambaan berikut: […]

    2. Saya cari vidio dialog syeikh buthi dan arkoun saat di prancis, tapi tidak ketemu. Masnya adakah?

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini