Ada Relawan Santri di Konser Deep Purple

Saat digelar konser Deep Purple dan God Bless di Solo pada 10 Maret lalu, saya hadir. Tapi hadir saya bukan sebagai penonton, melainkan relawan atau volunteer. Saya tidak sendiri, tapi bersama satu rombongan volunteer dari Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta. Jadi pada saat konser, kami para volunteer dari UNU Yogyakarta, bersama seluruh volunteer yang lain, membantu tugas penyelenggara acara sambil menimba ilmu serta pengalaman  tentang event organizing. Curi-curi nonton konser tentu bisa, tapi tanpa meninggalkan tugas utama yang semestinya.

Kisah volunteer ini bermula dari awal Februari lalu, di mana ada kabar melalui media sosial Rajawali Indonesia selaku penyelenggara konser, tentang program ‘santri calling’. Media sosial ‘orang yang punya’ Rajawali Indonesia, Anas Syahrul Alimi, atau saya sebut saja Kyai Anas, juga mengumumkan program ini. Menurut Kyai Anas, santri yang berminat belajar tentang dunia event dipersilakan menjadi volunteer dalam gelaran yang dia sebut sebagai ‘Muktamar Deep Purple dan God Bless’. Program ‘santri calling’ ini dibuka masih dalam rangka momen peringatan 1 abad Nahdlatul Ulama (NU), demikian yang disampaikan melalui media sosial Kyai Anas, yang memang seorang yang termasuk golongan nahdliyin atau warga NU.

Setelah melalui proses pendaftaran dan seleksi, dari UNU Yogyakarta terdapat delapan volunteer, empat putra dan empat putri, yang diterima melalui program ‘santri calling’. Tujuh di antaranya merupakan representasi Pesantren Mahasiswa, sementara satu di antaranya mewakili Unit Kegiatan Mahasiswa Musik. Saya sendiri sebenarnya juga mendaftar jadi volunteer, biar tahu rasanya jadi bagian dari penyelenggaraan even musik, sekaligus mendampingi para mahasiswa. Lewat jalur umum, bukan jalur santri, saya mendaftar, tapi tidak diterima. Saya pikir-pikir sendiri, mungin saya tidak diterima karena faktor usia.

Saya sudah berpikir untuk tetap berangkat sebagai penonton, bukan volunteer. Tapi setelah pengumuman, satu volunteer dari UNU Yogyakarta mundur karena ada kegiatan pesantren yang tidak bisa dia tinggalkan. Padahal yang mundur ini saya anggap santri senior, cocok sebagai pendamping dari volunteer lain dari UNU Yogyakarta. Akhirnya saya mencoba menghubungi panitia, menanyakan kemungkinan untuk menjadi volunteer pengganti demi mendampingi yang lain. Ternyata kemungkinan itu terbuka, maka saya pun menjadi volunteer jalur santri.

***

Pagi hari Jumat 10 Maret 2023, saya siap berangkat dari Yogyakarta menuju ke Edutorium Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), ajang gelaran konser Deep Purple dan God Bless. Tapi saat itu saya kemudian bimbang, pasalnya kondisi badan ternyata tidak benar-benar vit. Beberapa hari sebelumnya saya pulang mudik keperluan peringatan 100 hari meninggalnya bapak mertua, melalui perjalanan yang cukup melelahkan. Di Yogyakarta urusan persiapan panitia peringatan hari lahir kampus dan panitia Ramadan di kampus sudah menunggu. Badan yang rasanya belum benar-benar istirahat ternyata juga dilanda demam, flu dan batuk.

Sambil siap-siap berangkat, pikirian masih menimbang-nimbang untuk berangkat atau tidak. “Kalau saya tidak berangkat, siapa yang mendampingi mahasiswa bertugas jadi relawan dan harus pulang ke Yogya tengah malam nanti?” Tanya saya. Lalu saya sendiri menjawab “Kan mahasiswa itu sudah bisa mengatur diri sendiri, tidak didampingi juga bisa.” Kemudian ada pertanyaan lagi dari saya sendiri “tapi kan ini Deep Purple dan God Bless, masa sih tidak berangkat? Rugi kalau tidak nonton!” Lalu jawab saya sendiri “masa iya juga demi Deep Purple dan God Bless harus rela dibelain sakit-sakitan?”

Saya pun makin bimbang, padahal persiapan sudah beres, tinggal berangkat. Lalu saya berdoa secara khusus, memohon semoga saya diberi kesehatan dan keselamatan untuk berangkat. Tiba-tiba saya mendapatkan satu pikiran. Saya akan berangkat dengan niat sulaturahmi. Kyai Anas itu jelas berlatar belakang dunia NU dan pesantren, tentunya dia punya circle dari golongan pak kyai atau bu nyai, gus atau ning, santriwan atau santriwati, nahdliyin atau nahdliyat, yang akan hadir di ajang konser. Maka saya mantapkan hati untuk berangkat, dengan niat meraup berkah pertemuan dengan Kyai Anas dan circle orang-orang yang telah saya sebut barusan.

Baca Juga:  Santri dan Politik Negara

Apakah dengan kemantapan ini badang langsung jreng menjadi sehat? Tidak juga. Saya masih nggliyer-nggiler di jalan. Tapi minimal hati sudah punya kemantapan. Sesampai di lokasi, vibes konser musik cadas sudah terasa, maka rasa tidak enak badan makin terlupa. Kebetulan Kyai Anas pas nampak di depat photo booth dan saya temui. Lalu saya juga ketemu beberapa orang yang saya kenal lainnya dan badan ini rasanya makin segar. Shalat jumat di area Edutorium, dengan jamaah yang didominasi orang-orang dengan kaos bertema musik cadas sungguh jadi penyemangat tersendiri.  Apalagi saat sudah benar-benar memulai tugas menjadi volunteer, rasanya sudah sehat sungguhan.

***

Siang menjelang sore, saya dan beberapa mahasiswa UNU Yogyakarta yang menjadi santri volunteer, mendapat tugas di beberapa bagian. Ada yang di bagian storage, semacam tempat bagi para penonton untuk menitipkan barang yang tidak akan atau tidak boleh dibawa ke dalam venue. Ada juga di bagian body checking, garda depan menyambut penonton sebelum masuk venue, untuk memastikan barang-barang terlarang untuk ditinggal atau dititipkan di storage. Ada juga di bagian floor, bertugas di area venue, memastikan penonton masuk melalui pintu-pintu yang sesuai dengan tiketnya.

Selepas masuk waktu ashar, penonton sudah mengantri di luar venue. Seorang koordinator pembagi tugas volunteer membolehkan saya untuk stand by di depan pintu utama venue, membolehkan saya juga untuk bertugas wira-wiri memonitor para volunteer di semua titik, di luar venue, maupun di dalam venue yang terdiri dari tiga lantai itu. Saya membatin, mungkin saya diberi tugas khusus ini karena faktor usia.

Lalu saya mulai pekerjaan di garda depan, membersamai bagian body checking. Awalnya bagian ini dimotori para petugas crowd control yang kekar berotot itu. Namun selanjutnya, para petugas crowd control ini harus ditarik ke bagian lain, meninggalkan petugas volunteer. Saya lihat volunteer bagian garda depan ini tugasnya cukup berat, karena seluruh penonton pasti akan lewat bagian ini. Jika sudah lewat bagian ini, akan dipecah ke tiga pintu utama sesuai kategori tiket. Selanjutnya, penonton dipecah lagi ke banyak pintu di dalam venue.

Bagian body checking memastikan seluruh makanan, minuman, rokok, korek, cairan, atau bahan berbahaya ditinggal atau disimpan di storage. Selain harus terus bersuara, volunteer bagian ini juga harus membantu menyiapkan tempat ‘pembuangan’ barang-barang yang tidak bisa dibawa masuk. Saya yang awalnya ingin berputar mengecek semua titik tugas volunteer, kemudian merasa tidak sampai hati meninggalkan bagian ini.

Banyak penonton yang kaget ketika tidak boleh membawa barang-barang tertentu terutama minuman, padahal di dalam venue tidak ada penjual minuman. Kami hanya sampaikan bahwa nanti kalau penonton haus, bisa keluar lagi dari venue. Kalaupun ada penonton yang bersikeras tidak mau diatur, mereka akan mentok juga nantinya di pintu utama, di mana petugas dengan detector lengkap pasti akan menemukan barang terlarang yang dibawa. Memang pengamanan konser kali ini saya rasa lebih ketat dari biasanya. Maklum saja, karena Presiden RI berencana untuk hadir di antara penonton pada konser malam hari nanti.

***

Sebagai mana kita tahu, konser pada malam itu memang mengetengahkan dua grup band yang sudah sama-sama senior, satu bertaraf internasional, satu bertaraf nasional. Kata senior bahkan bisa saja belum cukup mewakili posisi penting mereka dalam sejarah musik cadas. Deep Purple dibentuk di London pada tahun 1968, sementara God Bless berdiri tahun 1973 di Jakarta. Yang satu adalah salah satu pionir musik cadas di dunia, satunya salah satu pionir musik cadas di tanah air. Dua-duanya adalah legenda.

Tidak heran, banyak penonton konser saat itu adalah orang-orang gaek. Dua grup yang ditonton usia sebagian besar pemainnya sudah di atas 70, penontonnya pun tidak kalah berumur. Para penonton senior ini hadir dengan bermacam gaya, mulai yang nampak sangat nge-rock sampai yang sangat kalem seperti mau berangkat rapat RT saja. Ada yang sendiri, ada yang bersama pasangan dan keluarga, ada yang satu gank yang sama-sama sepentaran usianya. Saya yang bertugas di garda depan, jadi bisa menyaksikan beragam gaya para penonton senior ini. Saya sungguh menikmati pemandangan semangat dan kebersamaan beliau-beliau para penonton ini.

Baca Juga:  Pola Asuh Santri Generasi Z

Saat suara musik mulai terdengar di dalam venue, saya agak bertanya-tanya, itu penampilan musik apa. Pikir saya, itu bukan lagu God Bless, juga bukan lagu Deep Purple. Lalu apakah itu rekaman musik yang diputar? Pada akhirnya saya baru paham, ternyata ada satu penampil kejutan yang dirahasiakan. Dia adalah Rhoma Irama bersama Soneta Grup! Bayangkan, sudah ada dua legenda, masih ditambah satu legenda lagi! Rhoma Irama tak kalah gaek dengan personel dua grup yang sudah tertulis, menjadi pionir musik dangdut Indonesia dengan Soneta Grup yang berdiri sejak 1970 di Jakarta, yang gaya musiknya juga terpengaruh genre rock.

Saya sebelumnya membayangkan Rhoma Irama hadir sebagai penonton, karena setahu saya dia adalah pemusik yang terpengaruh oleh gaya Deep Purple. Tapi ternyata dia bukan hadir sebagai penonton, melainkan sebagai penampil.  Maka jadilah para ‘simbah’ malam itu tampil di panggung konser. ‘Simbah-simbah’ yang luar biasa, merintis satu gerakan musik di jalur masing-masing, aktif sejak lebih dari 50 tahun lalu dan eksis sampai sekarang.

***

Saat God Bless mulai tampil, penonton masih mengalir deras masuk ke venue. Sayup-sayup saya mendengarkan lagu-lagu dimainkan dari dalam. Ingin rasanya masuk menjenguk penampilan Ahmad Albar dan kawan-kawan, tapi saya merasa tidak boleh meninggalkan teman-teman garda depan. Saya menghibur diri “ah, mungkin lagu-lagu God Bless juga seperti biasanya, sudah pernah saya tonton secara live.” Saya juga tidak punya bocoran setlist atau urutan lagu dari konser terbaru God Bless, jadi cuma main kira-kira.

Tiba-tiba terdengar dari dalam, alunan lagu berjudul ‘Cermin’! Ini bisa dikatakan sebagai lagu God Bless favorit saya dan belum pernah saya tonton secara live! Tapi penonton masih mengular, maka saya tidak boleh ke mana-mana. Saya hanya bisa bersenandung “Hari ke hari, waktu berlalu… Kulalui jalan hidupku… Dalam gejolak ego semata… Di antara kemelut zaman, semua ku tak peduli…” Ternyata tidak cuma itu. Masih ada lagi ‘Bara Timur’, satu lagu Ahmad Albar dan kawan-kawan semasa di Gong 2000, yang juga favorit saya! Tapi bagaimana lagi, saya merasa harus tetap di tempat.

Saat God Bless sudah turun, dilanjut jeda sebelum Deep Purple naik, aliran penonton masuk sudah mulai berkurang. Saya pun berniat untuk menjenguk penampilan Deep Purple tapi untuk tiga lagu saja; Highway Star, Perfect Stranger dan Smoke on the Water. Saya punya bocoran setlist dari konser sebelumnya dan kebetulan valid. Jadi, saya bisa mengira-ngira kapan masuk venue dan kapan keluar. Sehabis Smoke on The Water, kebetulan adalah waktunya encore, momen di mana penampil pura-pura pamit tapi nanti muncul lagi. Ternyata tidak sedikit penonton yang memutuskan keluar di waktu encore. Saya pun stand by kembali, mengantisipasi segala kemungkinan. Alhamduliilah, penonton keluar dengan lancar sampai akhir.

**

Meski para penampil adalah legenda musik dengan usia tak lagi muda, namun penonton tidak terbatas dari kalangan tua saja. Banyak anak-anak muda bahkan anak-anak kecil yang diajak juga untuk menikmati pertunjukan. Penonton juga menurut pengamatan saya, nampak berasal dari banyak kalangan. Pejabat yang saya lihat hadir malam itu tidak hanya Presiden RI Joko Widodo, namun juga Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Di luar mereka berdua, pasti masih banyak lagi tokoh-tokoh penting lainnya.

Hal yang saya pribadi perhatikan adalah tidak sedikitnya penonton yang saya ketahui adalah berasal dari kalangan NU maupun santri. Mereka menonton juga sudah tidak lagi sungkan menunjukkan identitas NU ataupun santri. Memang semua dimulai dari Kyai Anas, shohibul hajat acara ini. Dalam banyak konser yang dia selenggarakan, Kyai Anas tampil santai dengan songkok NU dan bersarung ala santri. Malam itu dia mengenakan kaos bertuliskan ‘aku NU, aku nonton Deep Purple’.

Baca Juga:  Tafsir Tarbawi: Karakter Guru dalam Surat Fussilat Ayat 30-32

Mungkin sudah sejak dulu santri maupun warga NU nonton konser musik, termasuk musik rock maupun metal. Tapi dulu jarang orang menunjukkan identitas santri maupun NU di tengah konser, mungkin karena malu-malu, atau karena berpikir untuk apa juga. Tapi melihat Kyai Anas, yang punya acara, tampil santai bergaya santri NU di tengah konser, maka yang tadinya enggan, sekarang tidak lagi. Di momen konser itu saya kerap melihat berseliweran orang bersarung maupun bersongkok. Ada kaos yang seperti punya Kyai Anas, ada juga kaos bertuliskan ‘Muktamirin’ yang artinya peserta muktamar.

Saya juga ketemu santri-santri putri dari Pesantren Al Rifa’ie Malang yang sempat membuat video musik lagu Smoke on The Water. Menurut saya, memang ada peran Kyai Anas untuk semakin mendekatkan dunia konser musik, khususnya musik cadas, dengan dunia santri. Saya sendiri yang tumbuh di lingkungan dekat pesantren dari kecil sudah mendapat pengaruh minat musik cadas. Tapi tidak pernah sama sekali membayangkan kedekatan musik rock atau metal dengan dunia santri yang seperti ini. Sungguh di luar dugaan, sampai yang punya hajat konser itu seorang santri, sebagian penontonnya santri, sebagian relawannya juga santri.

Ada dari para penonton yang saya kenal dari circle NU,  dari circle Al Azhar Mesir sampai yang saya kenal karena dulu mondok di pesantren dekat rumah saya. Ada pak kyai dan bu nyai, juga gus dan ning, berseliweran di antara penonton. Yang saya kenal, saya sambut dengan hospitality ala pesantren. Saya sampai berpikir, kalau penonton konser yang diselenggarakan Kyai Anas ini makin banyak dari kalangan kyai maupun santri, butuh penerima tamu khusus, nih. Saya pikir-pikir lagi, pemandangan ini seakan Kyai Anas sedang punya hajat pentas akhirussanah di pesantren yang diasuhnya, lalu kyai-kyai koleganya diundang untuk hadir.

***

Di momen konser saat itu, saya, juga teman-teman volunteer santri yang mewakili UNU Yogyakarta belajar banyak hal terkait penyelengggaraaan event. Mengelola acara sebesar itu, memang membutuhkan energi yang sangat besar dan tidak bisa main-main. Saya bilang ke teman-teman serombongan, agar pengalamannya nanti bisa dimanfaatkan di acara pesantren maupun kampus.

Kasak-kusuk orang sesama NU yang saya temui di acara, harusnya UNU Yogyakarta juga bisa punya gedung acara seperti Edutorium UMS itu. Saya hanya tertawa menanggapi, tapi juga sambal berharap. Memang NU mesti belajar ke Muhammadiyah soal bagaimana memiliki dan mengelola aset. Dalam hati saya berdoa, semoga kelak UNU Yogyakarta juga punya gedung seperti edutorium UMS ini. Untuk saat ini, kami sudah sangat bersyukur, punya gedung kampus baru yang pembangunannya sudah sampai tahap finishing.

Lepas tengah malam, kami satu rombongan pamit kepada Kyai Anas dan para kyai lain yang sedang berkumpul mengobrol santai. Atas nama UNU Yogyakarta kami menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas kesempatan belajar yang diberikan, sembari menyampaikan harap akan  adanya momen-momen lain di mana kami bisa ikut menimba ilmu lagi dari Rajawali Indonesia. Selama perjalanan pulang, alhamdulillah, rasa tidak enak badan yang terasa di pagi hari sudah tidak ada lagi. Tapi sebagai gantinya adalah rasa pegal di kaki akibat banyak berdiri. Dalam hati saya membatin, besok-besok lagi biar yang muda-muda saja yang jadi volunteer, saya jadi penonton biasa saja. []

 

Muhyidin Basroni*

*Saat ini mengajar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta dan IKANU Training Center Yogyakarta, pernah aktif di Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Mesir

Muhyidin Basroni
Alumni Universitas Al Azhar Kairo, peminat kajian sejarah dan seni-budaya Islam, kini mengajar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini