Kata “santri” atau “anak pondok” sudah menjadi istilah yang akrab bagi bangsa Indonesia. Sebutan “santri” sendiri berasal dari kata ”sastri” yang diambil dari bahasa Sansekerta, yang artinya melek huruf, dikonotasikan dengan kelas literary bagi orang Jawa yang disebabkan karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab yang bertuliskan dengan bahasa Arab. Santri bisa dikatakan sebagai individu yang berusia produktif di mana memiliki karakter khas yang optimis, berpikiran maju, revolusioner dan mempunyai moralitas. Santri akan menjadi salah satu bagian dari generasi emas untuk melanjutkan cita-cita pahlawan dan nenek moyang kita serta merawat keutuhan bangsa Indonesia dalam keanekaragaman yang ada.

Tekad santri untuk turut serta menjadi bagian dari generasi penerus bangsa tercermin dalam salah satu poin dari 5 butir Ikrar Santri:

Kami santri Indonesia berikrar menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Kami siap menyerahkan jiwa raga membela tanah air dan bangsa Indonesia. Pantang menyerah, pantang putus asa serta siap berdiri di depan melawan berbagai pihak yang merongrong NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan semangat Bhinneka Tunggal Ika.” Seperti Bhinneka Tunggal Ika, kalimat tersebut menjadi semboyan yang dipegang teguh oleh santri dalam berbangsa serta sebuah semangat untuk bersatu dalam keanekaragaman. Bhinneka Tunggal Ika merupakan semboyan bangsa kita bangsa Indonesia yang tertulis pada lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu. Kedua semboyan tersebut menjadi renungan kita dan pengingat bahwa santri adalah bagian dari generasi pemimpin bangsa, agent of change, and unifying.

Santri dalam tujuan yang sama juga memiliki keberagaman. Mulai dari identitas, suku, bangsa, guru dan ilmu yang dipelajari semakin mengisi dan mewarnai keberagaman santri di Indonesia . Tidak dipungkiri kembali setiap identitas yang ada pasti ada hak-hak yang harus didapatkan serta kewajiban untuk menjaga identitas tersebut. Santri sering kali dikaitkan dengan remaja yang dimana awal sebuah perubahan yang terjadi baik secara internal maupun eksternal yang menyangkut identitasnya. Santri ini beragam. Dalam keberagamannya pasti ada sebuah perbedaan. Namun, perbedaan inilah sebagai peluang untuk membangun sesuatu hal yang baru, dan sebagai ajang untuk mengerti dan menerapkan toleransi. Kekurangan serta kelebihan bukanlah menjadi tolok ukur atau hal yang menghambat. Di sinilah peluang dan kesempatan yang menjadi kelebihan kita.

Baca Juga:  Hasil Mondok Imam Hatim al-Asham Selama 30 Tahun

Untuk menangkal sebuah paham terkait perbedaan adalah hal yang sempit adalah dengan menanamkan kembali nilai dan mendefinisikan makna Bhinneka Tunggal Ika. Memberikan pengertian akan hak dan kewajiban untuk seseorang demi mewujudkan cita-cita yang diinginkan. Dalam keberagaman perlunya sikap toleransi harus digarisbawahi. Penting juga untuk pemuda agar menerapkan sikap simpati dan empati toleransi, dimana tindakan sikap intoleran masih terdapat dalam lingkungan sekitar kita.

Lantas bagaimana agar santri dapat bersatu dalam keanekaragaman dan kekurangan serta mengisi bahkan menjadi generasi masa depan yang baik? Para santri perlu mulai dibangun kesadaran akan semangat patriotisme dan nasionalisme demi mewujudkan tujuan yang sama. Hal tersebut bertujuan agar mendapat hak dan kewajiban yang setara dan sama, dapat mewujudkan apa impiannya, menjadi penerus para cita-cita pahlawan, dan generasi emas bangsa.

Lalu apa selanjutnya?

Ingatkah pada tanggal 22 Oktober di mana diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Hari tersebut diadakan sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan negara kepada para alim ulama, kiai, santri serta seluruh komponen bangsa yang mengikuti teladannya. Karena sejarah telah mencatat peran besar para ulama dan santri pada masa perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dalam menjaga NKRI, dalam menjaga Bhinneka Tunggal Ika. Kesempatan inilah yang menjadi ajang untuk santri dalam sikap semangat kebhinekaan. Dengan menjadi pesantren sebagai ruang transformasi kebhinnekaan. Paradigma pesantren yang terbuka akan kebhinnekaan dan tradisi ini tidak lepas dari keyakinan dan kesadaran bahwa Indonesia tidaklah dibangun di atas satu agama atau golongan saja. Indonesia diperjuangkan atas tumpah darah berbagai golongan. Jika orang-orang pesantren melawan terhadap semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sama saja mereka tidak mengakui identitas Indonesia.

Baca Juga:  Awal Perjalanan di Timtengka

Berdasarkan dari pemikiran di atas, setidaknya ada dua titik terpenting bagi pesantren untuk mentransformasikan semangat kebhinnekaan santri. Pertama, tradisi bahsul masail ad-diniyyah sebagai salah satu tradisi akademik di pesantren diharapkan dapat menghasilkan rumusan yang baku dan matang tentang konsep memahami dan mengelola kebhinnekaan yang bersumber dari kitab kuning. Konsep tersebut dijadikan sebuah rujukan dan legitimasi bahwa Islam sangat ramah terhadap keragaman, bukan berwatak kaku untuk melawan berbagai perbedaan identitas. Kedua, karakter pendidikan pesantren yang sudah terbiasa ramah dan terbuka itu diperlukan adanya manajemen yang lebih rapi lagi. Berikut merupakan hal sangat penting untuk membuka peluang menerima lebih banyak lagi dari kalangan generasi muda untuk menimba ilmu di pesantren.

Dengan demikian, pondok pesantren sangatlah patut untuk dicontoh dalam membangun kesadaran dari semangat Bhinneka Tunggal Ika. Tidak hanya kesadaran, namun dalam situasi apapun, dan patut juga untuk dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari agar kebhinnekaan benar-benar menjadi sebuah keberkahan untuk kekuatan dan kemajuan bangsa Indonesia. Semoga bermanfaat.

Sumber Bacaan:

https://www.harisantri.id/berita/ikrar-santri-indonesia.html diakses pada 18 Maret 2021 pukul 11.52 WIB

Kholilur Rahman, Kebijakan Hari Santri Nasional Dan  Inovasi Kebijakan Pendidikan Islam, Ar-Risalah, Volume XVII Nomor 1 Tahun 2019.

Wiwit Nur Laila
Santri Ma'had Aly Maslakul Huda Fi Ushul al-Fiqh Kajen, Pati

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini