Menjadi NU itu mudah. Cukup hanya dengan membaca ushali sebelum shalat, baca Sayyidina saat tahiyat, baca qunut saat shalat subuh dan Yasinan berkumpul bersama tetangga setiap malam Jumat. Hal mana dibilang tidak ada tuntunan dan tertolak karena ada indikasi bid’ah. Bagi saya, orang-orang NU itu memiliki kesabaran tingkat dewa -apalagi para ulamanya.

Berbagai kritik ditujukan pada tata cara amalan ibadah yang mereka lakukan dengan berbagai stigma tidak membuat NU melemah, justru  berbalik memperkuat posisi NU sebagai jam’iyah yang diterima khalayak luas sebagai model mainstream keberagamaan yang kenyal dan dinamis.

Meski dibilang bid’ah dan tidak dilakukan Nabi SAW, majelis dzikir mereka penuh sesak. Ada puluhan bahkan ratusan ribu jamaah dalam berbagai majelis. Ironisnya majelis yang diisukan bid’ah tersebut justru mengalahkan majelis-majelis yang mengklaim paling sunah sekalipun. Sebuah paradoks. Buah kesabaran NU cukup efektif.

Tidak tanggung-tanggung ada puluhan bahkan ratusan amalan yang dituduhkan bid’ah, bahkan sampai pada tahapan musyrik. Tapi mereka tetap bersabar dan istikamah menjalankannya tanpa surut (saya patut puji dengan tulus).

Betapa sepinya ramadhan tanpa kehadiran masjid-masjid NU yang istikamah, di mana bacaan Quran, salawat dan penanda berbuka dan sahur dikumandangkan riuh penuh ghirah. Masyarakat antusias menyambut dengan megengan, malem selikuran, malem songo, mbruwah (membawa ‘asahan’ berupa nasi atau kue) ke masjid dan mushala terdekat sebagai tanda syukur.

Fahri Ali menyebut bahwa ‘NU berhasil membumikan ajaran langit dalam bahasa sehari hari, sementara Zamakhsyari Dhofier menyatakan bahwa ‘ajaran Islam tumbuh berdampingan seiring sehaluan dengan tradisi. Pada tahap ini telah terjadi Islamisasi budaya dan adat yang dilakukan dengan teramat cerdas. Konsep dan strategi dakwah Walisongo menjadi rujukan dan model ideal dalam dakwahnya, imbuhnya dalam sebuah riset tentang adat dan tradisi Islam sebagai media.

Baca Juga:  Pagar Nusa: Nahdlatul Ulama Bela Palestina dengan Cara Elegan

NU adalah jam’iyah, keseluruhan umatnya merepresentasi inklusifitas. Karena sifat gerakannya yang jam’iyah, maka tradisi perbedaan adalah hal biasa. Orang NU biasa berbeda dalam hal cara dan soal-soal teknis. Imam Syafi’i berikhtilaf dengan gurunya Imam Malik sebanyak 5. 679 ikhtilaf. Dengan watak seperti itu, karakter NU menjadi terbuka dan toleran pada setiap perbedaan dan ikhtilaf.

Paham keberagamaan NU tidak pernah membuat definisi kaku terhadap hal yang tidak i’tiqadi. Atas dasar itu maka NU membuka ruang yang luas dan terbuka untuk berkreasi dan cara beribadah secara inovatif terhadap yang bersifat ghairu mahdhah. NU justru kreatif membuat ‘bid’ah sosial’ yang membikin cara beragamanya segar dan tidak monoton.

Cara beragama yang demikian tentu melahirkan sikap inovatif yang sarat spiritualitas, karena menggunakan tradisi dan adat sebagai alat atau media dakwah. Yang oleh sebagian yang lain justru kerap dipertentangkan atau diberi stigma bid’ah atas dasar tiadanya tuntunan. Hal mana bagi NU tak perlu dalil, sebab ini hanya soal teknis yang tidak bersentuhan dengan ibadah generik yang  butuh otentisitas sebagai syarat diterimanya satu amalan.

Atas dasar inilah, maka setiap orang Islam pada dasarnya adalah NU sebelum ia berubah. NU tidak mengubah apalagi melawan tradisi yang ada. Justru sebaliknya menjadikan hal tersebut sebagai alat atau media bahan dasar membangun peradaban Islam yang kenyal dan fleksibel. Selamat harlah ke 95 semoga istikamah memegang keragaman dan kebhinekaan.

@nurbaniyusuf
Komunitas Padhang Makhsyar

31 Januari 2020

Nurbani Yusuf
Komunitas Padang Mahsyar

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini