Cara Bapak Berbakti

Setelah dua tulisan sebelumnya saya menulis tentang bagaimana seorang anak berbakti, kemudian dilanjutkan dengan bagaimana menjadi orang tua yang baik, dan menata anak-anaknya agar menjadi anak yang berbakti, dalam tulisan kali ini saya akan menceritakan bagaimana cara bapak saya agar bisa menjadi keduanya. Anak yang berbakti, dan orang tua baik yang menata anak-anaknya agar berbakti.

Bapak saya sudah mulai berfikir tentang bagaimana cara agar bisa menjadi anak berbakti, jauh sebelum berkeluarga. Bahkan ketika masih nyantri di pondok kencong, bapak sudah mulai meminta doa kepada ibuk beliau, atau mbah saya, mbah siti nu’amah allahu yarham. Bapak bercerita: “Kulo niki kelingan, ndelok elek e ati kulo. Kulo matur ten mak: Mak kulo njenengan dungakaken, mangke kulo mboten manggon ten omahe njenengan, lan mboten manggen ten omahe morotuo. Kersane kulo saget birrul walidain (saya teringat, karena mempertimbangkan kekurangan diri terutama kurang baiknya hati saya, saya meminta kepada ibuk saya: buk, tolong saya didoakan agar kelak ketika saya sudah berkeluarga tidak tinggal dirumah anda. Juga tidak tinggal dirumah mertua saya. Agar supaya saya bisa berbakti, birrul walidain)”.

Bapak meminta doa seperti ini bukan karena apa, tapi karena memang bapak sudah mempelajari dari pengalaman hidup banyak orang waktu itu, yaitu: “Kulo matur ngoten soale mendalami bab birrul walidain, lek cidek niku angel( saya meminta doa seperti ini karena sudah mendalami tentang birrul walidain, apabila sangat dekat itu sulit dilkukan)”.

Akan tetapi, keadaan sempat berubah ketika bapak menikah. Bapak melanjutkan ceritanya:”Mboso nikah, ningali keadaane bojo kang anak tunggal, lan bapak moro sepah kang cekap lan sangat mendukung, akhire omongan kulo mboten kulo gawe. Wes penak iki manggon gone morotuo (Dan setelah menikah, melihat keadaan istri saya yang anak tunggal, dan juga mertua yang sangat mendukung, maka omongan saya yang dulu tidak saya pakai. Sudah, enak tinggal di rumah mertua saja kalau begini)”.

Memang setelah menikah, bapak sudah langsung bertempat di rumah mertua, yaitu bersama mbah saya, mbah H. Anwar allahu yarham. Bahkan sudah ada beberapa santri yang ikut mondok dan mengaji kepada bapak. Namun ternyata hasil pengamatan bapak saya yang dahulu menjadi kenyataan. “Tapi kenyataane malah mandi omongan kulo niku. Kulo namung manggon ten griyane morotuo 11 bulan. Kulo mbatin: Aku lek manggon gone morotuo, watekku keras ngeneki, lak yo angel kon birrul walidain. Akhire pindah ten panggenan lintu, tapi geh dowo prosese (akan tetapi kenyataan yang terjadi malah sesuai dengan apa yang saya omongkan pada ibuk saya dahulu. Saya bertempat tinggal dirumah mertua 11 bulan. Karena saya membatin: kalau saya tinggal di rumah mertua, sedangkan watak saya keras seperti ini, maka akan sulit bagi saya untuk birrul walidain, atau berbakti. Pada akhirnya saya pindah ke tempat lain. Tetapi sangat panjang proses pindahnya)”.

Baca Juga:  Indahnya Birrul Walidain

Setelah pindah ketempat lain, bapak mulai menata kehidupan. Terutama menata santri dan pengajiannya. Bapak adalah tipe seseorang yang sangat sabar berproses. Mulai dari sabar berdoa melalui wirid, hingga istiqomah ngaji setiap hari. Dan disamping itu, bapak juga berikhtiar mencari rezeki dengan beternak ayam, hingga bertani. Mulai dari rumah kecil ukuran 3 kali 6 meter yang dibagi dua dengan kamar santri, hingga akhirnya mampu membuat rumah yang layak huni kemudian. Bapak juga selalu berusaha berbakti atau birrul walidain semampunya.

Saya masih ingat, ketika usia sekolah dasar seringkali diajak bapak bersepeda angin ke rumah mbah saya di botoputih. Kearah utara dari kwagean, sekitar 5 kilometer. Disana pun tak lama, mungkin beberapa jam saja. Lalu bapak akan memboncengkan saya pulang kembali. Dibonceng dibelakang, dengan kaki ditali dengan kain ke bawah sadel sepedah. Agar kaki saya tak masuk jari-jari roda ketika perjalanan. Keamanan yang harus dibayar mahal dengan kesemutan yang dahsyat ketika sampai di rumah kembali. Saya otomatis akan menangis menahan kesemutan, dan ibuk saya, allahu yarham, akan menyiapkan ember yang diisi air sebagai tempat merendam kaki yang kesemutan agar segera reda.

Kegiatan bapak kerumah mbah botoputih, rutin dilaksanakan setiap bulan menurut ingatan saya. Yang diajak kesana pun berganti-ganti. Kadang kakak, kadang adik-adik yang lain. Saya tak tahu mengapa. Akan tetapi saya faham kemudian, bahwa rutinan bapak kesana adalah wujud bagaimana bapak mewujudkan bakti seorang anak. Meskipun hanya memberi uang tak seberapa, atau memberikan makanan yang tak bernilai harganya, bagi bapak itu adalah wujud baktinya. Dan rutinan ini berlanjut hingga mbah saya tiada. Awalnya hanya bersepeda, lalu naik becak bersama, hingga akhirnya punya kendaraan bermotor pun, bapak selalu istiqomah sowan dan menghaturkan sedikit wujud baktinya.

Baca Juga:  Berkah Merawat yang Terkasih

Setelah mbah tiada, bapak juga berusaha menunaikan wasiat yang tak banyak. “Lek tiang sepah kulo mboten nate wasiat, kecuali setunggal namung mak kulo: Sampean gak usah wayoh yo, mesakne bojomu. Niku matur ten kulo pas pondok mulai mekar (kalau orang tua saya tidak pernah wasiat kecuali satu saja. Yaitu ibuk saya. Wasiat beliau: kamu jangan poligami ya, kasihan istrimu. Beliau dawuh seperti itu kepada saya, ketika pondok kwagean mulai berkembang)”.

Tak hanya orang tua kandung, dari mertua bapak, atau mbah saya, bapak juga berusaha menjalankan wasiat yang hanya satu juga. Yaitu:”Tapi lek morotuo, wasiat iki omah lan tanah tak kekne sampean, gak tak kekne bojo sampean. Sawah iki tak kekne sampean, gak tak kekne bojo sampean. Lan neng kene, omah etan bangunen mushola. Terus omah iki, lan tanah e, kang neng pingger embong niko, sok gawenen pondok, ojo diwaris. Soale ko lek diwaris kan dibagi-bagi. Ki ben utuh digawe pondok ( tapi kalau mertua, berwasiat: rumah ini yang sekarang jadi pondok annur dan tanahnya, saya berikan untuk kamu, bukan untuk istri kamu. Juga sawah ini, yang di sebelah utara pondok, saya berikan untuk kamu, bukan istrimu. Dan di depan rumah yang saya berikan, nanti bangunkan mushola. Lalu rumah saya ini, beserta tanahnya, yang di pinggir jalan raya itu, nanti jadikan pondok, jangan diwaris. Karena apabila diwaris nanti dibagi-bagi tanahnya. Biarkan utuh dan digunakan sebagai pondok saja alhamdulillah sekarang menjadi pondok al huda)”.

Tak hanya sebagai anak, sebagai orang tua pun, bapak selalu menata agar anak-anaknya bisa menjadi anak yang berbakti. Salah sayu caranya yaitu dengan bersikap adil. Kata bapak:”Lek ngekeki anak seng podo, sampean ki bakale dadi wong tuwo. Dadi gawe pelajaran. Piye carane iso modo nggone anak. Anake lek ditukokne sepedah motor, yo ditukokne kabeh. Lek ora, yo ora kabeh. Lek kulo, anak lanang pokok wes neng omah, meskipun durong nikah kulo tukokne sepedah motor kabeh. Lek seng wedok, sak bakdane nikah langsung kulo jak tumbas sepedah geh an. Kersane podo (kalau memberi kepada anak harus sama. Karena kamu nantinya akan menjadi orang tua. Bisa dijadikan pelajaran. Bagaimana caranya bisa adil terhadap anak. Kalau salah satu anaknya dibelikan motor, ya semuanya juga harus dibelikan motor. Kalau tidak, ya semuanya juga tidak. Kalau saya, anak lelaki saya semuanya kalau sudah di rumah setelah mondok meskipun belum menikah, saya belikan motor semuanya. Kalau yang perempuan, setelah menikah langsung saya ajak ke dealer untuk beli motor juga. Agar sama)”.

Baca Juga:  Menjaga Empat Bakti sebagai Pintu Surga

Tak hanya motor, bahkan rumah pun bapak saya selalu berusaha adil kepada anak-anaknya. Mulai dari ukurannya dibuat semirip mungkin, juga bahan dan aksesorinya pun dibuat setara. Meskipun sampai saat ini belum semua dibuatkan rumah, karena memang bergantian dalam membangunnya, namun sampai saat ini saya sangat merasakan bagaimana beliau selalu berusaha keras untuk selalu adil dalam setiap keputusan dan pemberian.

Pada akhirnya, saya menulis banyak hal tentang bakti anak dan kebaikan orang tua menata ini, bukan sebagai satu-satunya cara. Namun sebagai pengingat diri, dan juga pembelajaran bersama. Mungkin masih banyak sekali cara lain dalam berbakti. Juga masih banyak jalan lain dalam menata agar anak bisa berbakti.

Semoga kita bisa berbakti dengan sepenuh hati, karena ukuran bakti bukanlah materi. Dan semoga kita bisa menjadi orang tua baik, yang kelak diberikan anak yang tak kalah baik. Karena anak, kelak menjadi pohon yang tumbuh sesuai dengan benih yang kita tanamkan sebagai orang tua. []

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah