Di tempat lain, di kompleks pesantren Tebuireng, Jombang, ketika matahari merekah cerah, dan tetes-tetes embun di atas daun satu-satu menghilang, tampak para bikhu (bhiksu) dan bhikuni dengan pakaian khas mereka, kuning kunyit tua, bersimpuh di depan tanah liat tempat Gus Dur dibaringkan dan diistirahatkan, sambil menunduk dan menggumamkan do’a-do’a dan puja-puji kudus. Saya dan mungkin kita, tak pernah menyaksikan pemandangan indah dan mengharukan seperti ini di manapun di negeri ini.
Kini lihatlah, bendera merah putih setengah tiang berkibar-kibar selama tujuh hari, seakan memberi hormat pada Gus Dur. Dalam waktu yang sama para pemimpin bangsa dari berbagai belahan dunia segera menyampaikan belasungkawa, terima kasih dan harapan-harapan besar agar cita-cita Gus Dur diteruskan oleh siapa saja yang masih hidup. Mereka merasa sangat kehilangan seorang negarawan besar sekaligus seorang ulama, seperti Umar bin Abdul Aziz.
Do’a-do’a, wirid-wirid, zikir-zikir dan mantra-mantra mereka bergemuruh berhari-hari memenuhi ruang maya, menembus langit demi langit biru bening sampai ujung tanpa batas. Bukan hanya Yusuf Kalla, mantan wakil Presiden, atau beberapa tokoh masyarakat, tapi juga beribu-ribu orang, yang bersaksi bahwa: “Sepanjang sejarah bangsa ini tak ada orang yang kematiannya diantarkan dengan kehormatan yang penuh dan dido’akan oleh orang dengan beragam identitas dan keyakinan keagamaan serta dalam jumlah yang begitu masif, kolosal, kecuali beliau: Abdurrahman Wahid, Gus Dur”.
Bagaimana kita bisa memahami fenomena kepulangan Gus Dur seperti itu? Suara-suara apakah gerangan yang membisikkan ke telinga dan menggerakkan hati nurani beribu bahkan berjuta orang untuk mengantar kepulangannya dan berziarah di pusaranya yang bersahaja itu?. Siapakah gerangan yang merasuk dan menyentuh relung hati beribu orang termasuk para Pendeta, Romo, Kardinal, Bhiku-Bhikuni, para pengikut Buddha, penganut Kong Hu Cu, Ahmadi, Bahai, para pengamal dan penghayat kebatinan-kepercayaan dan lain-lain, sehingga mereka menangisi kepulangan Gus Dur?. Akal manakah yang sanggup menjelaskan fenomena kepiluan, kerinduan dan mabuk kepayang seperti fenomena kepiluan terhadap orang besar yang satu ini?. Tak ada jawaban rasional dan logis. Ia mungkin hanya bisa dijelaskan oleh para bijak-bestari, para sufi dan orang-orang yang hatinya bening dan memancarkan cahaya Ketuhanan. []
[…] perkembangan politik dan pemikiran politik saat era Reformasi berlangsung, terutama mengulas kiprah Gus Dur dalam lansekap yang luas, baik ingkup nasional maupun […]