Coba Perhatikan, Putraku (Kisah Nabi dengan Anak yang Masih Kecil)

Empat belas bulan setelah Rasulullah –shallalLahu ‘alaihi wasallam- menetap di Madinah, cahaya suka cita menghiasi langit kota yang banyak ditumbuhi pohon kurma itu. Pasalnya, lahir bayi pertama dari kalangan penduduk asli Madinah, komunitas Anshar semenjak Rasulullah –shallalLahu ‘alaihi wasallam- tinggal di sana. Cahaya suka cita itu juga nampak memenuhi relung hati dan terpancar jelas dari raut wajah penduduknya.

Yang sangat berbahagia waktu itu tentunya pasangan Basyir dan ‘Umrah yang hidup di tengah pemukiman suku Khazraj. Pasangan tersebut memberi nama bayinya dengan sebutan al-Nu’man. Sudah barang tentu Nabi –shallalLahu ‘alaihi wasallam- juga turut gembira dengan kelahiran bayi tersebut, karena kepada anak-anak kecil seperti al-Nu’man lah ajaran mulia Islam nantinya diajarkan dan diwariskan.

Kegembiraan pada diri Nabi ini mungkin serupa dengan yang beliau ekspresikan delapan bulan sebelumnya, ketika pasangan al-Zubair dan Asma’ melahirkan ‘Abdullah (Ibn al-Zubair) yang merupakan bayi pertama yang lahir dari kalangan Muhajirin. Melalui anak-anak yang masih kecil inilah, nantinya keindahan ajaran Islam akan tertanam, terpancar dan menyebar ke berbagai negeri.

Saat al-Nu’man ibn Basyir lahir, usia Rasulullah sudah lumayan sepuh, lima puluh empat tahun. Dan di saat Rasulullah wafat di usia enam puluh tiga tahun, umur al-Nu’man masih sangat muda, baru delapan tahun. Jarak usia yang sangat jauh, al-Nu’man masih sangat kecil, sedangkan Rasulullah –shallalLahu ‘alaihi wasallam- sudah lanjut.

Semasa hidup di Madinah, Rasulullah –shallalLahu ‘alaihi wasallam- meskipun usianya sudah melewati lima puluh tiga tahun, namun beliau terkenal sangat dekat dan akrab dengan anak-anak kecil. Lisan mulia beliau tidak berat untuk menyapa dan menasehati anak-anak usia belasan tahun seperti Anas ibn Malik, ‘Abdullah Ibn ‘Umar, dan Zaid Ibn Tsabit. Bahkan dengan anak-anak yang umurnya belum mencapai sepuluh tahun pun – seperti ‘Abdullah ibn Zubair dan ‘Abdullah Ibn ‘Abbas- Rasulullah –shallalLahu ‘alaihi wasallam- begitu dekat. Termasuk dengan al-Nu’man ibn Basyir yang kebersamaannya dengan Nabi hanya sampai umur delapan tahun-an. Usia yang –bagi kita mungkin- masih dianggap sangat kecil sekali. (Kurang lebih seusia anak kelas tiga MI/SD)

Baca Juga:  Empat Khalifah Rasulullah Saw

Tidak seperti ‘Abdullah Ibn al-Zubair dan ‘Abdullah Ibn ‘Abbas yang masih ada hubungan kerabat dengan Nabi dan sering tinggal dan bermain di rumah Nabi, al-Nu’man bukanlah keluarga dekat Rasulullah –shallalLahu ‘alaihi wasallam-. Meski demikian hubungan Nabi dengan sahabat kecil bernama al-Nu’man ini sungguh sangat dekat sekali.

Kedekatan ini terlihat dalam kisahnya sewaktu kecil –saat usianya belum melewati sembilan tahun-. Dia diajak bicara oleh Nabi dengan kedekatan yang sangat istimewa,

تَرَى الْمُؤْمِنِينَ فِي تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَالْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“(Hai putraku al-Nu’man), coba kamu perhatikan kasih sayang, kecintaan, dan saling tolong menolong di antara orang-orang yang beriman (di Madinah ini), nampak laksana satu tubuh, jika ada salah satu anggotanya yang mengeluh sakit, maka anggota tubuh lainnya turut berempati dengan tidak bisa tidur dan merasa demam”.*

Nabi menyapa sahabat kecil itu dengan ucapan ترى (Coba kamu lihat/coba kamu perhatikan putraku). Bisa kita bayangkan betapa indahnya hubungan sahabat kecil itu dengan tokoh yang ia cintai. Nabi yang sudah berusia lanjut berkenan mendekati sahabat kecil yang bukan keluarganya itu, lalu menanamkan nilai-nilai mulia; Hai putraku lihatlah bapak-bapakmu di Madinah ini, tirulah mereka yang saling mengasihi, rukun, damai, penuh empati dan mempunyai semangat solidaritas dan bahu membahu yang tinggi.

Sungguh sangat indah, Nabi mencontohkan bagaimana mendidik anak-anak kecil –meski bukan keluarga sendiri- melalui sapaan dan pengamatan langsung terhadap fenomena positif di tengah masyarakat yang nyata. Penuh perhatian dan penuh kedekatan.

___
* Hadis ini diperoleh langsung oleh al-Nu’man Ibn Basyir dari Rasulullah –shallalLahu ‘alaihi wasallam-. Dalam Musnad Ahmad disebutkan al- Nu’man Ibn Basyir berkata “sami’tu al-Nabiyya” saya mendengar langsung dari Nabi, sehingga riwayat ini tidak termasuk “mursal shahabiy’. Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh banyak ‘Aimmah al-Hadis yang lain, namun uniknya yang secara eksplisit menggunakan redaksi ترى yang berarti “kamu lihat/kamu perhatikan” hanya dijumpai (penulis) di Shahih al-Bukhari. Satu kata yang memberi gambaran indahnya kedekatan Nabi dengan sahabat yang masih sangat belia.

Arif Chasanul Muna
Dosen IAIN Pekalongan, Jawa Tengah, Alumni Madrasah TBS Kudus dan Al Azhar University Mesir.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Kisah