Islam di antara kapitalisme dan Komunisme

Komunisme adalah bagian dari Marxisme yang muncul sebagai respon terhadap modernitas yang melahirkan kapitalisme. Kapitalisme sendiri “meyakini” bahwa masyarakat dapat ditransformasikan menjadi lebih baik dengan spirit “individualisme”. Terutama dengan mendorong kemajuan dalam tatanan organisasi sosial yang menerapkan pengetahuan prosedural manusia (kebebasan individual). Sementara Marxisme meyakini bahwa potensi pencapaian dan kebebasan individu tidak terlepas dari struktur organisasi sosial yang berkembang di masyarakat. Terutama terkait dengan sistem produksi yang berjalan di masyarakat. Dimana sistem tersebut harus terbebas dari sistem produksi berbasis klas yang selama ini dipraktekkan dan menjadi ciri khas kapitalisme. Dari sinilah muncul doktrin “komunisme”, jika sebuah revolusi ingin berhasil maka “hancurkan” kapitalisme, yang menurut mereka menjadi sumber “ketidakadilan”.

Perlu disadari bahwa “kapitalisme” memang lahir sebagai konsekwensi dari berkembangnya “rasionalisme”. Sebuah “isme” atau ajaran yang meyakini bahwa kemajuan peradaban manusia bergantung pada dikembangkannya “kebebasan” individual dalam memanfaatkan nalar “rasional”-nya. Konsep ini kemudian meluas sampai pada lahirnya prinsip “kepemilikan” individu, terhadap aset-aset strategis baik yang berupa sumberdaya alam atau yang merepresentasikan sumber daya manusia, seperti hasil pemikiran atau ide. Semua itu dibuktikan dengan “sertifikat” kepemilikan berupa hak milik, hak pengelolaan, sampai hak cipta terhadap karya intelektual. Padahal sumberdaya alam yang dikuasai tersebut seringkali tidak dimanfaatkan secara arif dan bijaksana untuk kepentingan bersama. Alih-alih dikelola dengan baik, sumberdaya alam tersebut seringkali dijadikan aset investasi jangka panjang untuk kepentingan pribadi dan oligarki. Demikian pula dengan hak paten terhadap sebuah hasil karya intelektual, yang sebenarnya dibangun oleh sistem yang melibatkan banyak pihak di masyarakat. Tetapi anehnya ketika sudah “berpotensi ekonomis” malah dijadikan seolah itu adalah karya personal. Prinsip modernitas memang lebih apresiatif dan memberi ruang kepada “kesuksesan” personal ketimbang “kesuksesan” kolektif. Hal inilah, yang menurut Karl Marx menjadi sumber ketimpangan atau ketidakadilan di semua lini kehidupan manusia. Karena itulah perlu sebuah gerakan “Revolusi” di semua sektor kehidupan baik pada masyarakat industri ataupun pada masyarakat agraris.

Baca Juga:  Post Tradisionalisme Islam: Suatu Diskursus Kaum Intelektual Muda NU

Berkembangnya industri yang dimodali oleh orang kaya dengan mempekerjakan orang miskin sebagai buruh. Adalah representasi dari ketidakadilan kapitalisme yang harus dihancurkan. Kepemilikan industri harus diberikan kepada buruh sebagai orang yang “menciptakan” atau “memproduksi” komoditas barang ataupun jasa. Karena itu kepemilikan alat produksi harus diberikan sepenuhnya kepada buruh. Buruh adalah pemilik perusahaan yang sesungguhnya, pemodal atau pemegang saham adalah “penjajah” kaum buruh yang sengaja mengeksploitasi tenaganya untuk mendapatkan keuntungan yang kemudian dimiliki sepenuhnya secara pribadi oleh pemodal. Buruh hanya mendapatkan upah minimum yang tidak sebanding dengan nilai lebih dari produk hasil kerja mereka. Sistem industri kapitalis yang tidak adil inilah yang harus dirombak menjadi sistem industri “rakyat” tanpa ada pembedaan antara klas buruh dan pengusaha.

Sementara itu dalam sistem modern masyarakat agraris, dimana tanah sebagai alat produksi dikuasai oleh “perorangan”. Juga dianggap sebuah “ketidakadilan” oleh para pengikut faham “komunisme”. Karena itu harus ada revolusi perundangan pertanahan atau dalam kasus di Indonesia kita kenal dengan gerakan “land reform“. Dimana tanah harus dibagi rata untuk rakyat. Tidak boleh ada kepemilikan tanah yang berlebihan yang berpotensi melahirkan ketidakadilan sosial di masyarakat. Dimana para buruh tani akan dieksploitasi oleh para tuan tanah yang memiliki lahan luas. Secara kebetulan para pemilik tanah di desa-adalah adalah kaum bangsawan dan juga sebagian adalah Agamawan. Termasuk di dalamnya adalah para kiai pemilik pesantren atau lembaga pendidikan keagamaan. Sebab itu dalam peristiwa pemberontakan “komunis” yang terjadi di Indonesia, para kiai atau ulama ikut menjadi sasaran atau korban. Karena para kiai tersebut disamakan sebagai kaum “Kaber” atau “kapitalis besar” yang harus “ditumpas” dalam gerakan revolusi untuk mewujudkan masyarakat tanpa klas. Karena dalam pandangan “komunisme” semua bentuk organisasi sosial mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks seperti negara, harus merepresentasikan nilai atau spirit “masyarakat tanpa klas”, agar bisa tercipta sebuah keadilan sosial yang seutuhnya.

Baca Juga:  Merangkul Harmoni dalam Keadilan dan Kemanusiaan: Perspektif Islam tentang Hak Asasi Manusia

Ajaran Islam sebenarnya mengandung dua nilai yang memiliki kemiripan dengan “keyakinan” kapitalisme dan juga “Komunisme”. Karena ajaran Islam di satu sisi “secara resmi” memberikan ruang yang cukup besar untuk mengembangkan potensi kepemilikan individual. Namun di sisi yang lain “secara resmi” pula ajaran Islam membatasi hak kepemilikan individual tersebut dengan “aturan” yang sangat ketat. Karena jika melanggar maka “negara” bisa mengambil secara paksa “hak sosial” yang melekat pada nilai lebih dari “harta” atau sumber daya ekonomi yang dikuasai seseorang tersebut. Kita bisa mendapati ajaran ini dalam kitab-kitab fikih ataupun kitab sejarah, yang menceritakan bagaimana “Abu Bakar” sebagai penerus Nabi sebagai pemimpin umat (paska Rasulullah wafat), menghukum dan mengambil paksa “zakat” yang harusnya disetorkan oleh para orang kaya pada zaman itu kepada Baitul mal atau negara. Sehingga negara dapat memanfaatkan “harta sitaan” tersebut menjamin “kelayakan” hidup orang-orang miskin agar tidak menimbulkan kecemburuan sosial yang berlebihan. Begitulah, ajaran Islam ternyata sejak awal (sebelum lahirnya kapitalisme dan komunisme), sudah berusaha memberikan ruang yang cukup bagi manusia sebagai pribadi yang otonom untuk memiliki sepenuhnya apa yang memang menjadi haknya. Tetapi di sisi lain kepemilikan pribadi tersebut haruslah diimbangi dengan kesadaran penuh akan “kewajiban” untuk berbagi kekayaannya lewat zakat, sedekah, infak, hak waris dan juga mekanisme wakaf dan hibah yang bisa dilakukan untuk menciptakan harapan akan tetap adanya rasa “Keadilan” bagi dalam setiap diri manusia. #SeriPaijo. [HW]

Muhammad Khodafi
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    menjadi guru
    Hikmah

    Menjadi Guru

    Beberapa hari yang lalu saya menghadiri undangan dari madrasah formal Al munawaroh, yang ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini