Penyebaran tarekat Sayyiduna Abu Bakar, setelah dari Bistham-Khurasan menyebar ke Harqon. Nama murid yang menyebarkan adalah Abul Hasan al-Harqoni, kadang ditulis dengan nama Ali bin Ja’far al-Harqoni dan kadang ada yang menulis `Ali bin Ahmad bin Ja’far al-Harqoni. Wilayah Harqoni disebut N Hanif dalam Bhiografical Encyclopaedia of Sufis Central Asia & Middle East (2002: 234) begini: “The nisba refers to the village of Kharakan situated in the mountains to the north of Bistam on the road to Astarabad (modern Gurgan).”
Abul Hasan al-Harqoni dilahirkan pada tahun 352 H. (963 M.) di Harqoni. Angka tahun lahirnya ini terpaut agak jauh dengan tahun kewafatan mahaguru Abu Yazid al-Bisthami, pada tahun 264 H. (877 M.), sekitar 86 tahun. Karena itu, penurunan tarekat Abu Yazid kepada Abul Hasan al-Harqoni, dipercayai melalui barzakhi, suatu yang biasa terjadi dilakukan sebagian guru besar sufi. Muhammad Ahmad Darniqah dalam ath-Thariqah an-Naqsyabandiyah wa A’lamuha menyebut namanya dengan Ali bin Ja’far al-Harqoni, dan sebagian penulis sufi menukil keramat-kemaratnya yang cukup banyak.
Abdurrahman Jami dalam Nafahat al-Uns, memasukkan Imam Abul Hasan al-Harqoni, termasuk imam sufi melalui jalan Uwaisy pada awal memasuki tasawuf. Jami mengatakan: “Memang pada permulaan iradah mereka, kebanyakan para mahaguru sufi mengalami maqom ini (maqom dibimbing melalui jalan Uwaisyi (melalui pertemuan ruhani). Syeh Abul Qasim al-Jurjani ath-Thusi, semoga Alloh mensucikan ruhnya, misalnya (mengalami maqom ini). Silsilah besar Abul Janab Syeh Najmudin (al-Kubra), terhubung tiga perantara dengan Abul Qasim ini. Begitu juga Syeh Abul Hasan al-Harqoni, dan Syeh Abu Said bin Abil Khair. Pada permulaan keadaan mereka, keduanya semuanya menyebut: “Uwaisy-uwaisy.”
Muhammad Ahmad Darniqah menyebutkan cerita kekeramatan Abul Hasan al-Harqoni begini:
“Para guru Naqsyabandiyah menyebutkan bahwa Sultan Mahmud al-Ghazi Ibnu Sabaktakin mengunjungi syeh suatu kali, dan bertanya pendapatnya tentang Abu Yazid al-Busthami?” Syeh Abul Hasan kemudian menjawab: “Sesungguhnya siapa yang mengikuti Abu Yazid, dia akan mendapat petunjuk, dan barangsiapa yang bersambung dengannya, dia akan memperoleh kebahagiaan yang agung.”
“Sultan Mahmud kemudian berkata: “Bagaimana mungkin itu terjadi, padahal Abu Jahal telah melihat Nabi, dan dia tidak bersih dari syaqawah (bersedih)?” Syeh Abul Hasan al-Harqoni menjawab: “Sesungguhnya Abu Jahal melihat Rosulullah shollallohu `alaihi wasallam, tetapi dia hanya melihat Nabi Muhammad sebagai anaknya `Abdullah. Seandainya dia melihat (pada sisi) Rosullulah, sungguh akan keluar kesedihan menuju kebahagiaan, dan hal itu dibenarkan oleh ayat Al-Qur’an (QS. Al-A’raf [7]: 198): “Jika kamu menyeru berhala-berhala itu untuk memberi petunjuk, niscaya berhala-berhala itu tidak dapat mendengarnya, dan kamu melihat berhala-berhala itu memandangmu padahal dia tidak bisa melihat.” Penglihatan dengan mata kepala tidak dapat mendatangkan sa`adah, sebaliknya kebahagiaan dapat diraih dengan mata hati dan sirr.”
Di antara beberapa perkataan dan nasehat Abul Hasan al-Harqoni, yang dikutip Muhammad Ahmad Darniqah dalam ath-Thariqah an-Naqsyabandiyah wa A’lamuha, yaitu:
“Aku bukanlah rahib, aku bukan ahli kalam, aku bukan shufi. Wahai Robb, engkau Wahid, dan aku berada dalam ahadiyah-Mu yang Wahid.”
“Sesungguhnya Alloh menyukai para bakka’un (orang yang suka menangis karena Alloh).”
“Ulama dan para ahli ibadah di dunia ini banyak, tetapi tidak akan memberi faedah kepadamu, kecuali engkau pada waktu pagi sampai sore sibuk mencari ridha Alloh, dan dari sore sampai pagi engkau beramal untuk dapat menerima-Nya (menerima ketentuan-Nya).”
Selain disebut Muhammad Ahmad Darniqah dalam ath-Thariqah an-Naqsyabandiyah wa A’lamuha, biografinya juga ditulis N. Hanif dalam Bhiografical Encyclopaedia of Sufis Central Asia & Middle East (2002: 234); dan dalam bahasa urdu berjudul Tazkiratul Qutub-e-Alam Hazrat Khawajah Abul Hasan Kharqani (Muhammad Nashir Ranjha, 2005). Di antara karyanya dihimpun dalam Nurul Ulum min Kalami Syekh Abil Hasan al-Karaqani (dalam bahasa Persia).
Meski N. Hanif tidak menyebut angka tahun lahir tokoh ini, tetapi menyebut Abul Hasan al-Harqoni wafat pada tahun 425 H. (1033) di Harqon pada umur 73. Sementara kalau memakai rujukan tahun lahirnya di atas, dan tahun wafat yang disebut N Hanif ini, umurnya kira-kira 70 tahun. Setelah Khawaja Abu Hasan al-Harqoni wafat, tarekat Sayyiduna Abu Bakar melalaui Abu Yazid al-Busthami dilanjutkan murid-muridnya, dan yang terkenal sampai bertahan pada silsilah Naqsyabandiyah adalah Khawaja Abu Ali al-Farmadzi (w. 477 M./1084 M.), seorang faqih dan salah seorang pembesar Syafi`iyah. [HW].
[…] tahun lahirnya Abu Ali al-Farmadzi ini, bila dibandingkan dengan tahun wafatnya sang guru, Syeh Abul Hasan al-Harqoni pada tahun 425 H. (1033 M.), tampak semasa, terpaut sekitar 19 tahun. Karenanya bila catatan angka […]