istri shalihah dan suami shalih (6)

Disinilah, ketika kita berbicara tentang istri yang shalihah, seharusnya juga diimbangi dengan bicara tentang suami yang shalih, suami yang baik.

Untuk keperluan ini pertama-tama kita perlu merenungkan sabda Nabi SAW:

خَيْركُمْ خَيْرُكُمْ لِاَهْلِهِ وَاَنَا خَيْرُكُمْ لِاَهْلِى

Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik kepada keluargamu (istrimu), dan aku adalah orang yang paling baik kepada keluargaku (istriku)”.

Katanya lagi :

اِنَّ مِنْ أَكْمَلِ المُؤْمِنِينَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً وَأَلْطَفُهُمْ بِأَهْلِهِ

Orang mukmin yang sempurna imannya adalah yang terbaik budi pekertinya dan yang paling sayang kepada keluarganya (istrinya).

Pada saat yang lain Nabi mengatakan, semacam menyindir atau mengkritik:

مَا أَكْرَمَ النِّسَاءَ إِلاَّ كَرِيْمٌ ، وَمَا أَهَانَهُنَّ إِلاَّ لَئِيْمٌ

Tidak menghormati perempuan kecuali laki-laki terhormat. Tidak merendahkan/menghina perempuan kecuali laki-laki yang rendah/hina“.

Pernyataan Nabi itu sejalan dengan Al-Qur’an yang dengan sangat bijak mengatakan bahwa hubungan suami dan istri harus dibangun dengan cara Muasyarah bi al-maruf, bergaul dan bekerja sama dengan baik dalam relasi kesalingan. Maka suami yang saleh adalah manakala dia dapat menyenangkan istrinya, seperti istri menyenangkannya, suami yang menjaganya sebagaimana istri menjaganya, suami yang membantunya manakala istri membutuhkan bantuannya, suami yang sabar atas kekurangan istrinya.

Menarik sekali pandangan Ibnu Abbas ketika dia mengatakan ;

احب ان اتزين لنساء ى كما احب ان تتزين لى

Aku ingin tampil menarik untuk istriku sebagaimana aku senang jika dia tampil menarik untukku.”

Sebuah puisi indah disampaikan Thahir al-Haddad :

Perempuan adalah separuh jiwa bangsa dan umat manusia dengan potensinya yang besar dalam seluruh aspek kehidupan.

Bila kita merendahkannya dan membiarkannya menjadi hina dina, maka itu adalah bentuk perendahan dan penghinaan kita atas diri kita sendiri dan kita rela dengan kehinadinaan kita.

Baca Juga:  Dari Sosokmu Ku Belajar

Bila kita mencintai dan menghormati dia serta bekerja untuk menyempurnakan eksistensinya, maka sesungguhnya itu adalah bentuk cinta, penghormatan dan usaha kita menyempurnakan eksistensi kita sendiri.

Beberapa hari sebelum wafatnya, Nabi menyempatkan diri untuk menyampaikan wasiat kepada orang-orang (para suami).

اِتَّقُوا اللهَ فِى النِّسَآء فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانَةِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ

“Bertakwalah kepada Allah dalam hal berhubungan istrimu, karena kamu telah mengambilnya (sebagai istri) atas dasar kepercayaan Allah kepadamu, dan kalian dihalalkan berhubungan intim dengannya atas Nama Allah.

Dalam hadis lain disebutkan :

استَوصوا بالنِّساءِ خيرًا فإنَّهنَّ عندَكُم عَوانٍ ليسَ تملِكونَ منهنَّ شيئًا غيرَ ذلِكَ

Aku pesan kepada kalian hendaklah kalian memperlakukan istri-istri kalian dengan baik. Karena mereka (dalam sistem sosial kalian) dipandang bagaikan tawanan. Sesungguhnya kalian (para suami), tidak berhak memperlakukan mereka kecuali dengan baik“.

Bersambung lagi, bersambung lagi, ya. [HW]

Husein Muhammad
Dr (HC) Kajian Tafsir Gender dari UIN Walisongo Semarang, Pengasuh PP Darut Tauhid Arjowinangun Cirebon, Pendiri Yayasan Fahmina Institute

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini