kebebasan dan sikap kita

Bila diumpamakan dengan sebuah sungai yang berawal dari pinggang bukit, kemanakah aliran akan bermuara? Di tempat luas, yang lentur menerima semua? Atau berhenti pada tempat sempit yang dibelok-belokkan oleh bendungan demi klausul-klausul tertentu dari sebagian pihak.

Mirip dengan sungai, pertanyaan demikian layak kita utararakan terhadap kehidupan saat ini. Ke manakah arah hidup akan menuju? Apakah ia hendak bermuara di tempat yang lebih baik, atau apakah ia malah dipermainkan oleh sebagian yang lain dengan kepentingan tertentu?

Kehidupan yang terus maju; serupa sungai yang senantiasa bergerak. Sebagian cemas sebab kehidupan berjalan ke arah kerusakan, kecarut-marutan, dan suasana penuh-sesak terhadap berbagai hal yang menyelimutinya. Kondisi itu terlihat dari kecamuk media masa yang mestinya berperan sebagai piranti informasi, namun justru digunakan sebagai alat saling hujat dan menebar benci sekehendak diri.

Kecemasan tak cuma milik mereka; sesepuh di desa adalah salah satu wajah terluar yang bersikap sama. Mereka biasanya mengeluh, merindukan masa lalunya, bahkan mengutuk zaman dijalani saat ini, karena tidak selaras dengan kehidupannya yang dulu.

Saya kerap mendengar “Enakan dulu, Mas. Jalan halus semua, dan tidak ada keributan terjadi seperti di televisi”. Tanpa membantah—meskipun saya bukan seangkatan mereka yang merasakan hidup di zamannya, dan tentunya saya tidak setuju—saya cuma tersenyum kecil sambil menahan argumen yang hendak bercucuran keluar—tak sopan mendebat orang tuan, batin saya.

Demikian itulah pretensi mereka. Namun ada golongan begitu optimis menyatakan bila hidup berjalan maju dengan serenteng prestasi yang digadang-gadang hendak terjadi di masa depan. Asumsi demikian bukan tanpa sebab, setidaknya dulu, ketika saya berumur sepuluh tahun, alat komunikasi masih didominasi produk Nokia lengkap dengan berbagai tipenya. Ia menjadi ‘Raja diraja’ yang mengangkangi produk sejenis di masanya, sebelum pada akhirnya diluluh-lantahkan oleh Samsung dan yang lain.

Baca Juga:  Berpikir Out Of The Box

Para ilmuwan—ilmu alam, mereka optimis kehidupan menuju tempat yang lebih baik. Kecanggihan teknologi telah mempermudah upaya-upaya penelitian yang menjadi aktivitas hariannya. Mereka tak bisa membayangkan hidup seperti Einstein atau Isaac Newton yang mengalami keletihan berlebih karena jaringan komunikasi tidak sekilat seperti sekarang. Selain mereka, yang juga memiliki sikap optimis ialah para ilmuwan sosial. Dengan kemajuan zaman, cabang keilmuan semakin beragam dan melahirkan ilmu-ilmu baru.

Sebagai misal, perekembangan zaman, banyak mengawinkan ilmu pengetahuan. ‘Filsafat’ yang menikah dengan ‘Pendidikan’ akan melahirkan Filsafat Pendidikan. Antropologi yang memilih pasangan hidup Sosial akan melahirkan keturunan bernama antropologi sosial. Dan lain; masih banyak lagi.

Saya lebih condong kepada hidup berjalan ke arah yang lebih baik, meskipun suatu apa pun yang bukan Tuhan akan rapuh, ringkih, dan pada akhirnya menguap sebagai ketiadaan—berpulang kepada tempatnya masing-masing. Pepohonan melapuk, tanah semakin usang menumbuhkan kehidupan, dan fisik kita turut akan renta. Begitu juga semesta.

Namun di luar kondisi alamiah tersebut, mutu kehidupan meningkat. Cara orang tua memperlakukan anak semakin beradab. Perempuan diberikan kebebasan untuk sekolah, bahkan sudah banyak yang menjadi profesor. Orang menghormati dan menolong orang lain tidak lagi atas bias agama, suku, ras, atau terbatas darah, namun atas bias ‘Kemanusiaan’ yang menjadi lanskap universal

Memang, kehidupan yang lebih baik tak serta-merta berbanding lurus dengan kebahagiaan seseorang. Di wilayah personal, kehidupan yang makin maju bisa membuat pecah kepala, melahirkan tekanan batin hebat. Manusia bisa hancur ketika apa-apa yang diinginkannya, sekarang dapat dengan mudah mendapatkannya.

Dulu, segalanya dibatasi. Perempuan akan mendapati sinisisme sosial ketika berpendidikan tinggi. Santri yang belajar ke Barat akan dicap sebagai kafir. Pertunjukkan ronggeng yang syarat sensualitas masih mafhum dijumpai, dan mabuk-mabukan atas nama pergaulan menjadi hal yang juga turut lumrah ditemui.

Baca Juga:  Menyoal Tentang HAM, Islam, Prinsip Keadilan dan Kebebasan Beragama

Kita dulu mempunya mimpi mulia. Di mana demokrasi dan kebebasan berpendapat menjadi intan berlian yang ditempuh dengan jalan reformasi. Era otoriter yang mengangkangi pikiran selama seperempat abad lebih, telah dilawan habis-habisan dan tumbang.

Saat ini kita sudah mendapatkannya. Kebebasan menyampaikan pendapat dan menyuarakan kritik terhadap pemerintah merupakan harta berharga—kendati pengendalian dengan cara soft power akhir-akhir ini terasa—yang tak bisa dianggap kecil. Di saat yang sama orang-orang merindukan memori masa lalu, masih berseliweran. Salah satunya ialah ‘Bajingan’, sebutan untuk sopir gerobak.

Satu ketika, saat saya diminta membantu salah seorang kerabat—usianya sepuluh tahun di atas saya, namun ia anak paman—yang berprofesi sopir gerobak tersebut, untuk menemaninya mengantar pasir di desa sebelah, ia dengan ringan serta tanpa beban nyeletuk “Enakan zaman dulu, bantuan mengalir dan hidup terjamin,” ucapnya ringan. “Hidup gak sumpek seperti sekarang” imbuhnya sambil mengayuhkan tambang, memerintah sapi agar berjalan lebih cepat.

Saat itu, saya bisa saja mendebatnya dengan membeberkan segenap kebobrokan masa lalu sambil lalu memaparkan fakta yang belum diketahuinya. Yang mungkin akan membuatnya tercengang ketika mendengarnya. Namun lagi-lagi saya memilih diam.

Memang saat ini banyak orang kelewat batas. Seorang yang memanfaatkan kebebasannya untuk mengkritik pemerintah, biasanya akan diserang habis-habisan oleh mereka yang pro pemerintah. Di saat yang sama, seorang yang pro akan diserang oleh seorang yang setuju dengan pengkritik tersebut. Mereka berbalasan. Siklusnya selalu demikian. Dan korbannya adalah kalangan akar rumput yang menginginkan hidup tak berisik seperti mereka. Sehingga dalam banyak kesempatan merindukan masa-masa di mana keberisikan itu cuma suara jangkrik di petang dan malam hari adalah perbuatan utopia yang menenangkan.

Baca Juga:  Imam Syafi'i Memberikan Kebebasan Berpikir Kepada Santrinya

Menyaksikan hal tersebut memang begitu menyedihkan. Kebebasan tak lantas dijalankan dengan baik. Cita-cita yang selama ini diperjuangkan dengan mengorbankan nyawa, lantas harus dijalani dengan cara bertaruh nyawa pula. Kita tak cukup dewasa untuk memakai kebebasan.

Kita mesti belajar tentang kebebasan. Tak cuma serta-merta berdiri, menari, dan bersorak-sorai di ruang bernama kebebasan. Sebab, bila kita tak mau belajar tentang kebebasan, hal yang akan kita rasakan justru lingkaran setan yang menakutkan.

Dengan mempelajari kebebasan, kita akan tahu untuk siapa kalimat itu disematkan. Tentu langkah bodoh bila kita memberikan kebebasan kepada bocah kecil, tidak juga kepada sipanse atau primata, pun tidak kepada ular atau singa. Jika diperluas, kita tidak bisa memberikan kebebasan kepada seorang dewasa yang pikirannya balita.

Saya pikir, hanya orang-orang berpengetahuan dan memiliki rasa hormat kepada dirinya sendiri yang akan bersikap bijak terhadap kebebasan. Dan hanya orang yang sama lah yang mampu bersikap respek terhadap orang lain, hormat kepada sesamanya. Orang-orang yang berpengetahuan, memiliki rasa hormat kepada dirinya, serta mampu respek kepada sesamanya adalah orang-orang yang akan membuat hidup lebih baik. [HW]

Teni Maarif
Mahasiswa UIN Raden Intan jurusan Pendidikan Agama Islam semester 7 sekaligus Mu’allim (Pengurus Ma’had Al-Jami’ah UIN Raden Intan)

Rekomendasi

memaknai pancasila
Opini

Memaknai Pancasila

Di tiap momentum peringatan lahirnya Pancasila, kita tergugah untuk mengingat kembali makna Pancasila; ...

Tinggalkan Komentar

More in Opini