Filsafat memang masih terkenal wingit di jagat Nusantara ini. Belum lagi mahasiswa-mahasantrinya yang terkesan rumit dan sukar dipahami, baik pemikiran maupun manusianya. Namun demikian, bukan berarti spirit membumikan filsafat harus berhenti dan mati, sebab memperjuangkan filsafat adalah memperjuangkan kewarasan manusia. Jika para Nabi memperoleh pencerahan dari langit (top down), maka para filosof mendapati pencerahan itu dari akal budinya (buttom up).
Manusia adalah hewan yang berpikir (hayawan an-Nathiq). Sehingga, jika sisi an-Nathiq dari manusia sudah tidak ada atau minimal tidak digunakan, maka yang tersisa hanyalah sisi hayawan. Lantas apa bedanya dengan kambing? Nah, dari titik inilah para filosof, ilmuwan, resi, begawan, dan Kiai memperjuangkan nilai-nilai filsafat, agar manusia menjadi manusia.
Dalam konteks Indonesia, filsafat acap kali dianggap sebagai perusak akidah dan keimanan umat beragama. Agaknya, karena alasan inilah filsafat dipandang kurang bersahabat. Sehingga perlu adanya pendekatan baru dalam memahami filsafat, terutama bagi kalangan agamawan.
Spirit inilah yang dibawa oleh Syaikh Nadim al-Jisr, mantan Mufti Tripoli (Tarabuls), ketika menulis buku Qishshah al-Iman Bain al-Falsafah wa al-‘Ilmi wa al-Qur’an. Ia ingin membuktikan bahwa filsafat metafisika tidak bertentangan dengan agama dan atau Al-Qur’an; manusia akan dituntun mengenal Tuhan secara mendalam sehingga memiliki keyakinan yang mantap, sebagaimana dikatakan oleh Francis Bacon “Jika sedikit (memasuki) filsafat akan menjauhkan diri dari Tuhan, maka dengan banyak (memasuki) filsafat semakin mengembalikan diri kepada Tuhan.”
Bagaimana pernyataan ini dibenarkan? Setiap filosof sejatinya menghasrati kebenaran. Tidak tanggung-tanggung, yang dihasrati adalah kebenaran absolut (al-Haq).
Pembahasan para filosof tidak pernah keluar dari persoalan ontologi dan epistemologi. Sejak awal kemunculan tradisi filsafat, para filosof mulai meragukan dan bahkan murtad dari keyakinan kepada dewa-dewa dan mulai mencari asas atau prinsip alam semesta (arkhe); meragukan yang fisik dan beralih kepada yang metafisik. Rasio mereka tidak dapat mempercayai bahwa alam semesta ini adalah ciptaan dewa-dewa yang rakus, pemabuk, pendusta, penipu, dan cabul.
Pendek kata, pembahasan filsafat, tanpa disadari sejatinya adalah pembahasan pencarian Tuhan yang sesungguhnya; Tuhan yang tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Nya. Kita bisa membayangkan betapa “canggihnya” akal mereka yang mampu berpikir rasional di tengah-tengah ninabobo mitos-mitos saat itu. Dan bahkan sebagian besar pemikiran mereka masih relevan saat ini, padahal kita tahu bahwa di zaman itu belum ada teknologi secanggih hari ini.
Dimulai dari Thales (±640-546 SM), filosof pertama dalam sejarah filsafat Barat. Ia tidak percaya bahwa alam ini tercipta dari ketiadaan mutlak (creatio ex nihilo), maka harus ada materi azali yang menjadi sebab timbulnya semua eksistensi. Materi yang azali tersebut adalah air, sebab basah manjadi syarat bagi adanya kehidupan.
Dilanjutkan oleh Anaximandros (± 611-547 SM), filsuf yang satu ini mengatakan bahwa asas utama dan terakhir dari semesta ini adalah sesuatu “yang tak terbatas” (to apeiron). Apeiron ini bersifat ilahi, abadi, dan tidak berubah-ubah sehingga menjadi prinsip paling fundamental alam semesta, hanya saja ia masih mengatakan bahwa “yang tak terbatas” itu bersifat materiel.
Kemudian ada Anaximenes (± 538-480 SM), sebagaimana filosof pendahulunya, pemikiran Anaximenes masih bercorak kosmosentris. Ia mengatakan bahwa alam ini berasal dari udara (kabut), bukan air ataupun materi yang tak terbatas.
Begitulah seterusnya perkembangan pemikiran manusia dalam upayanya pencarian hakikat sang Pencipta. Phytagoras (571-497 SM) dengan teori angkanya, Empedokles (495-435 SM) dengan teori empat unsurnya, Anaxagoras (500-428 SM) dengan teori benihnya, dan Demokritos (460-370 SM) dengan teori atomnya. Hingga datang filosof agung yang memberikan trobosan baru; pemikiran-pemikirannya masih banyak yang relevan hingga saat ini dan mengilhami para ilmuwan setelahnya. Mereka adalah Socrates (± 470-399 SM), Plato (±427-347 SM), dan Aristoteles (± 384-322 SM), yang dijuluki the miracle of greek, keajaiban dari Yunani.
Socrates adalah orang yang telah berjasa meletakkan dasar dan membangun filsafat pengetahuan (epistemologi). Karena jasanya lah epistemologi masih tetap menawan bagi akal budi. Tujuan filsafat Socrates tidak lain adalah meletakkan kaidah-kaidah pengetahuan di atas dasar rasio dan menguatkan dasar keutamaan pada hati orang banyak di atas landasan kebenaran yang tidak bisa diragukan lagi.
Socrates berpendapat bahwa pengetahuan yang hanya disandarkan pada persepsi indera semata adalah pengetahuan yang tidak rasional, sebab setiap manusia memiliki persepsi indera yang berbeda-beda, indera acap kali menipu dalam suasana dan keadaan tertentu. Dengan demikian, tanpa disadari Socrates telah merumuskan sebuah kerangka menuju metafisika, walaupun sebenarnya ia lebih banyak bicara tentang moralitas.
Meminjam kata Cicero (106-43 SM), Socrates adalah orang pertama yang memanggil filsafat agar “turun dari langit, agar berdiam di kota-kota tempat tinggal manusia dan bahkan masuk ke rumah-rumah mereka, lalu menarik filsafat untuk memperhatikan kehidupan dan moralitas, kebaikan dan kejahatan manusia.”
Ajaran Socrates kemudian diteruskan oleh murid setianya, Platon. Salah satu pemikirannya yang paling terkenal adalah tentang dunia Idea. Ia berpendapat bahwa sebagaimana gurunya, Socrates, universal bukanlah sesuatu yang bisa dicapai oleh indera, melainkan oleh akal semata. Akan tetapi, wujud dari makna universal itu ada di luar pikiran kita, yakni di dunia Idea. Dunia Idea ini bukanlah materi, melainkan pengertian yang abstrak. Unsur-unsur dan keberadaannya berasal dari dirinya sendiri, bukan dari sesuatu di luar dirinya. Dunia Idea menjadi dasar segala sesuatu, Ia tidak bersandar pada segala sesuatu, tetapi segala sesuatu bersandar padanya. Idea bersifat permanen, abadi, sempurna, dan tidak terikat oleh ruang dan waktu. Sedangkan apa yang kita lihat di dunia ini hanyalah tiruan (mimesis) dari dunia Idea tersebut.
Dengan demikian Plato hampir saja menghendaki perkara-perkara yang ada dalam Ilmu Tuhan, dan memang Ia percaya dengan eksistensi Tuhan. Tetapi sebagaimana para filosof sebelumnya ia tidak mampu membayangkan bagaimana makhluk tercipta dari ketiadaannya (creatio ex nihilo).
Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa semua makhluk tersusun dari materi dan bentuk (form).
Selanjutnya, yang tidak kalah penting adalah Aristoteles, murid dari Plato. Ia adalah filosof klasik terbesar yang percaya akan eksistensi Tuhan. Akan tetapi, ketika hendak memasuki rahasia penciptaan, ia tergelincir seperti para filosof lain. Ketika hendak menafsirkan proses kejadian alam, ia tergelincir pada problem pikiran kebendaan (materialistik) yang juga menguasai dan menipu akal kita dengan analogi yang biasa digunakan manusia.
Jelasnya, ia mengatakan segala sesuatu terjadi karena empat sebab, yaitu: (1) sebab material (la cause materielle) yakni materi yang membentuk sesuatu; (2) sebab bentuk (la cause formelle), yaitu bentuk yang memungkinkan materi itu menjadi sesuatu; (3) sebab pembuat (la cause efficiente), yakni yang membuat sesuatu dan memberikan bentuk padanya; dan (4) sebab tujuan (la cause finale), yaitu tujuan yang menyebabkan adanya alasan yang mendorong penciptaan sesuatu menurut keadaan tertentu.
Yang perlu digarisbawahi adalah, pengertian materi menurut Aristoteles berbeda dengan yang kita pahami dari kata materi itu sendiri. Materi menurut Aristoteles tidak lain hanyalah “gambaran” dari kemampuan menerima (receptivite). Praktis, materi adalah gambaran dari ketiadaan. Memang definisi ini seolah kontradiktif, tetapi begitulah kegelisahan Aristoteles yang berusaha keluar dari estimasi (wahm) pikirannya.
Selain teori empat sebab (causa) di atas, pemikiran Aristoteles yang paling penting dan sangat berpengaruh hingga saat ini adalah ilmu logika (manthiq). Jika kita mengenal istilah ‘aqoid seket atau akidah 50 (sifat wajib Allah 20, sifat mustahil Allah 20, sifat jaiz Nya 1, sifat wajib Rasul 4, sifat mustahilnya 4, dan sifat jaiz Rasul 1) yang dirumuskan oleh Imam-imam Ahlussunah Wal Jama’ah seperti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (873-935 M), Imam Abu al-Manshur al-Maturidi (w 944 M), dan Imam Abu Abdullah Muhammad as-Sanusi (1427-1490 M) maka kita dapat melihat betapa akidah Ahlussunnah ala Asy’ariyah dan Maturidiyah ‘berhutang budi’ pada logika yang dirumuskan oleh Aristoteles.
Well, tidak diragukan lagi bahwa yang dihasrati oleh para filosof dari kebenaran absolut itu sejatinya adalah Tuhan itu sendiri.