The more I live, the more I learn. The more I learn, the more I realize, the less I know.” -Michel Legrand

Anak yang dilahirkan dengan potensi unggul, seyogyanya pada saatnya dia bisa tampil unggul dan berkarya unggul. Namun pada kenyataannya tidak demikian. Karena ada beberapa anak berpotensi unggul yang pada akhirnya mereka tidak bisa tampil cemerlang dan gagal hidupnya. Sebagai wujud syukur terhadap karunia keberbakatan, baik orangtua, pendidik, para ahli maupun Pemerintah ikut bertanggung jawab membantu anak berbakat, sehingga mereka bisa berprestasi dan belajar sepanjang hidup.

Mengapa ada sejumlah anak berbakat tidak mampu tunjukkan keberbakatannya dan hidupnya tidak berhasil cemerlang? Setidak-tidaknya, bisa juga disebabkan oleh kekurangtahuan orang tua dan guru dalam memahami anaknya yang berbakat dan kekurangmampuan dalam mendampingi anak berbakat dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Ada lagi kemungkinan lain berupa kebijakan yang tidak mendukung layanan bagi anak berbakat yang berdampak secara masif.

Pada hakekatnya kita tidak bisa membiarkan anak berbakat, kita wajib berbuat sesuatu, walaupun belum bisa yang terbaik. Yang penting fokusnya, bagaimana kita bisa membantu anak berbakat tidak hanya belajar mendapat informasi dan ilmu lewat membaca, mendengar, atau meraba. Namun lebih jauh dari itu menjadikan anak bisa dan senang belajar sendiri sesuai dengan apa yang dia suka dan bisa melakukannya. Anak berbakat belajar bukan karena ditugasi dan disuruh saja, melainkan secara voluntair, anak bersifar proaktif melakukan kegiatan belajar kapanpun dan dimanapun dia menyukai.

Carol A. Strip, Ph.D (2000), memberikan beberapa tip cara membantu Anak Berbakat belajar. Pertama, Membuat kelas yang ideal. Bangunan kelas yang ideal, bukanlah kelas yang diisi dengan banyak ragam meja dan kursi serta papah bulletin saja. Melainkan juga ruang kelas itu merupakan tempat belajar dan meneliti dimana anak-anak diundang untuk berpartisipasi dengan spirit dan imaginasi.

Baca Juga:  Meneladani Gus Mus, Berbicara dan Berdakwah melalui Seni Lukis

Kedua, Membuka payung program sebagai konsekuensi Kurikulum diperluas. Anak berbakat disamping diberi materi Kurikulum seperti anak-anak pada umumnya, juga dimungkinkan materinya diperluas sebagai pengayaan, dengan muatan yang lebih banyak dan tinggi tantangannya. Dengan materi pembelajaran yang semakin luas dan menantang, menjadikan anak lebih antusias belajar dan luas wawasannya.

Ketiga, Membuat Kurikulum berdiferensiasi. Menyiapkan isi Kurikulum bagi anak berbakat perlu disesuaikan dengan jenis potensi dan tingkat kompetensinya. Tidak semua anak berbakat memiliki potensi sebagai generalis. Mereka cukup memiliki potensi yang sifatnya spesifik. Isi Kurikulum perlu didesain sedemikian rupa, sehingga isinya memiliki relevansi yang tinggi.

Keempat, Resiko Kurikulum standar. Kita harus hindari resiko penerapan Kurikulum standar. Guru yang kurang memahami karakteristik dan kebutuhan anak berbakat, biasanya sangat strick kepada anak berbakat sebagaimana kepada yang lainnya. Kondisi dapat mengakibatkan anak berbakat menjadi frustasi, bahkan bisa menjadi anak nakal di kelas. Dia kelebihan energi yang salah satu tindakan untuk penyalurannya, dia berbuat nakal di kelas. Karena guru harus kreatif, dengan membuat Kurikulum yang lebih fleksibel.

Kelima, Orangtua sebagai guru. Orangtua pada hakekatnya adalah guru pertama dan utama dalam kehidupan anak. Sangatlah efektif dan produktif, jika orangtua dapat memanfaatkan banyak waktu yang tersedia untuk menfasilitasi dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan anak. Memang umumnya orangtua tidak boleh masuk kelas. Namun di sekolah tertentu, sangat mungkin rapat hadirkan orangtua untuk sharing di depan anak-anak di kelas. Secara psikologis ada proses edukasi yang baik. Anak menjadi bangga, karena orangtua bisa sharing keahliannya kepada guru dan teman-temannya. Yang lain biasanya, anak berbakat yang sangat aktif dan sangat isolated atau autistik bisa terbaiki adaptasinya, menuju mainstream sebagai konsekuensi dari orangtua yang tampil baik di kelas yang peduli kepada semua. Secara tidak langsung anak mengalami perubahan perilaku.

Baca Juga:  Belajar Menjadi Manusia Seutuhnya dari Saadi Shirazi

Keenam, Guru tetap berjuang walau ada keterbatasan. Tidak semua sekolah bisa menyiapkan semua sumber belajar yang diperlukan. Dalam kondisi seperti ini, tidak berarti bahwa anak berbakat yang ada di sekolah dibiarkan. Namun sebaliknya bahwa kondisi ini harus dijadikan tantangan oleh guru untuk berkreasi dan berinovasi untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan menyiapkan bahan pembelajaran yang relevan dengan dukungan sumber belajar yang menantang. Sekaligus guru mampu mengkreasi aktivitas pembelajaran dengan metode pemecahan masalah dan eksperimental.

Demikianlah berbagai ikhtiar uang bisa dilakukan untuk menjadikan anak berbakat menjadi pembelajar sepanjang hayat. Kita memiliki tanggung jawab hang tidak ringan terhadap anak berbakat. Kita harus mensyukuri dan tidak mengkufuri terhadap anugerah anak berbakat yang sangat berharga. Mensyukurinya dengan mendidik anak sesuai dengan potensinya dan kebutuhannya, bukan materi yang kita inginkan. Dengan begitu, perlu diupayakan adalah, menfasilitasi anak berbakat untuk bisa mandiri dalam belajar dan menuntut ilmu dimanapun dan kapanpun. Tentu untuk itu semua, anak berbakat perlu dibimbing dan didorong yang pada untuk independent learner dan lifelong learner. [HW]

Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A.
Beliau adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Anak Berbakat pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Ia menjabat Rektor Universitas Negeri Yogyakarta untuk periode 2009-2017, Ketua III Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) masa bakti 2014-2019, Ketua Umum Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) periode 2011-2016, dan Ketua Tanfidliyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DIY masa bakti 2011-2016

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini