“Wa innaka la’ala khuluqin ‘adzim“, yang artinya:
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung,”(QS Al Qalam:4).
Akhlak merupakan suatu yang sangat berharga dan penting dalam kehidupan kita. Melebihi prestasi akademik, seni, olahraga, kepemimpinan, dan sebagainya. Akhlak menentukan seseorang itu bermartabat atau tidak bermartabat. Begitu berartinya, maka akhlak harus menjadi budaya kita dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu akhlak perlu terus dibina dan ditingkatkan. Ramadan diharapkan menjadi suatu momentum untuk melakukan pembinaan akhlak, sehingga terbentuk akhlakul karimah.
Jika kita berakhlak baik, terpuji atau ber-akhlakul mahmudah, maka hidup kita akan baik, demikian juga orang lain mendapatkan kebaikan. Jika kita ber-akhkak tidak baik, tercela atau ber-akhlakul madzmumah, maka hidup kita terganggu/kacau, demikian juga juga orang lain mendapatkan ketidakbaikan.
Orang yang yang bisa mengkondisikan dan membiasakan akhlak terpuji dan mengurangi/meniadakan akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari, maka orang itu memiliki akhlak mulia, atau akhlakul karimah. Orang yang berakhlakul karimah cenderung berperilaku baik, sabar, jujur, toleran, menyenangkan, tidak suka marah, tidak suka konflik, tidak suka memfitnah, tidak suka bohong dan sebagainya.
Pada jaman jahiliyah, akhlak orang kafir quraisy bobrok. Walau mereka kaya dan berpendidikan, tapi akhlak bobrok yang diindikasikan dengan perilaku musyrik dan tak beradab. Bertitik tolak dari kondisi inilah, Rasulullah saw bersabda bahwa “innamaa bu’itstu li utammima makaarimal akhlaaq”, yang artinya “Sungguh aku diutus menjadi Rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang saleh (baik).” (HB Bukhori).
Mengapa membangun akhkak itu menjadi prioritas Rasulullah saw? Karena akhlak itu menjadi suatu indikator yang sangat penting untuk profil atau identitas manusia yang baik. Rasulullah saw juga bersabda “Inna min khiyaarikum ahsanakum akhlaaqan”. Artinya, “Sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang paling baik budi pekertinya” (HR Bukhari). Di sini semakin jelas, betapa akhlak itu penting dan berarti. Jika akhlak seseorang itu baik maka hidupnya insya Allah dijamin baik. Apalagi berakhlakul karimah, berakhlak mulia. Kehadirannya pasti menyenangkan, menyejukkan, dan menghadirkan kehidupan yang penuh kedamaian.
Rasulullah saw membawa misi untuk penyempurnaan akhlak itu bisa disebarkan sebagai misi besar (grand mission), karena melakukan Revolusi Peradaban, yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Martabat dan marwah manusia menjadi parameter utamanya. Untuk membawakan misi ini Muhammad saw dibekali oleh Allah swt suatu akhlak yang agung. Sebagaimana foto firman Allah swt, yaitu “Wa innaka la’alaa khuluqin ‘adziim“, yang artinya: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung,”(QS Al Qalam:4). Misi nyata inilah yang menjadikan Muhammad berada di ranking 1 di antara 100 orang tokoh dunia dalam buku The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History oleh Michael H. Hart, seorang Antrofisik, pada tahun 1978. Suatu patut direkognisi, karena penilaian terhindar dari bias.
Ramadan yang merupakan bulan terbaik di antara bulan-bulan lainnya, suatu momentum terbaik bagi semua untuk memperbaiki akhlak kita. Setidak-tidaknya ada tiga upaya yang bisa manfaatkan dari potensi Ibadah untuk memperbaiki akhlakul karimah kita. Pertama, akhlak terhadap Allah, dengan puasa Ramadan, kita banyak bisa meningkatkan kuantitas dan kualitas Ibadah kita sehingga semakin dekat dengan Allah (taqarrub ilallah), dan meningkat takwanya, dengan banyak zikir dan amal wajib dan sunnahnya.
Kedua, akhlak terhadap diri sendiri. Dengan puasa Ramadan kita bisa meningkatkan disiplin, tanggung jawab, mantapkan konsep dan identitas diri (sebagai orang beriman), mengendalikan diri, dan bekerja keras melalui rangkaian ibadah wajib dan sunnahnya.
Ketiga, akhlak terhadap orang lain. Dengan puasa Ramadan kita bisa tingkatkan ukhuwwah islamiyah melalui kegiatan jamaah (yang saat ini agak terganggu), mudah meminta maaf dan memaafkan, mengurangi dan menghilangkan marah kepada dan konflik dengan orang lain, kegiatan gotong royong di Rumah Ibadah, meningkatnya solidaritas sosial atau kepedulian sosial (melalui pembayaran dan pengeluaran zakat, infak dan sedekah, dan lain-lainnya.
Ramadan secara ideal berpotensi dapat berkontribusi kepada pembinaan akhlakul karimah. Namun dalam prakteknya bisa juga sangat berkontribusi, kurang berkontribusi atau tidak berkontribusi sama sekali. Sepenuhnya sangat tergantung pada pribadi masing-masing. Yang penting, jangan sampai terjadi “ wujuduhu ka adamihi”, artinya, “adanya seperti tidak ada“. Puasa tidak mendapatkan apa-apa, bisa dibilang sia-sia, hanya dapat lapar dan dahaga. Semoga puasa kita betul-betul bisa memperbaiki akhlak kita. Aamiin. Karena itu mari kita ikuti akhlak Rasulullah, Al Qur-an dan As Sunnah. [HW]