Kisah

Syekh Yusuf al-Maqassari: Ulama Nusantara Par Excellence

ilustrasi: tirto

Jika Anda ingin tahu siapakah figur ulama Nusantara yang par excellence dalam berilmu, berkarya, beragama dan bernegara secara elegan, siapakah ulama Nusantara cum pejuang abad 17 yang membuat Belanda kalang-kabut sampai harus mengasingkannya berkali-kali hingga ke ujung dunia, penulis kreatif juga produktif yang karyanya dijadikan rujukan dunia internasioanal, sarjana yang prolifik, petualang ilmu dan spasialis lintas benua, hidup dan berkarya di banyak Negara, pembela Ahlus-sunnah wal Jamaah, seorang Sufi agung abad 17 penerus Datuk Ri Bandang, seorang waliyullah yang memiliki dua gelar Pahlawan Nasional dan makam di dua benua sekaligus?

Adalah syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Maqassari bergelar Tuanta Salamaka ri Gowa (Tuan Guru yang Diberkati dari Gowa), sementara masyarakat Bugis memberi gelar yang sakral, yakni Petta Salama’e (Raja yang Selamat dan Diberkati).

Yusuf kecil lahir di Gowa, 3 Juli 1626 dari pasangan Abdullah dan I Tubina Aminah Daeng Kunjung (keturunan raja-raja Tallo, yang kemudian bersatu dengan Gowa). Nama Muhammad Yusuf diberikan langung oleh I Mangerangi Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminanga ri Gaukanna, raja Kesultanan Gowa ke-14 (1593 -1639) yang mula-mula memeluk Islam dan masih kerabat dari ibunda syekh Yusuf.

Setelah belajar kepada orang tua dan kerabatnya di istana, pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang dari Daeng Ri Tassamang, guru kerajaan Gowa. Yusuf muda juga berguru pada sayyid Baalawi at-Thahir dan sayyid Jalaludin al-Aidid.

Awal masehi 1644, semangat menyala-nyala dan berkobar-kobar dalam dada. Dorongan nilai-nilai leluhur seperti siri’ (harga diri dan kehormatan), pacce (perasaan pedih atas penderitaan saudara sebangsa), dan sare (kepercayaan bahwa nasib bisa dirubah dengan usaha orang itu sendiri), sikatallassi (saling menjaga dan menghidupi), Yusuf muda yang saat itu berusia 18 tahun bergegas menunaikan ibadah haji dan bermukim di Mekah untuk belajar kepada ulama terkemuka Hijaz serta ngaji ke Yaman, berguru pada syekh Abdullah Muhammad bin Abdul Baqi, dan nyantri di Damaskus di bawah asuhan syekh Abul Barakat Ayyub bin Ahmad al-Khalwati.

Yusuf muda menjadi petualang ilmu sekitar 20 tahun di Timur Tengah, lantas pulang dengan semangat berjuang melawan penjajah serta mengangkat harkat dan martabat Tanah Airnya. Inilah teladan yang baik bagi putra-putra daerah yang belajar di Arab dan Barat, begitu pulang tidak harus menjadi Arab dan Barat, sebab kita Indonesia dan menjadi Indonesia adalah niscaya.

Kelak, syekh Yusuf meneruskan apa yang telah dirintis oleh trio penyebar agama dari Minangkabau, yakni: syekh Abdul Makmur Khatib Tunggal bergelar Datuk Ri Bandang, syekh Sulaiman Khatib Sulung bergelar Datuk Ri Patimang dan syekh Abdul Jawwad Khatib Bungsu bergelar Datuk Ri Tiro.

Bersama De Haantjes van Het Osten (Ayam Jantan dari Timur) Sultan Hasanuddin, syekh Yusuf turut serta berjihad fisik dan pemikiran melawan gurita dagang Belanda yang menggunakan politik belah bambu. Karena gerakan perlawanan inilah, dengan berbagai intrik yang licik dan berkali-kali percobaan pembunuhan, syekh Yusuf ditangkap dan diasingkan ke Banten.

Baca Juga:  Sitta Rosdaniyah: Halal Tourism Peluang bagi Diaspora Santri, Kembangkan Bisnis dan Teknologi

Di tanah para jawara itu, yang notabene kekuasan konsorsium dagang VOC lebih kuat karena lebih dekat ke Batavia, aktivitas dakwah syekh Yusuf relatif bisa diawasi, tidak seperti di Sulawesi Selatan, tapi itu kata Belanda. Syekh Yusuf diam-diam membangun jaringan ulama dan pejuang bersama syekh Abdul Muhyi Pamijahan-Tasikmalaya (1650-1730), seorang kiai penerus Walisongo yang masih keturunan Raja Galuh (Pajajaran) yang tak lain adalah adik seperguruannya ketika belajar kepada syekh Abdur Rauf as-Singkili Aceh.

Sebagai seorang santri, spasialis, pengelana ilmu dan seniman rohani, Yusuf muda pernah ke Aceh pada 1645 semata untuk berguru tasawuf dan tarekat kepada sufi besar bernama syekh Nuruddin ar-Raniri. Kala itu, Kesultanan Aceh Darussalam dipimpin seorang ratu, yakni Sultanah Safiatuddin Tajul-‘Alam (1641-1675), putri Sultan Iskandar Muda. Syekh Yusuf yang berhaluan Ahlussunnah wal jamaah merupakan perintis ketiga pembaruan İslam di Nusantara pada abad ke-17 setelah syekh Nuruddin ar-Raniri, guru beliau sendiri dalam tarekat Syathariyyah dan Qadiriyyah dan syekh Abdur Rauf as-Singkili.

Baik, kita kembali ke Banten. Di samping aktifatas dakwah keliling kampung dan menjadi guru ngaji, syekh Yusuf berjuang dan terus memberontak melawan politik adu domba penjajah demi memonopoli perdagangan, kebijakan tanam paksa dan kerja Rodi Belanda yang kopar-kapir menyengsarakan.

Bersama Sultan Abdul Fattah yang bergelar Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1695) yang mengangkat syekh Yusuf sebagai mufti, perjuangan sang Gurutta semakin sinergi dan nyata. Lagi-lagi, Belanda dibikin pusing oleh satu orang ini. Karena percobaan pembunuhan selalu nihil dan gagal, dengan menyuap salah seorang petinggi kesultanan Banten, pada 14 Desember 1683 syekh Yusuf, keluarga dan para pengikutnya ditangkap dan kemudian dikirim ke Batavia dengan tangan terikat dan mata tertutup, tentu saja sebagai tahanan Belanda.

Dalam sekian purnama, penjara praktis telah menjadi pesantren, selalu saja ada aktifitas ngaji di dalam penjara, ‘kegaduhan’ selalu terjadi sejak syekh Yusuf di sana dan bahkan banyak tawanan Belanda yang lolos dan hilang begitu saja. Penuturuan beberapa sipir dan teliksandi, syekh Yusuf tak pernah ada di bilik penjara kalau malam hari, padahal pintu dan gerbang penjara terkunci dan dalam pengawasan ketat.

Tak boleh dibiarkan terlalu lama, tampaknya Belanda semakin mencemaskan pengaruh wali dari Gowa ini, kendati para pengikutnya (yang juga tak bisa dihabisi nyawanya oleh Belanda) sudah dikirim ke Cirebon dan sebagian lagi dipulangkan ke Sulawesi Selatan. Maka, diputuskan bahwa Syekh Yusuf beserta istri dan anaknya akan dibuang ke Ceylon atau Sri Lanka.

Di negeri Alengka Diraja, kharisma syekh Yusuf tetap memancar. Meski berstatus sebagai tahanan Belanda, ia tetap mengarang dan menulis banyak disiplin ilmu, konon ratusan judul, sayang, yang baru dicetak hanya 22 judul (yang paling terkenal dan dijadikan rujukan dunia internasioanal dalam kosmologi tasawuf di antaranya: Kayfiyyat at-Tasawwuf, Al-Barakat as-Sailaniyyah, Al-Fawa’ih al-Yusufiyya fi Bayani Tahqiq as-Sufiyyah, Kayfiyat al-Mughni wa al-Itsbat bil-Hadits al-Qudsi, dan Mathalib as-Salikin).

Belakangan ditemukan fakta bahwa karya syekh Yusuf dan para Ulama Nusantara lainnya sengaja dicuri Belanda, sebagian dilenyapkan, sebagian lagi disimpan di Leiden. Bahkan, di zaman revolusi kemerdekaan, kiai-kiai NU yang memiliki kitab Jawahir at-Tafsir lisy-syaikh Thanthawi (tafsir sains), pasti dirazia oleh Belanda dan memang semua ulama Nusantara diawasi gerak-gerik mereka oleh Belanda.

Baca Juga:  Urgensi Santri Menggenggam Dunia Literasi

Jelaslah, bahwa yang ditakutkan penjajah adalah kebangkitan intelektual pribumi dan kesadaran akan persatuan dan nasionalisme yang dikomandoi para kiai. Sekarang, kita bisa mendapati beberapa manuskrip karya ulama Nusantara yang dulu dianggap “membahayakan” hegemoni VOC di Leiden.

Sama seperti ulama-ulama Nusantara lainnya, di tanah pengasingan dan penjara sekalipun, syekh Yusuf masih tatap mendidik dan berkarya. Ia juga melancarkan dakwah di negeri pengasingannya itu kepada masyarakat sekitar. Tidak sedikit warga Sri Lanka yang diislamkan oleh Tuanta Salamaka ini melalui pendekatan sufistik yang lebih mengedepankan akhlak.

Tak hanya itu, ia juga berhasil menjalin hubungan dengan para jemaah haji asal Nusantara yang transit di ke Sri Lanka sebelum melanjutkan pelayaran ke Mekah, atau sebaliknya.

Jaringan intelektual dan spiritual untuk melawan kekejaman penjajah semakin erat, lantaran kian banyak jamaah haji Nusantara yang berguru kepadanya. Kepada mereka, syekh Yusuf senantiasa menitipkan surat yang ditujukan kepada Kesultanan Banten maupun Kesultanan Gowa, juga kepada para sahabat dan pejuang di Aceh, Semarang dan Gresik semata agar tidak terpengaruh cara-cara licik Belanda dalam memonopoli perdagangan dan memecah belah kerajaan-kerajaan Nusantara.

Syekh Yusuf terus melawan Belanda dengan segala cara, ia sungguh-sungguh menjalankan semboyan leluhur, yakni: kontunna possok kala lempeka (biarlah hancur sama sekali daripada bengkok).

Belanda sekali lagi merasa kecolongan, sekaligus khawatir dengan semakin banyaknya pengikut syekh Yusuf di Asia Selatan. Tindakan antisipasi pun segera disiapkan. Pada 7 Juli 1693, Belanda akhirnya mengasingkan ulama Nusantara par excellence ini bersama 49 pengikutnya ke Tanjung Harapan (Cape Town), Afrika Selatan dengan menumpang kapal dagang.

Sebagai seorang penghulu dan mursyid tarekat Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah, Khalwatiyyah, Syathariyyah, Baalawiyyah, dll, syekh Yusuf al-Maqassari yang masyhur kewaliannya memiliki berbagai karomah, precognition dan psikokinesis. Salah satu yang sangat terkenal adalah kejadian bersama kapten kapal De Voetboog ketika kapal bongsor yang ditumpanginya beserta rombongan dihantam oleh badai besar berkali-kali yang membuat sang nahkoda, Van Beuren, ketakutan karena mengira kapalnya akan karam dan tenggelam.

Dalam situasi genting itulah semua penumpang kapal menyarankan sang kapten menghadap dan memohon doa kepada syekh Yusuf yang ternyata sedang membaca Al-Qur’an di dek belakang dekat gudang dan tidak terlihat panik. Sejurus kemudian, setelah menerima laporan dan permintaan itu, sang wali menatap langit, bertengadah, dan memanjatkan doa dengan bertawassul kepada Nabi Muhammad Saw, “Ya Allah, sebagaimana sabda Nabi-Mu ketika gunung Uhud ditimpa gempa dahsyat: tenanglah, wahai gunung Uhud, tenanglah! maka tenanglah, wahai kapal De Voetboog, tenanglah!”

Baca Juga:  Peringatan Imam Ghazali kepada Para Pencari Ilmu

Ajaib, badai berangsur reda dan hujan lebat mulai tenang, ombak dan prahara menghilang, kapal dengan selamat berlayar sampai di Kaapstad/Cape Town. Sang kapten dan beberapa awak kapal memeluk Islam dan tinggal di pengasingan bersama Syekh Yusuf. Sampai sekarang keturunan kapten kapal ini tetap memeluk Islam dan masih bermukim di Afrika Selatan serta menganut tarekat Tuanta Salamaka bersama para santri dari India, Persia, dan Semenanjung Arabia.

Berkat kegigihan syekh Yusuf dan para pengikutnya, 12 -15% warga Afrika Selatan beralih menganut Islam. Area pengasingan itu kelak menjadi kota kecil bernama Macassar dan kampung Melayu. Di kota seluas 28.85 km2 ini pun terdapat nama-nama gedung, pemukiman dan jalan bernuansa Melayu, beraksen Jawa, bernuansa Banten, Macassar Road, Kramat Road dan Sheikh Yusuf Road.

Reputasi syekh Yusuf sangat agung bagi rakyat Afrika Selatan, sampai-sampai Nelson Mandela menyebutnya sebagai “Putra Afrika, pejuang teladan kami”. Mandela juga menjadikan Ulama Nusantara ini insipirasi bagi perjuangan rakyat Afrika Selatan melawan apartheid. Pada 2009, syekh Yusuf mendapatkan penghargaan Oliver Thambo sebagai Pahlawan Nasional Afrika Selatan.

Syekh Yusuf berpulang ke rahmatullah dan dimakamkan di Cape Town pada 23 Mei 1699 setelah tinggal di sana selama 6 tahun. Atas permintaan Sultan Gowa, Abdul Jalil (1677-1709), jenazah syekh Yusuf yang masih utuh dan harum dipulangkan ke Makassar pada 1705.

Konon, banyak yang menyaksikan peristiwa khawariqul ‘adah (luar biasa) itu dan dengan sukarela memeluk Islam, termasuk beberapa tentara Belanda yang mengawal selama dalam perjalanan. Selanjutnya, jenazah itu dikebumikan dengan prosesi sakral dan khidmat di kompleks makam bangsawan di Lakiung yang dahulu pernah menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Gowa.

Seperti makamnya di Afrika Selatan, makamnya di Lakiung juga banyak diziarahi masyarakat dan bahkan diperingati dan diadakan haul sebagaimana para wali Nusantara.

Semoga generasi muda bisa meneladani syekh Yusuf sembari terus mencari jawaban dan simpulan dari kecamuk tanya perihal etno-sosio-talentologi apakah sebenarnya yang menyebabkan syekh Yusuf mendapat tempat di hati masyarakat dan selalu dimuliakan di banyak negara meski berstatus tahanan politik, sembari terus berkarya dan tetap mencintai Tanah Airnya?

Antropologi macam apakah yang digunakan syekh Yusuf dalam pendekatan dakwah sehingga ia diterima dan bahkan menjadi penasihat lintas kerajaan? Bagaimana cara beliau membangun jaringan ulama Nusantara? Bagaimanakah proses kreatif beliau sampai melahirkan banyak karya monumental? Mengapa Belanda yang sudah melék filsafat, sains dan teknologi, ekonomi-politik, menguasai militer dan strategi perang malah kewalahan menghadapi seorang syekh Yusuf?

Dalam riwayat Lontara Gowa-Tallo disebutkan perihal keluasan ilmu Tuanta Salamaka bagaikan “Tamparang tenaya sandakanna” (cakrawala tak terkira), “Langik tenaya birinna” (langit yang tak bertepi), dan “kappalak tenaya gulinna” (kapal yang tak berkemudi). Alfatehah untuk beliau dan semua ulama Nusantara.

Ach Dhofir Zuhry
Alumni PP Nurul Jadid Paiton, Penulis Buku Peradaban Sarung, Kondom Gergaji dan Mari Menjadi Gila, Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Penasehat Dunia Santri Community dan pengampu kajian Tafsir Tematik NUonline tiap ahad sore 16.30 WIB

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Kisah