Opini

Puisi Paskah Ulil Abshar Abdalla Ra Lilur hingga Syair al-Maarri yang Dinilai Ateis

Syair Abu Mansur Alhallaj

Suatu hari, ada seorang kiai majdzub keturunan Syaikhona Kholil Bangkalan bernama Kiai Kholilurrohman. Ra Lilur, demikian ia biasa dipanggil, di mata orang Madura adalah seorang waliyullah. Banyak dari karamah-karamah beliau yang dinukil dari mulut ke mulut. Nah, beliau ini tidak bisa diajak bicara. Beliau sering ghadab (marah). Sehingga orang-orang segan kepada beliau.

Suatu malam beliau tiba-tiba menghadiri acara, kontan saja tuan rumah kaget bukan kepalang. Si tuan rumah bangga bukan main didatangi Ra Lilur. Segala macam suguhan disiapkan, tak lupa pula salam tempel khas orang Madura (namun pasca acara semua itu beliau tolak). Di acara itu Ra Lilur mengambil microphone dan mulai berbicara. Salah satu isinya adalah syair milik penyair Arab masyhur, Abul Ala’ Al-Ma’arri:

قال الطَبِيبُ والمُنَجّمُ كِلاهُما * لا تُبْعَثُ الأمواتُ ، فلتُ إليكما 

إن صحّ قولُكما فلستُ بِخَاسِرٍ * إنْ صحَّ قولي فالخَسَار عليكما

Dokter dan astrolog berkata bahwa orang mati tak akan dibangkitkan lagi

Aku jawab: jika ucapan kalian berdua benar, maka aku tak rugi. Namun jika ucapanku yang benar, maka kalian yang rugi.

Konon (ingat, konon ya!) pasca kejadian rawuhnya Ra Lilur itu, salah satu keluarga tuan rumah ada yang meninggal.

Mari sejenak lupakan kisah itu, kita fokus ke sang penyair, Abul Ala’ Al-Ma’arri. Al-Ma’arri adalah salah satu sosok kontroversial dalam sastra Arab. Puisi-puisinya banyak ditentang oleh kalangan-kalangan fukaha. Ia disebut sebagai zindiq atau mulhid (agnostik, ateis). Contoh saja syairnya berikut ini:

هفَت الحَنيفةُ، والنّصارى ما اهتدتْ، * ويهودُ حارت، والمَجوسُ مُضلَّلَه

اثنانِ أهلُ الأرضِ، ذو عَقلٍ بلا    * دِينٍ، وآخرُ دَيّنٌ لا عَقلَ لَه

Islam itu kosong,

Nasrani itu tidak mendapat petunjuk,

Yahudi itu membingungkan,

Dan Majusi itu menyesatkan.

Pemeluk dua ajaran (Islam dan Nasrani) itu

berakal tapi tak beragama,

Sementara dua ajaran lain (Yahudi dan Majusi)

beragama tapi tak berakal

Namun demikian, di kalangan para fukaha cum sejarawan pun banyak yang berbeda pendapat tentang sosoknya. Alih-alih ateis, sebagian mengatakan bahwa ia adalah min awliya’-i-Llah! (Baca coba buku berjudul “Abul Ala Al-Ma’arri” karya Ahmad Temur Pasha). Padahal jika kita cermati buku puis Ma’arri, tentu akan sangat banyak sekali kerancuan-kerancuan iman. Setidaknya meski bukan ateis, Al-Ma’arri tergolong sebagai musyakkik alias orang yang skeptis terhadap teologi ketuhanan.

Baca Juga:  Gus Ulil: Syarat dan Pentingnya Etika Belajar

Di antara ulama yang membela dia adalah Al-Hafidz Ibnul Adim. Ia menulis bahwa: “Kebanyakan orang yang tak pernah bertemu Ma’arri akan mencela, sedangkan orang yang pernah bertemu Ma’arri akan memuji.” Itu pertanda bahwa mereka yang mencela Ma’arri adalah orang-orang yang terjebak unsur-unsur fallacy straw man; mereka menggasak bayangannya sendiri atas Ma’arri.

Selain Ibnul Adim, sarjana lain yang membela Ma’arri adalah Ibnul Wardi. Ya, Ibnul Wardi ulama fikih pengarang Bahjah Wardiyah itu. Ia membela Ma’arri habis-habisan. Ia menukil surat menyurat antara Kadi Abu Thayib Thabari dan Ma’arri sendiri. Pasca suratan itu, sang kadi memuji Ma’arri sebagai orang yang hasanul i’tiqad alias tidak melenceng keyakinannya. Lantas Ibnul Wardi berkomentar begini:

“Sudah jelas bahwa kesaksian Kadi Abu Thayib tentang Ma’arri harus didahulukan ketimbang orang lain.”

Lantas bagaimana dengan syair-syair kontroversialnya—seperti ingkar hari kiamat, mengejek Nabi Adam, meragukan kenabian? Kata Ibnul Wardi itu tentu harus ditakwil karena bahasa syair dengan natsar (kata normal) itu berbeda. Pada intinya bahasa puisi tidaklah bisa diartikan dengan bahasa normal, harus dinilai menggunakan kaca mata balaghah.

Nah, inilah yang saya lihat luput dari orang-orang yang tidak setuju dengan puisi Ulil Absar Abdalla tentang Hari Paskah. Mereka—orang-orang yang menghujat puisi itu—hanya melihat lahirnya saja: bahwa puisi itu tentang Paskah, maka pasti buruk. Begitu kira-kira penilaian mereka. Tentu saja suatu kata jika diucapkan dalam bentuk syair, maka itu pertanda maksud kata itu tidak bisa diucapkan dalam bentuk perkataan normal. Maka untuk menilai suatu syair, juga tidak bisa dengan kaca mata normal.

Jika kita menilai “puisi” dengan kaca mata “artikel”, maka itu sama saja dengan menilai rawon sebagai makanan yang tidak enak karena dia tidak dingin seperti es campur. Atau kira-kira begini: ia menyebut pizza sebagai makanan tak sedap karena ia tak mengandung bumbu soto. Padahal tidak. Pizza tetap enak, hanya saja beberapa orang ada yang tidak suka. Demikianlah jika sesuatu tidak dinilai dalam porsinya.

Baca Juga:  Gus Ulil: Takwil dan Semangat Toleransi ala Faishal al-Tafriqah

Artikel ini pernah dimuat di http://alif.id

Kholili Kholil
Alumni Pesantren Lirboyo-Kediri. Saat ini mengajar di Pesantren Cangaan Pasuruan, Jawa Timur.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini