Opini

Keistimewaan Memandang dengan Cinta Kedua Orang Tua

Keistimewaan Memandang dengan Cinta Kedua Orang Tua

Abu Bakar Ahmad bin Husain bin Ali bin Abdullah Al-Baihaqi atau yang dikenal dengan sebutan imam Baihaqi dilahirkan di Khasrujard Baihaq di Persia (Sekarang provinsi Khorasan, Iran) pada tahun 384 H-W. 458 H. Ia mempelajari hadist dan mendalami fiqih mazhab Syafi’i.

Dalam pencarian ilmunya ia mendatangi para ulama di Baghdad,Kufah dan Mekkah sebelum akhirnya kembali lagi ke Baihaq.Selain beliau ahlul tarikh (Sejarah) dan tarjih qoul imam Syafi’i (Terbukti dengan kitab Manaqib Syafi’i Lil Baihaqi) beliau juga ahli hadist.

Imam Baihaqi menjadi orang pertama yg mengumpulkan naskah-naskah fiqih sekaligus menjadi penyebar fiqih mazhab Syafi’i.

Imam Haramain guru dari Imam Al-Ghazali berkomentar tentang pemahaman Imam Baihaqi terhadap mazhab Syafi’i:

Tidak ada pengikut mazhab Syafi’i yg mempunyai keutama’an melebihi Baihaqi karena karyanya dalam mengembangkan mazhab dan pendapat Syafi’i“.

Sedangkan Imam Adz-Dzahabi pernah berkata mengenai keluasan ilmunya bahwa kalau Al-Baihaqi menghendaki maka ia mampu membuat mazhab sendiri karena keluasan ilmu dan pemahamannya akan masalah-masalah khilafiyah. Atas ke faqihannya dalam ilmu hadist mengantarkan Al-Baihaqi menjadi salah satu periwayat hadist yang mumpuni dan diakui mayoritas umat muslim baik di eranya dan sesudahnya hingga sekarang ini.

Banyak hadist-hadist “berserakan” (baca: belum diteliti ulama hadist era sebelumnya) yang kemudian Al-Baihaqi teliti sanad matan serta tahamul hadist yang di tuangkan dalam “Sunnan Al-Kubro“, salah satu diantaranya Beliau Nabi Muhammad bersabda:

ما من رجل ينظر إلى والديه نظرة رحمة إلا كتب الله له بها حجة مقبولة مبرورة

“Tiada seorang anak yang memandang kedua orang tuanya dengan pandangan rahmat kecuali Allah SWT memberi pahala untuknya seperti pahala melakukan ibadah haji mabrur”. (HR. Baihaqi).

Baca Juga:  UNISNU Beri Pendampingan Pengasuhan Humanis pada Orang Tua Siswa Berkebutuhan Khusus di SDN 1 Sowan Lor

Didalam hadits yang diriwayatkan oleh ulama madzhab Syafi’i era sesudah Al-Baihaqi diantaranya Imam Ar-Rofi (Ulama madzhab Syafi’i yang hidup di era Imam An-Nawawi) yang bersumber dari Ibnu Umar disebutkan bahwa Beliau Baginda Rasulullah bersabda:

“Seseorang yang memandang wajah kedua orang tua dengan penuh kasih sayang maka dia akan dianugerahi pahala oleh Allah sama dengan pahala orang yang melaksanakan haji mabrur”.

Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dengan redaksi kalimat Beliau Baginda Rasulullah bersabda:

“Apabila seorang anak memandang wajah orang tuanya dengan perasaan gembira maka dia akan memperoleh pahala yang sama dengan pahala orang yang memerdekakan hamba sahaya”.

Lalu ada seorang sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah,bagaimana bila si anak memandang sebanyak 300 kali?”

Beliau menjawab:”Allah Maha Besar.Pasti Allah akan memberi pahala yang lebih besar lagi”. Yaitu, Allah Maha Kuasa sama sekali tidak sulit bagi-Nya untuk mengaruniakan pahala yang sedemikian besar itu dalam setiap pandangan”.

Imam Baihaqi juga meriwayatkan hadits yang lain dengan tambahan redaksi kalimat “Berbakti” disebutkan bahwa Nabi Muhammad telah bersabda :

“Tidak ada seorang anak yang berbakti kepada orang tua kemudian dia memandang wajah kedua orang tuanya dengan perasaan kasih kecuali Allah menulis buatnya pahala ibadah haji mabrur setiap kali pandangan”.

Lalu Ibnu Abbas bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau si anak itu sehari memandang 100 kali”?

Beliau menjawab: “Yang lebih besar pahalanya. Sebab Allah Maha Besar lagi Maha Baik”.

Ada sebuah riwayat “Asbabul wurud” (Sebab munculnya hadist) pada suatu pagi Ali bin Abi Thalib seperti biasa pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat jama’ah subuh bersama Rasulullah. Tiba-tiba di tengah jalan ada seorang laki-laki yg sudah lanjut usia rambutnya sudah putih. Menurut perasa’an Ali bin Abi Thalib laki-laki itu akan pergi ke masjid. Dengan rasa ta’zhir (Adab yang luhur) dan penuh kasih Ali bin Abi Thalib  berjalan di belakangnya tidak tega untuk mendahuluinya. Ketika sampai di depan masjid Ali bin Abi Thalib terperanjat. Ternyata laki-laki tua itu tidak masuk masjid terus jalan.Dan ternyata dia adalah seorang Nasrani.

Baca Juga:  Puasa Itu Bentuk Cinta Dari Tuhan Kepada Hambanya

Menurut ukuran Ali bin Abi Thalib sudah terlambat mengikuti shalat jama’ah. Namun Allah.SWT menghendaki lain.

Pada waktu Nabi Muhammad ruku’ pada raka’at kedua malaikat Jibril diperintahkan untuk menghentikan ruku’ beliau dengan meletakkan sayapnya pada punggung Nabi Muhammad. Sementara malaikat yang menjaga perjalanan matahari dipersilahkan untuk menghentikan sejenak. Dan ketika Ali bin Abi Thalib bertakbiratul ihram kemudian ruku’ maka Nabi Muhammad pun bangkit dari ruku’nya dan mataharipun kembali berjalan.

Berarti Ali bin Abi Thalib tidak tertinggal jama’ah shalat subuh. Karamah ini terjadi karena Ali bin Abi Thalib memandang orang tua yang ternyata Nasrani dengan penuh kasih sayang. “Apalagi kalau kita mengasihi orang tua kita yang telah mendidik, mangasuh dan membesarkan kita. Tentu akan memperoleh balasan pahala yang sangat besar dari Allah.SWT”.

Rasulullah bersabda: Ada tiga (3) pandangan yang termasuk dalam kategori ibadah yaitu:

  1. Memandang wajah kedua orang tua.
  2. Memandang mushaf kitab suci Al-Qur’an.
  3. Memandang laut.

(HR. Imam At-Timidzi, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majjah).

Sedangkan dalam riwayat Imam Abu Dawud menyebutkan bahwa tiga (3) pandangan yang termasuk ibadah adalah:

  1. Memandang Ka’bah.
  2. Memandang kedua orang tua.
  3. Memandang kitab suci Al-Qur’an.

Tidak ketinggalan Imam As-Suyuthi pun meriwayatkan pengertian ibadah dari sudut akhlak dan etika dalam kehidupan:

قَال النَبي ص.م. نظر الرّجل الى والديه حبّا لهما عبادة. (رواه السيوطى)

“Nabi Muhammad SAW bersabda: Memandang ibu dan bapak karena cinta kepadanya adalah ibadah”. (Sunnan al Kubro).

 والله اعلم

Musa Muhammad
Santri Pondok Pesantern as Syidiqiyah Bumirejo Kebumen.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini