Diksi ‘guru’ ditujukan kepada setiap orang yang telah mengajarkan kita ilmu, baik itu secara formal ataupun non formal. Baik telah mengajarkan kita satu huruf, ataupun satu kitab, bahkan lebih.
Sayidina Ali Bin Abi Tholib ra. merupakan salah seorang sahabat yang unggul dalam keilmuanya. Bahkan Nabi Muhammad Saw. Menjulukinya sebagai pintu ilmu. Dan julukan itu tidak didapatkan oleh sohabat yang lain.
Nabi Saw. dalam satu kesempatan pernah bersabda – seperti disebutkan dalam kitab al-‘Ushfuriyyah) tentang Sayyidina Ali: “Saya adalah kota ilmu dan Ali sebagai pintunya” . Hadis ini menunjukkan betapa tingginya ilmu Sayyidina Ali sehingga Rasulullah Saw. menjulukinya sebagai pintu ilmu pengetahuan.
Keluasaan ilmu yang dimiliki Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. Tidak semerta-merta menjadikannya sombong . Justru dengan ketinggian ilmu yang dimilikinya itu membuatnya semakin rendah hati. Ibarat padi, semakin berisi ia makin merunduk. Ini terbukti dari salah satu atsar-nya tentang penghormatan beliau pada guru. Beliau berkata: “Aku adalah hamba/abdi dari siapapun yang mengajariku walaupun hanya satu haruf. Aku pasrah padanya. Entah aku mau dijual, dimerdekakan atau tetap sebagai seorang hamba”.
Semua manusia dilahirkan di muka bumi ini dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Dia mulai belajar bahasa kehidupan dari guru, guru pertama manusia kecil adalah ibunya, yang mana mulai mengajarkan kepada anaknya bahasa keseharian hingga meningkat dalam tahap pemahaman.
Dikatakan dalam salah satu syi’ir tentang ibu :
الأم مدرسة إذا أعددتها # أعددت شعباً طيب الأعراق.
Ibu adalah sekolah, jika kau siapkan dengan baik, maka kau telah menyiapkan generasi yang baik.
Tidak ada seorang alim di dunia ini yang terlahir begitu saja tanpa adanya sosok guru yang membimbingnya dalam meningkatkan pemahamanya terhadap suatu ilmu. Semuanya mempunyai guru yang menunjukkan kepadanya jalan ilmu dan membukakan untuknya pintu ilmu tersebut, dalam memahami asror (rahasia) dibalik kitab dalam pemahamanya.
Di dalam al Qur’an Allah berfirman :
فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
Artinya : Hendaklah bertanya kepada orang mengetahui jika kamu tidak mengetahui.
Dalam proses belajar terdapat tingkatan yang harus dilalui oleh seorang murid.
Tingkatan pertama adalah sebuah fase dimana seorang murid harus mengenyam pendidikan dalam tingkatan mubtadi’ (pemula). Para ulama sepakat dalam tingkatan ini seorang penuntut ilmu hendaknya belajar dengan menggunakan matan kitab, karena matan merupakan sebuah ringkasan dalam suatu ilmu yang disajikan dalam bentuk ringkas dan mencakup semua pembahasan dalam ilmu tersebut. Ini juga sering disebut sebagai tahap pengenalan.
Kemudian apabila seorang murid sudah mampu melewati tingkatan ini, dia akan beranjak ke tingkatan selanjutnya yaitu tingkatan mutawassit (pertengahan). Disini seorang murid sudah mencapai separuh jalan dalam petualangannya menuntut ilmu. Dan dalam tingkatan ini hendaknya ia lebih konsentrasi dalam tahap pemahaman terhadap matan suatu kitab dan fokus mendalami syarah (uraian) dari matan tersebut.
Kemudian pada tingkatan terakhir, seorang murid dalam posisi yang sangat rawan jatuh. Kenapa saya mengatakan demikian? karena dalam posisi ini, terkadang seorang murid merasa dirinya mampu untuk membaca kitab sendiri, dan tidak lagi membutuhkan bimbingan dari gurunya. Dalam tingkatan ini seharusnya seorang murid lebih meningkatkan kefokusannya dalam memahami suatu permasalahan. Selain itu, pada tingkatan ini juga, dia disajikan (hasiyah) catatan kaki, yang mana bisa membantunya untuk lebih banyak dalam mendalami pemahaman uraian-uraian yang terdapat dalam suatu fan keilmuan.
Dan apabila dia telah lulus dalam semua tahap tingkatan ini, sang guru terkadang mengizinkannya untuk membaca kitab dengan sendirinya, namun tetap menempatkan sang murid di bawah bimbingannya. Setelah itu, barulah sang guru memberikan muridnya izin untuk mengajarkan apa yang sang murid dapatkan darinya kepada generasi selanjutnya.
Inilah dinamika seorang penuntut ilmu. Seorang penuntut ilmu diharuskan untuk bersabar dalam menggapainya. Ia harus melalui hierarki dalam belajar, lebih lugasnya, ia harus mampu belajar dari tingkat terbawah. Selain itu, yang paling penting adalah dia harus memiliki seorang guru untuk membimbingnya dalam semua pencapaiannya tersebut.
Tersebab guru adalah dokter, yang cukup paham akan kelemahan dan penyakit muridnya, kemudian ia mengobatinya dan memberinya resep dalam proses kesembuhannya.
Dalam salah satu syi’ir dikatakan :
إِن المعلمَ والطبيبَ كلاهُما * لا ينصحانِ إِذا هما لم يُكرما
فاصبرْ لدائكَ إِن أهنتَ طبيبَهُ * واصبرْ لجهلكَ إِن جفوتَ مُعَلِّما
Sesungguhnya baik guru maupun dokter sama tidak rela memberikan nasihat bila keduanya tidak dihormati.
Bersabarlah terhadap penyakitmu apabila kamu jauh dari dokter,
dan puaslah dengan kebodohanmu bila kamu jauh dari guru.
Dari untaian sya’ir ini, kita bisa memahami bahwasanya dokter dari kebodohan adalah seorang guru, dan dokter dari penyakit tubuh adalah tabib yang mana kita berobat kepadanya. Guru selalu memberikan nasihat dan langkah yang terbaik bagi anak didiknya. Demikian juga dengan seorang dokter yang selalu membrikan resep (obat) terbaik untuk pasiennya.
Seorang guru mengetahui kelemahan dan kelebihan yang dimiliki oleh muridnya. Terkadang yang menurut kita baik, namun belum tentu baik dalam pandangan guru, karena guru lebih tahu akan penyakit yang kita derita, sehingga dia memberikan resep ampuh dalam perjalanan kita mengarungi lautan ilmu.
Mari kita bersama, di kesempatan yang indah ini, yaitu tepatnya di hari guru ini, kita bersama memperbaharui niat kita dalam menuntut ilmu, lebih takzim lagi kepada guru kita, karena semua itu yang akan memberikan kita keberkahan dalam ilmu kita. Juga tersebab ridha guru sangatlah penting bagi sang murid dalam perjalananya menuntut ilmu.
Selamat hari guru.