Mendamaikan Dua Ibadah yang Berpotensi Kontraproduktif

Suatu ketika, saya mendapat pertanyaan dari dua sahabat saya, pak Sairi dan pak Masduki, tentang membudayanya pemberian makanan di mesjid-mesjid pada hari jum’at. Pertanyaan itu muncul ketika kami bertiga melaksanakan shalat jum’at di suatu mesjid yang menyediakan makanan. Saat itu, kami melihat pengurus mesjid sibuk mempersiapkan makanan untuk para jama’ah, dan sambil lalu mendengar obrolan beberapa orang di samping kami, “di sini sering dikasih makanan”, demikian isi obrolan mereka. Lalu, mereka menyerbu makanan dan snack begitu selesai melaksanakan shalat jum’at.

Di sini, ada dua ibadah yang tentusasaja membawa kebaikan, tetapi bisa merusak kebaikan itu sendiri jika pelaksanaannya tidak dikelola dengan baik. Mengapa demikian? Berikut argumennya.

Di dalam Islam, dikenal dua unsur asasi ajaran: akidah dan syari’ah. Akidah bersisfat teoritis dan berkaitan dengan keyakinan sehingga ia menjadi inti ajaran, syari’ah bersifat praktis sebagai penyempurna ajaran. Di dalam syari’ah, terdapat dua unsur ajaran asasi lagi, yakni mu’amalah dan ibadah mahdhah, seperti shalat, puasa, zakat, dan ibadah haji. Setiap ibadah mahdhah mempunyai dimensi spiritual, karena ia merupakan bentuk hubungan manusia sebagai hamba dengan Allah sebagai Tuhan. Namun karena ibadah mahdhah itu bermacam-macam, bentuknya juga berbeda-beda. Ada yang berbentuk ibadah badaniyah, seperti shalat; ibadah maliyah, seperti zakat; dan ibadah yang mencakup keduanya, seperti haji.

Masing-masing ibadah itu mempunyai cabangnya sendiri-sendiri, baik dari sisi hukumnya maupun pelaksanaannya. Shalat jum’at sebagai cabang dari ibadah wajib yang bersifat badaniyah. Shalat jum’at dan shalat fardu yang lima sama sekaligus berbeda dari sisi pelaksanaannya. Shalat fardu waktu merupakan ibadah yang terikat oleh waktu, tetapi tidak oleh ruang, sedang shalat jum’at terikat oleh ruang dan waktu. Ia harus dilaksanakan di waktu tertentu, yakni hari jum’at dan ruang tertentu, yakni di mesjid, sehingga tidak ada waktu dan ruang lain bagi mereka yang sedang muqim dan sehat rohani-jasmani untuk tidak melaksanakan sesuai waktu dan tempatnya. Kekhusu’an dalam melaksanakan shalat jum’at pun harus dijaga karena ia tidak bisa diulang lagi pada waktu dan tempat yang lain.

Baca Juga:  Dibalik Kepemimpinan Wanita dalam Islam

Ada juga cabang ibadah yang bersifat sunnah, seperti shadaqah sebagai cabang dari ibadah maliyah, zakat. Dari segi pelaksanannya, shadaqah sama sekaligus berbeda dengan zakat. Jika pelaksanaan zakat terikat oleh waktu, tetapi tidak oleh ruang, sehingga umat Islam harus melaksanakannya tepat pada waktunya, dan bisa dilaksanakan dimanapun, sebaliknya shadaqah tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dimana saja, kapan saja, dan apa saja, shadaqah tetap boleh dilaksanakan. Boleh sekarang dan di sini, atau besok dan di sana. Boleh di dalam tempat ibadah, dan boleh juga di tempat lain yang dinilai profan oleh umat Islam, seperti di jalanan. Nilai keabsahan shadaqah ditentukan oleh niatnya, bukan oleh ruang, waktu, subyek dan jumlah yang dishadaqahkan. Tetapi, karena Islam mengenal istilah waktu dan tempat yang suci atau sakral, mereka memilih tempat tertentu untuk memberikan shadaqah, dan mereka memilih mesjid.

Dengan sifat shadaqah seperti itu, wajar jika budaya bershadaqah di Indonesia muncul dimana-mana, dan belakangan ini ramai dilaksanakan di masjid-mesjid dan dilaksanakan pada hari jum’at. Beberapa mesjid menyediakan shadaqah berupa makanan dan snack. Makanan dan snack itu bisa berasal dari kas mesjid, bisa juga dari sumbangan sukarela dari para dermawan yang khusus disuguhkan pada setiap pelaksanaan shalat jum’at.

Budaya ini tentusaja sebagai sesuatu yang baik, dan bukan hanya pihak yang bershadaqah yang akan mendapat pahala dari Allah, tetapi juga mereka yang menjadi panitianya. Inilah dimensi spiritual shadaqah. Selain mendapat pahala, keberadaan shadaqah di hari jum’at juga mendorong umat Islam untuk “senang” melaksanakan shalat jum’at di mesjid, terutama mereka yang sedang dalam suatu perjalanan jauh atau dalam suatu pekerjaan yang jauh dari rumahnya. Impilkasinya, mesjid yang menyediakan makanan cenderung menjadi pertimbangan sebagian orang untuk melaksanakan shalat jum’at di sana, sehingga jama’ahnya berjumlah banyak. Masjid pun menjadi ramai. Inilah dimensi sosial-ekonomi shadaqah.

Baca Juga:  Seandainya Nabi Bersikap Keras, Tentu Mereka akan Menjauh

Namun demikian, ada sisi lain yang juga perlu mendapat perhatian kiritis kita. Selain sisi positif, shadaqah dalam bentuk pemberian makanan dan snack saat shalat jum’at juga bisa menimbulkan kontraproduktif. Sebab, kekhusu’an melaksanakan shalat jum’at bisa terganggu oleh keberadaan makanan dan snack, kendati tidak selamanya demikian. Memang, di antara para jama’ah yang berada di sekitar mesjid tetap bisa khusuk melaksanakan shalat jum’at, karena mereka tidak sedang membutuhkan makanan sehingga tidak memikirkannya saat melaksanakan shalat jum’at.

Akan tetapi, ada sebagian jama’ah yang sedang membutuhkan makanan dan snack. Seseorang yang sedang dalam perjalanan jauh atau sedang bekerja di tempat yang jauh dari rumahnya, atau anak-anak kecil, tentusaja sangat senang dengan keberadaan makanan dan snack di mesjid. Justru di situlah, sesuatu yang kontraproduktif muncul, karena kekhusu’an mereka dalam melaksanakan ibadah shalat jumat bisa terganggu. Kemungkinan itu bisa terjadi, karena mereka bisa membayangkan makanan dan snack yang akan diperolehnya sehabis melaksanakan shalat jum’at, dan bayangan itu bisa muncul sebelum, di saat dan sesudah melaksanakan shalat. “Sebelum”, dalam arti, seseorang hendak melaksanakan shalat jum’at di mesjid tertentu didorong oleh harapan mendapatkan makanan dan snack; “di saat”, dalam arti, ketika melaksanakan shalat jum’at dia bisa membayangkan makanan dan snack apa yang tersedia, dan apakaha dia akan mendapat bagian ataukah tidak; dan “sesudah”, dalam arti, dia akan langsung menyerbu makanan dan snack ketika shalat jum’at selesai dilaksanakan.

Impilkasinya, bukan hanya kekhusu’an melaksanakan shalatnya yang terganggu, tetapi juga kesempatan berdo’anya dan berdzikirnya, sebagaimana dianjurkan di dalam pemikiran Islam non-wahhabi. Gangguan itu bisa hadir dari suara bising anak-anak kecil yang cendrung rebutan mengambil makanan dan snack langsung sehabis melaksanakan shalat jum’at.

Baca Juga:  Ning Lis, Ulama Perempuan Ahli Ilmu Waris

Jadi, kita dihadapkan pada dua ibadah, yang jika salah melaksanakannya bisa menghasilkan dua hal yang berlawanan. Yang satu ibadah wajib, seperti shalat jum’at, yang satunya ibadah sunnah, seperti shadaqah. Keduanya memang sebagai sesuatu yang baik, dan tidak ada masalah serius jika pelaksanaannya diatur sedemikian rupa. Masalah muncul ketika pelaksanaannya tidak diatur, sehingga bisa jadi kedua ibadahnya rusak atau salah satunya yang rusak, dan bisa saja Ibadah sunnah yang bersifat eksternal saat itu menghapus nilai ibadah wajibnya. Memberikan makanan dan snack adalah ibadah sunnah yang tentusaja dianjurkan di dalam Islam. Tetapi, ia bisa merusak nilai ibadah wajib jika ia mengganggu kekhusu’an pelaksanaan ibadah jum’at. Karena itu, pembagian makanan dan snack itu perlu diatur sedemikian rupa agar ibadah sunnah tidak menghapus nilai ibadah wajib. Jika tidak, yang akan mendapatkan pahala di mesjid pada hari jum’at adalah mereka yang mengeluarkan shadaqah, sementara mereka yang melakasanakan shalat jum’at tidak mendapatkan apa-apa karena kekhusu’an dalam melaksanakannya terganggu oleh shadaqah makanan dan snack.

Aksin Wijaya
Guru Besar di IAIN Ponorogo, Dewan Pakar ISNU Ponorogo, dan Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Pergerakan (ADP).

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Khotbah