Kultur Aswaja Pilar Kehidupan Santri

Pengembangan kurikulum pesantren tak pernah lepas keberadaannya dari ajaran ahlussunah wal jamaah atau sering disebut Aswaja. Aswaja secara umum diartikan sebagai suatu kelompok atau golongan yang senantiasa berkomitmen mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan thariqah para sahabatnya dalam masalah akidah, syar’iyah dan hakikat (tasawuf dan akhlak).

Sejak awal berdirinya pesantren, ajaran Aswaja memang sudah menjadi identitas kepesantrenan dari generasi ke generasi. Aswaja juga diajarkan para kiai sebagai patokan utama dalam kurikulum pesantren. Salah satu kurikulum pesantren yang sangat lekat dengan tradisi pesantren adalah pembelajaran kitab kuning yang seakan tak pernah lapuk ditelan zaman. Pembelajaran kitab-kitab tersebut dijadikan rujukan paling mendasar dalam penyelenggaraan kurikulum pesantren.

Kurikulum pesantren inilah yang mencetak cara berfikir positif dan nurani yang terus menjaga. Hingga memunculkan sifat-sifat mulia yang mulai jarang ditemukan saat ini. Pada akhirnya membentuk pribadi yang salih pola fikir serta perilaku dan pekertinya. Manusia yang telah mengenyam pendidikan pesantren dengan kurikulum komplit dan komprehensif nantinya yang akan terus bertahan, mampu berdiri kokoh tanpa terombang ambing terpaan godaan duniawi. Tetap dapat menjalankan tujuan utama seorang ha,ba untuk menjadi kholifah permukaan bumi, bukan penghancur tatanan yang berlaku. Sebab tujuan utama mereka bukan hanya kesejahteraan duniawi semata. Namun kebahagiaan duniawi dan kenikmatan akhirlah yang menjadi cita-cita besar yang didambakan.

Mentradisikan shalat tarawih 20 rakaat ditambah witir, sholawatan, ziarah kubur, mendoakan orang yang sudah meninggal, tahtiman, berjanjen, istigosahan, dan lain sebagainya adalah ajaran-ajaran Aswaja yang didakwahkan para wali dan ulama terdahulu di negeri ini.

Kultur Aswaja terus dilestarikan melalui sistem kurikulum pesantren yang difungsikan sebagai wujud apresiasi untuk para pendahulu yang tak kenal lelah menyebarkan agama Islam, dan terus menyatukan NKRI dari kemajemukan demi terhindar dari perbedaan kepentingan. Mereka yang berbeda-beda dalam kepentingan dan mengarah pada konflik antar kelompok, telah berhasil menyatu padukan diri dengan bersandar pada pilar pesantren.

Baca Juga:  Menggagas Sekolah Birokrasi Bagi Para Santri Sebagai Bekal Dakwah Siyasy

Dalam peraturan Menteri Agama no. 13 tahun 2014 tentang pendidikan keagamaan Islam pasal 4 menyebutkan bahwa “Pesantren wajib menjunjung tinggi dan mengembangkan nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945. Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, keadilan, toleransi, kemanusiaan, keikhlasan, kebersamaan, dan nilai-nilai luhur lainnya”.

Untuk itu selain berpegang teguh dengan Aswaja, pesantren juga dituntut memberikan pembelajaran tentang arti penting wawasan kebangsaan, sehingga menumbuhkan tekat para santri untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas, merdeka, dan bersatu, cinta tanah air dan bangsa, sikap demokrasi, dan kesetiakawanan sosial. Sebab, dengan itu semua bisa menjadi tingkatan keimanan seseorang. Seperti halnya tertuang pada jargon “Hubbul wathon minal iman” yakni cinta tanah air Sebagian dari iman.

Misalnya lembaga pendidikan yang memadukan pembelajaran kurikulum pelajaran agama dan pelajaran umum yang mampu menghimpun santri dari berbagai daerah di Indonesia. Dengan menganut salah satu prinsip dari ajaran Aswaja yaitu tawazun yang berarti keseimbangan, prinsip ini dilakukan dengan tujuan agar terjadi keseimbangan antara keduanya. Disilah pesantren berperan sebagai “Center of excellence” atau pusat keunggulan. Karena pesantren memiliki pusat keunggulan yang berbeda yaitu penekanan pada pendidikan agama dan moralitas agar para santri benar-benar memiliki wawasan yang aman dari pemikiran-pemikiran radikal terhadap kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kini, pesantren di Nusantara telah membuktikan bahwa pesantren telah dinobatkan sebagai pilar masa depan yang tak hanya bergelut dengan kitab kuningnya yang khas pesantren, namun memadukan ilmu-ilmu umum, sosial kenegaraan, dan budaya.

Dengan dilakukannya kurikulum pesantren yang ahlussunah wal jamaah, para santri diharapkan mampu mengangkat citra, kualitas, dan gairah baru untuk pesantren dalam mengawal kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai pilar masa depan dengan pedoman utamanya yaitu penerapan nilai-nilai Aswaja. []

Marfuatun Ni'mah
Mahasiswi Institut Pesantren Matholi'ul Falah Pati

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini