Islam yang Tidak (Mau) Dipahami

Belakangan saya sering merenung: jangan-jangan keriuhan yang terjadi sekarang, khususnya di media sosial, karena kurangnya pemahaman mengenai Islam. Lebih tepatnya, kurangnya pemahaman mengenai tradisi-tradisi Islam yang beragam. Keberagaman tradisi ini terkait dengan otoritas keulamaan atau kesarjanaan yang sedemikian terdesentralisasi.

Pengalaman Islam tersebut tentu saja kontras dengan pengalaman Yahudi dan khususnya lagi Kristen. Dua agama ini mengalami sekularisasi setidaknya sejak abad ke-16 dan mencapai puncaknya pada abad ke-18 dan ke-19. Trauma absolutisme gereja dan negara di Abad Pertengahan adalah faktor yang melahirkan negara-bangsa modern yang mengharuskan agama duduk diam bersembunyi di ruang privat.

Masalahnya, pengalaman Yahudi dan khususnya lagi Kristen tersebut diuniversalisasi lewat filsafat politik dan teori sosial. Kedua produk pengetahuan Barat ini diajarkan di sekolah-sekolah sedemikian sehingga menjadi norma kewarganegaraan modern. Mereka yang tidak (mau) menerima norma itu akan segera dituduh terbelakang, kadrun, tentara Abad Pertengahan yang mau menyerang balik kuil-kuil kemoderenan.

Kenyataan bahwa Islam menempuh rute sejarah yang berbeda jarang diperhatikan. Bahwa Islam juga mempunyai pengalaman traumatik hidup di bawah imperialisme Barat dan para pemimpin nasionalis poskolonial penerusnya sering diabaikan. Akibatnya, di kalangan Muslim sendiri tumbuh distrust, ketidakpercayaan, terhadap apapun yang berasal dari Barat.

Situasi yang problematis ini harus diatasi. Menurut saya langkah pertama adalah membaca ulang secara kritis sekularisme. Entah mengapa sekularisme di kalangan Muslim hanya dibaca secara biner: ditolak sepenuhnya atau diterima sepenuhnya–tanpa diskusi yang bermutu.

Kritik terhadap sekularisme akan membuka cara pandang baru terhadap Islam dan kaum Muslim. Dengan ini pemahaman mengenai posisi ulama dalam Islam, misalnya, memang harus dibedakan dengan posisi pendeta dalam Kristen Protestan dan apalagi pastur/romo/pater dalam Katolik. Dalam Islam, posisi ulama sedemikian otonom dan terdesentralisasi. Ketua PBNU atau ketua MUI di Jakarta tidak bisa memerintahkan begitu saja seorang kyai di Jombang untuk melakukan ini dan itu–hal yang mungkin mudah saja dilakukan dalam tradisi Katolik.

Baca Juga:  PBNU Himbau Percepat Bayar Zakat, Solusi Agar Kelaparan Tak Menimpa Umat

Ini baru satu soal, masih banyak soal lainnya. Mazhab-mazhab–akidah, fikih, dan tasawuf–dalam Islam sangat banyak. Sayangnya, kalangan sekuler terlihat enggan dan malas untuk mengerti itu. Yang lebih sering terjadi adalah kalangan Muslim diminta untuk selalu mengerti (lalu menjalankan) norma-norma sekularisme. Bagi kalangan sekuler pokoknya agama harus disembunyikan di ruang privat, dipraktikkan dalam hening, dijalankan hanya dalam hati–sesuatu yang tentu saja akan dianggap tidak masuk akal bagi kaum Muslim yang saleh.

Ke depan, konflik etis (bukan konflik politis!) antara kelompok sekuler dan kaum Muslim yang saleh akan terus terjadi. Jika kedua belah pihak tidak saling belajar tradisi lawannya, saya cukup yakin tidak akan ada konsensus atau setidaknya gencatan senjata sama sekali. Namun, memang itulah dunia kehidupan yang dihuni manusia dhaif seperti kita. Konsensus hanya ada dalam pikiran Jurgen Habermas dan para filsuf Kantian lainnya yang hidup di Eropa yang dingin dan sepi. []

(Clayton pagi hari, gerimis, 10 derajat celcius).

Amin Mudzakkir
PP ISNU dan Peneliti di LIPI

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini