Gus Dur dan Ahmadiyah: Legasi Toleransi Bagi Kaum Milenial

Lagi, masjid Ahmadiyah jadi target amuk massa di Sintang, Kalimantan Barat (3/9/2021). Kasus yang entah sudah terjadi untuk ke berapa kalinya. Komunitas ini kembali mengalami eksklusi, hanya karena berbeda.

Setiap siklus kekerasan terhadap kelompok minoritas terjadi, mau tak mau kita layak merenungi sikap tegas Gus Dur. Dengan lantang ia berujar, “yang saya bela itu bukan Syiah, Ahmadiyah, Konghucu, Kristen, atau lainnya. Tetapi hak mereka untuk beribadah yang dijamin oleh Undang-Undang.”

Jelas bukan? Pembelaan tersebut bukan dalam konteks negosiasi ajaran. Tidak pula yang sering disalahpahami sebagian orang sebagai potensi pertukaran keyakinan. Gus Dur berusaha mendudukkan relasi agama dan negara sebagaimana batasan normatifnya.

Legasi luhur demikian selalu relevan di tengah sumbatan dialog toleransi intern maupun antar umat beragama. Sebagai negara konstitusi yang menjunjung tinggi nilai dan falsafah Pancasila, negara semestinya menghadirkan kenyamanan bagi warganya untuk menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaannya.

Sayang, fakta bicara lain. Pancasila yang katanya bhinneka tunggal ika, kehilangan makna. Toleransi sebatas teori. Umat Islam yang semestinya menampilkan wajah damai, malah sebaliknya, kerap muncul dalam paras paradoks; beringas, kalap, dan lucut akal budi.

Bahaya Sesat Pikir

Opsi keberpihakan terhadap kelompok Ahmadiyah, khususnya, dan kalangan minoritas lain pada umumnya, sering memancing logika berpikir sebagian kelompok Islamis pada kesesatan (logical fallacy). Misalnya, merusak masjid penganut aliran sesat dikutuk, tapi gereja dijaga. Syiah dibela, tapi hobi membubarkan pengajian sesama pembela Sunnah.

Banyak narasi sepadan yang bersifat “ad hominem” untuk menyudutkan pribadi kelompok toleran. Sering juga mereka memanfaatkan dalih “strawman” sebagai langkah menyederhanakan persoalan. Padahal, membandingkan masjid dengan gereja pada kasus di atas tentu tidak relevan sebab lain konteks.

Baca Juga:  Gus Dur dan Islam Nusantara

Mestinya, perlu optik yang lebih substantif agar sesat pikir di atas bisa kita luruskan. Modal utamanya adalah berpikir kritis. Melalui pertanyaan-pertanyaan reflektif contohnya. “Mengapa gereja harus dijaga?” “Mengapa masjid harus dirusak?” “Mengapa Syiah dibela?” “Di mana peran negara sebagai pelindung warganya?” “Mengapa ada kesan pembiaran dari aparat keamanan atas tindakan brutal massa?”

Toleransi sejatinya tak cukup hanya dengan mempertahankan hidup harmoni. Tanpa saling sapa dan udar rasa. Isu toleransi harus bergerak progresif. Berani menciptakan ruang dialog untuk mencari solusi bersama atas problem kemanusiaan yang sedang kita hidupi.

Memang seminar dan forum kerukunan saja belum cukup untuk mewujudkan toleransi yang mahal (costly tolerance). Apalagi jika kemasannya bernuansa elitis-formalistik. Sekadar basa-basi yang dimonopoli oleh elite agamawan. Namun upaya ini bukan pula tindakan yang sia-sia.

Nyatanya, walaupun telah menjamur forum dialogis yang melibatkan pemuka agama, juga maraknya hasil riset mutakhir mengenai topik toleransi di jurnal-jurnal akademis, sumbu laku intoleran gampang sekali tersulut. Bagaimana kalau tidak ada?

Oleh karena itu, sudah saatnya wacana toleransi menjamah kaum muda. Kalangan milenial yang enerjik, lugas, dan punya gairah “curiousity” yang tinggi. Dari mereka, legasi Gus Dur tentang toleransi tetap lestari. Tak pernah lapuk ditelan zaman dan sampai kapanpun akan terus diteladani oleh anak-anak ideologisnya. []

Ahmad Saefudin
Dosen UNISNU Jepara, Pengurus Lembaga Dakwah NU (LDNU) Kabupaten Jepara, Gusdurian Jepara

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini