Hakikat Kemerdekaan Persfektif Al-Ghayalini

Tidak terasa sudah 76 tahun Indonesia merdeka dari penjajahan. Tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno dan Hattan membacakan naskah proklamasi tentang kemerdekaan Negara Indonesia. Pada tanggal itu sebuah awal dari sebuah momentum untuk menentukan nasib Indonesia kedepannya.

Pada hari itu pula, bangsa Indonesia telah menunjukkan bahwa mereka telah berhasil mengeluarkan diri dari paradigma sebagai bangsa terjajah yang berabad-abad ditanamkan oleh bangsa penjajah. Hari yang menjadikan Indonesia setara, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi di antara negara-negara lain.

Kemerdekaan merupakan sebuah kenikmatan yang maha besar dan ia tidak bisa dirampas begitu saja dari suatu bangsa, kecuali adanya sebab dan musabbab yang memungkinkan terjadi perampasan kemerdekaan itu. Sebab-sebanya memang tidak banyak tapi sebab yang paling berbahaya adalah ketidaktahuan tentang hakikat dari makna kemerdekaan itu sendiri. Karena percuma merdeka bila tidak tahu apa arti sebenarnya dari mereka itu sendiri. Sehingga akibanya sebuah Negara akan terjajah lagi.

Kemerdekaan menurut al-Ghayalini

Musthafa bin Muhammad Salim al-Ghayalini dalam kitabnya yang berjudul idhatun nasyi’in mengatakan bahwasanya kemerdekaan itu ada 4 macam. Hurriyah fardi, hurriyah jamaah, hurriyah iqtishadiyah, dan hurriyah siyasiyah. Dan menurutnya seseorang atau umat tidak bisa dikatakan medeka jika belum mempunyai empat kemerdekaan itu.

Pertama, Hurriyah fardi adalah kemerdekaan individu dan merupakan kemerdekaan yang utama. Dalam hurriyah fardi ini mencakup kebebasan bertindak, berpendapat, memilih keyakinan, mendapatkan pendidikan, berorganisasi, dan lain sebagainya. Meskipun dalam kemerdekaan ini kita bebas mempergunakannya tapi kita harus mempertimbangkan kemerdekaan orang lain.

Kedua, Hurriyah jama’ah adalah kemerdekaan yang didapat dari hurriyah fardi. Kemerdekaan ini meliputi kebebasan untuk berserikat, berorganisasi, dan lain sebaganya. Hal ini disyaratkan tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di negara tersebut.

Baca Juga:  Belajar Pada Konflik (Islam-Kristen) di Aceh: Bagaimana Hakikat Beragama?

Ketiga, Hurriyah iqtishadiyah adalah kebebasan umat dalam berusaha dan mencari rizki, misalnya kebebasan dalam bidang perdagangan, pertanian, dan lain sebagainya yang memiliki korelasi dengan kemerdekaan ini. Umat tidak bisa merrdeka dalam bidang ini akan menjadi budak bangsa lain, bagaikan tawanan yang dikekang selamanya oleh musuh.

Keempat, Hurriyah siyasiah maksudnya setiap umat atau bangsa itu bebas dan merdeka untuk menentukan hal-hal yank bersangkut paut dengan politik negaranya. Tidak terikat dan bergantung kepada bangsa lain sekaligus tidak boleh dicapuri oleh kehendak bangsa lain. Bebas membuat segala macam peraturan sesuai kehendak dan kondisi tanah air. Kemerdekaan ini tidak akan tercapai jika ketiga kemerdekaan diatas belum tercapai, terutama kemerdekaan ekonomi. Dengan itu wajib bagi seluruh komponen bangsa untuk berusaha sekuat tenaga menggapainya dengan segala upaya. Kemudian kita semua perlu menanamkan kesadaran kemerdekaan ini kesemua orang yang bernaungan di negara tersebut, karena tanpa kesadaran lama-kelamaan bangsa akan roboh dan hancur.

Sehingga dapat kita simpulkan bahwasanya al-Ghalyini berpesan kepada kaum muda utamanya untuk selalu belajar tentang arti kemerdekaan yang hakiki. Kemudian berusaha dengan sekut tenaga untuk mengupayakan semua kemerdekaan yang telah disebutkan di atas dan untuk melepaskan bangsa dan negara dari segala bentuk penjajahan. Jangan lupa pula untuk selalu mengingat kata-kata yang penuh hikmah: Setiap umat itu punya ajal dan ajal setiap bangsa jika kemerdekaannya sudah terampas. []

Muhammad Ihyaul Fikro
Mahasantri Ma'had Aly Nurul Qarnain Sukowono Jember

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini