Idul Adha dan Nilai Sejarah yang Hilang

Hari Raya Idul Adha. Hari ini seharusnya merupakan hari yang menggembirakan bagi umat Islam. Selain karena banyak sejarah yang terkait di dalamnya, di hari ini pula pemandangan kepedulian sosial benar-benar terlihat. Yang kaya atau  mampu dianjurkan untuk berkurban, berbagi kebahagiaan memberikan daging yang mungkin tak setiap hari atau bahkan tak setiap bulan bisa dinikmati oleh kalangan yang tidak mampu.

Ya, hari ini seharusnya menjadi hari yang sangat membahagiakan. Tetapi rasa bahagia ini bagi saya terasa sangat berkurang karena kondisi yang belum kondusif seperti saat ini. Wabah pandemi belum dinyatakan selesai oleh pemerintah dan melihat kenyataan di sekitar penulis, terlalu banyak fakta orang yang sakit dan meninggal beberapa waktu belakangan ini. Semoga Allah segera mengangkat musibah ini dari kita semua.

Terlepas dari segala kondisi ini, momen Idul Adha merupakan momen yang sarat dengan berbagai nilai moral spiritual. Karena menilik pada sejarahnya, Idul Adha menjadi monumen peringatan dari keikhlasan dua hamba Allah yang luar biasa. Ibrahim dan Ismail ‘alaihimassalam.

Tidak perlu saya kisahkan tentang sejarah tersebut karena setiap tahun kisah tersebut diulang-ulangi secara kontinyu oleh para pendakwah.

Yang menarik dalam pandangan saya adalah, jawaban Isma’il yang ketika itu masih kecil terhadap pernyataan sekaligus pertanyaan dari ayahnya bahwa ia akan dikorbankan. Dengan mantap dan tegas, Ismail kecil menjawab bersedia melaksanakan perintah Allah.

Mengapa hal ini menarik bagi saya? Karena dalam pandangan pribadi penulis, yang menjadi pertanyaannya adalah pendidikan semacam apa yang telah diberikan oleh kedua orang tuanya sehingga dalam usia yang sangat belia, Ismail kecil mampu menjawab dengan hati mantap yang mencerminkan kokohnya tauhid yang tertanam dalam hati beliau. Melihat pada generasi sebelumnya, masyhur bagaimana kisah putra Nabi Nuh AS (qila namanya Kan’an) yang malah mengingkari ayahnya sendiri. Oleh karena itu, dengan fakta bahwa keduanya putra nabi tetapi sangat berbeda hasilnya, maka pendidikan macam apa yang telah diajarkan oleh Ibrahim AS kepada putranya? Dan sependek pengetahuan penulis karena sangat sedikitnya membaca sejarah, penulis “belum” menemukan sejarah yang mengungkapkan hal tersebut.

Baca Juga:  LPBI NU bersama PWNU Aceh dan PCNU Kota Lhokseumawe Bantu Pengungsi Rohingya

Hal ini menurut penulis, penting untuk digali dan diterapkan pada generasi muda Islam. Karena akidah umat Islam sekarang diserang secara luar biasa. Hanya akidah yang tertanam kokoh yang mampu bertahan melawan kuatnya angin badai cobaan dan ujian. Bukankah menurut Syaikh Ibnu Ruslan dalam Nadham Zubadnya bahwa hal pertama yang wajib dipelajari oleh seorang insan adalah mengetahui Alloh dengan keyakinan yang kuat?

اَوَّلُ وَاجِبٍ عَلَى الاِنْسَانِ # مَعْرِفَةُ الْاِلهِ بِاسْتِيْقَانِ

Mungkin ini salah satu yang hilang dari pendidikan kita saat ini yang terasa sangat pragmatis dan praktis, lebih mementingkan seremonia daripada esensi.

Semoga Allah menguatkan iman kita dan seluruh umat Islam khususnya para generasi muda muslim. Waa Robbaah!. []

Ahmad Hasani
Alumnus Fakultas Agama Islam Universitas Islam Malang dan Santri Alumni Madrasah Diniyah Tsanawiyah Sidogiri.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini