Manusia dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, pasti mempunyai catatan dosa dan salah, baik disengaja atau tidak sekalipun. Salah di sini bisa dengan banyak cara, di antaranya adalah adanya sifat-sifat madzmumah (tercela) dalam diri manusia. Sifat tercela juga banyak macamnya, mulai dari ingin dipuji orang lain, meremehkan, merasa hebat, sombong dan lainnya. Hanya saja penulis akan menulis tips-tips agar manusia bisa terhindar dari sifat tersebut. Sebab, sifat sombong bukanlah sifat yang layak dimiliki oleh manusia, bahkan Allah swt sangat membenci orang-orang yang bersifat sombong karena sifat sombong merupakan sifat tuhan yang tidak boleh ada dalam diri makhluk-Nya. Syekh az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim mengatakan dengan bentuk sya’ir:
والكبرياء لربنا صفة به # مخصوصة فتجنبنها والتقي
Artinya: “(Ketahuilah) sifat sombong merupakan sifat terkhusus bagi tuhan kita, maka jauhilah sifat tersebut dan bertakwalah.”
Harus diakui, sebagai manusia dengan segala kekurangannya memang sangat sulit untuk bisa menahan dirinya dari setiap sifat-sifat tercela, bahkan hal itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu yang hatinya sudah lupa akan manusia dan fokus beribadah pada Dzat Yang Mahakuasa. Manusia biasa terkadang masih terngiang dalam benaknya bisikan-bisikan setan yang selalu mengajak pada tindakan-tindakan untuk merendahkan orang lain, dan menganggap dirinya sebagai semesta yang mempunyai nilai kebaikan berlipat ganda.
Harus disadari, bahwa pekerjaan yang bernilai baik barometernya tergantung penilaian Allah swt. Manusia sama sekali tidak mempunyai hak untuk merendahkan orang lain dan memuliakan dirinya (sombong). Oleh karenanya, di antara hikmah tidak Allah tampakkan nilai amal ibadah seorang hamba adalah agar manusia tidak gampang merendahkan orang lain. Semua nilai ibadah tergantung seperti apa hasil catatannya kelak di akhirat. Maka, anggapan mulia pada diri sendiri disebabkan suatu ibadah atau amaliah lainnya merupakan kebodohan yang sangat jelas. Alasannya, semua nilai pahala dan dosa tergantung bagaimana kelak Allah menilainya, bukan dinilai oleh dirinya sendiri. Sedangkan penilaian Allah swt merupakan kehendak mutlak dari-Nya dengan segala hak otoritas-Nya kepada semua hamba-Nya.
Oleh karena itu, sebagai manusia yang semuanya tidak bisa lepas dari salah dan dosa tidak boleh sombong kepada orang lain; baik kepada anak kecil, orang dewasa, orang berilmu, orang bodoh, bahkan juga tidak boleh sombong kepada orang kafir. Adakah tips-tips untuk menghindari sifat tercela itu? Simak penjelasannya.
Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali dalam kitab Bidayah al-Hidayah memberikan lima jurus ampuh agar tidak pernah sombong pada orang lain. Sombong merupakan sebuah entitas antara diri sendiri dan orang lain, secara praktis, tips-tips yang ditawarkan al-Ghazali adalah sebagai berikut:
Pertama, cara tidak sombong ketika melihat anak kecil.
هذا لم يعص الله وأنا عصيته، فلا شك أنه خير مني
Artinya: “Anak ini belum pernah bermaksiat kepada Allah (karena masih kecil yang semua pekerjaan buruknya tidak dinilai di sisi Allah), sedangkan saya sering bermaksiat kepadanya, maka perlu diragukan bahwa ia lebih mulia dariku.”
Kedua, cara tidak sombong ketika melihat orang dewasa (yang lebih tua darinya).
هذا قد عبد الله قبلى، فلا شك أنه خير مني
Artinya: “Orang ini telah beribadah kepada Allah swt sebelum aku beribadah kepada-Nya, maka tidak perlu diragukan bahwa ia lebih mulia dariku.”
Ketiga, cara tidak sombong ketika melihat orang berilmu (alim).
هذا قد أعطى ما لم أعط، وبلغ ما لم أبلغ، وعلم ما جهلت؛ فكيف أكون مثله؟
Artinya: “Orang ini telah diberikan ilmu yang tidak diberikan kepadaku, ia sudah sampai (pada sebuah derajad) yang saya belum sampai, dan ia tahu apa yang tidak saya ketahui, maka bagaimana mungkin aku bisa sama dengannya?”
Keempat, cara tidak sombong ketika melihat orang bodoh.
هذا قد عصى الله بجهل، وأنا عصيته بعلم؛ فحجة الله على آكد، وما أدري بم يختم لي وبم يختم له
Artinya: “Orang ini telah bermaksiat kepada Allah sebab kebodohannya, sedangkan aku bermaksiat dengan pengetahuanku, tentu tuntutan Allah lebih besar kepadaku, juga tidak diketahui bagaimana akhir hayatnya dan bagaimana akhir hayatku.”
Kelima, cara tidak sombong ketika melihat orang kafir.
لا أدري، عسى أن يسلم ويختم له بخير العمل، وينسل بإسلامه من الذنوب، وأما أنا فعسى أن يضلني الله فأكفر فيختم لي بشر العمل؛ فيكون غدا هو من المقربين، وأنا أكون من المبعدين
Artinya: “Aku tidak tahu, bisa saja Allah (memberikan hidayah) akhirnya ia masuk Islam, dengan Islamnya dosa-dosa akan hilang. Sedangkan aku, bisa saja Allah membuatku tersesat, akhirnya menjadi kafir, kemudian pekerjaanku dicatat sebagai paling jeleknya pekerjaan, maka kelak (di akhirat) ia akan bersama dengan orang-orang istimewa, dan aku akan bersama dengan orang-orang yang hina (jauh dari Allah swt)” (Imam al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, [Bairut: Dar al-Fikr 1998], juz 1, hlm 18).
Dari lima kiat di atas begitu tampak, al-Ghazali berusaha memberikan cara menutup peluang timbulnya sifat sombong dengan menunjukkan berbagai perbandingan-perbandingan dengan orang lain. Seolah al-Ghazali ingin mengatakan bahwa sepatutnya seorang hamba menghabiskan waktunya untuk introspeksi (muhasabah) kepada diri sendiri daripada sibuk menghakimi kualitas orang lain. Sebab, yang patut menjadi hakim sejati hanyalah Allah swt dan keputusan final yang hakiki hanya ada di akhirat, bukan di dunia. []
[…] aib darinya, atau dirinya merasa tidak pernah punya aib dan kekurangan, maka sifat Ja’dhari (sombong) akan menyelimutinya. Dan kesombongan tidak hanya dibenci manusia dan makhluk lainnya, tetapi Allah […]